BAB 1
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang Informed Consent
Informed
consent adalah suatu proses yang menunjukkan komunikasi yang efektif antara
dokter dengan pasien, dan bertemunya pemikiran tentang apa yang akan dan apa
yang tidak akan dilakukan terhadap pasien. Informed consent dilihat dari aspek
hukum bukanlah sebagai perjanjian antara dua pihak, melainkan lebih ke arah
persetujuan sepihak atas layanan yang ditawarkan pihak lain. Atau Informed Consent adalah persetujuan
tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya
setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Tujuan Informed Consent adalah
memberikan perlindungan kepada pasien serta memberi perlindungan hukum kepada
dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat negatif.
Definisi
operasionalnya adalah suatu pernyataan sepihak dari orang yang berhak (yaitu
pasien, keluarga atau walinya) yang isinya berupa izin atau persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah orang yang berhak tersebut diberi
informasi secukupnya
Menurut
PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Untuk
itu,Contoh sebagai calon dokter gigi,
perlu untuk mengetahui tentang aspek hukum informed consent. Selain itu perlu
pula mengetahui isi dari informed consent serta format informed consent yang
sah secara hukum.
2.
Rumusan
Masalah
1.Bagaimana
menghindari resiko malpraktik dalam menangani pasien ?
2.Bagaimana
Kepastian Peraturan di Indonesia tentang Persetujuan Tindakan Medik ?
3.
Bagaimana Penjelasan Dokter dalam melakukan tindakan medis pada pasien?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
1.
DASAR
HUKUM INFORMED CONSENT
Dalam
dunia kedokteran, biasanya untuk menghindari resiko malpraktik, tenaga medis
membuat exconeratic clausule yaitu :
Syarat-syarat
pengecualian tanggung jawab berupa pembatasan atau pun pembebasan dari suatu
tanggung jawab
Dalam
hal ini, bentuk dari exconeratic clausule adalah informed consent/persetujuan
tindakan medis (pertindik).
Pertindik
merupakan suatu izin atau pernyataan setuju dari pasien yang diberikan secara
bebas, sadar dan rasional setelah memperoleh informasi yang lengkap, valid dan
akurat dipahami dari dokter tentang keadaan penyakitnya serta tindakan medis
yang akan diperolehnya.
Di
Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed
consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988[1].
Kemudian dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang
“Persetujuan Tindakan Medik atau Informed Consent”. Hal ini tidak berarti para
dokter dan tenaga kesehatan di Indonesia tidak mengenal dan melaksanakan
“informed consent” karena jauh sebelum itu telah ada kebiasaan pada pelaksanaan
operatif, dokter selalu meminta persetujuan tertulis dari pihak pasien atau
keluarganya sebelum tindakan operasi itu dilakukan.
Baru
sekitar tahun 1988 di Indonesia ada peraturan dan pedoman bagi para dokter
untuk melaksanakan konsep informed consent dalam praktek sehari-hari yaki
berupa fatwa PB. IDI No. 319/PB/A.4/88 tentang informed consent, yang kemudian
diadopsi isinya hampir sebagian besar oleh Permenkes No. 585 Tahun 1989 tentang
persetujuan tindakan medik.
Dengan
adanya peraturan Permenkes No.585 Tahun 1989 tentang persetujuan tindakan
medik, maka peraturan tersebut menjadi aturan pelaksanaan dalam setiap tindakan
medis yang berhubungan dengan persetujuan dan pemberian informasi terhadap
setiap tindakan medik. Peraturan tersebut menyebutkan bahwa setiap tindakan
medik harus ada persetujuan dari pasien yang diatur dalam Pasal 2 ayat (1)
Permenkes No.585 Tahun 1989, yang berbunyi “semua
tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien harus mendapat persetujuan”.
Persetujuan
Tindakan Medik (Informed Concent) dapat terdiri dari :
·
Yang
dinyatakan (expressed), yakni secara lisan
(oral) atau tertulis (written)
·
Dianggap
diberikan (Implied atau tocit concent), yakni dalam keadaan biasa (normal) atau
dalam keadaan darurat (emergency).
A. PERATURAN DAN DASAR HUKUM
Dalam
hukum Kesehatan Terdapat Peraturan yang di gunakan Antara lain , Undang-Undang
Dasar 1945,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata,Undang-Undang No. 36 tahun 2009[2]
tentang Kesehatan,Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,PP
No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran,PP No. 32 tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan,Permenkes RI No. 585/Men.Kes/Per/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik,Permenkes RI No. 729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang
Rekam Medis/Medical Record,Kepdirjen Pelayanan Medis No. HK.00.06.6.5.1866
tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
Adanya
pengaturan mengenai informed consent yang terdapat dalam Permenkes No.585 Tahun
1989 tersebut juga diperkuat dengan adanya Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004[3]
Tentang Praktik Kedokteran yang terdapat pada Pasal 45 ayat (1) sampai (6) yang
berbunyi:
Pasal
45 ayat (1): Setiap tindakan kedokteran
atau kedokteran gig iyang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi terhadap
pasien harus mendapat persetujuan.
(2)
: Persetujuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap.
(3)
: Penjelasan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup:
a.
diagnosis dan tata cara tindakan medis;
b.
tujuan tindakan medis yang dilakukan;
c.
alternatif tindakan lain dan risikonya;
d.
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e.
prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
(4)
: Persetujuan sebagaimana dimaksud padaf
ayat (2) dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan.
(5)
: Setiap tindakan kedokteran atau
kedokteran gigi yang mengandung risiko tinggi harus diberikan dengan
persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak memberikan
persetujuan.
(6)
: Ketentuan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran atau kedokteran gigi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), ayat (2), ayat (30), ayat (4) dan ayat (5) diatur dengan Peraturan
Menteri
Dari
Ketentuan Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran tersebut
terutama pada pasal 45 ayat (6) menyebutkan bahwa pengaturan mengenai tata cara
persetujuan tindakan kedokteran (informend consent) diatur oleh peraturan
menteri yaitu Permenkes No.585 Tahun 1989.
B.
BENTUK
INFORMED CONSENT
Secara
umum bentuk persetujuan yang diberikan pengguna jasa tindakan medis (pasien)
kepada pihak pelaksana jasa tindakan medis (dokter) untuk melakukan tindakan
medis dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu :
1.
Persetujuan Tertulis, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang mengandung
resiko besar, sebagaimana ditegaskan dalam PerMenKes No.
585/Men.Kes/Per/IX/1989 Pasal 3 ayat (1) dan SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 butir
3, yaitu intinya setiap tindakan medis yang mengandung resiko cukup besar,
mengharuskan adanya persetujuan tertulis, setelah sebelumnya pihak pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis serta resiko
yang berkaitan dengannya (telah terjadi informed consent);
2.
Persetujuan Lisan, biasanya diperlukan untuk tindakan medis yang bersifat
non-invasif dan tidak mengandung resiko tinggi, yang diberikan oleh pihak
pasien;
3.
Persetujuan dengan isyarat, dilakukan pasien melalui isyarat, misalnya pasien
yang akan disuntik atau diperiksa tekanan darahnya, langsung menyodorkan
lengannya sebagai tanda menyetujui tindakan yang akan dilakukan terhadap
dirinya.
Tujuan
Informed Consent:
1.
Memberikan perlindungan kepada pasien terhadap tindakan dokter yang sebenarnya
tidak diperlukan dan secara medik tidak ada dasar pembenarannya yang dilakukan
tanpa sepengetahuan pasiennya.
2.
Memberi perlindungan hukum kepada dokter terhadap suatu kegagalan dan bersifat
negatif, karena prosedur medik modern bukan tanpa resiko, dan pada setiap
tindakan medik ada melekat suatu resiko ( Permenkes No. 290/Menkes/Per/III/2008
Pasal 3 )
C.
ASPEK
HUKUM INFORMED CONSENT
Menurut
PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th 2004 Pasal 45 serta Manual
Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI tahun 2008. maka Informed Consent adalah
persetujuan tindakan kedokteran yang diberikan oleh pasien atau keluarga
terdekatnya setelah mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan
kedokteran yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut Lampiran SKB
IDI No. 319/P/BA./88 dan Permenkes no 585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medis Pasal 4 ayat 2 menyebutkan dalam memberikan
informasi kepada pasien / keluarganya, kehadiran seorang perawat / paramedik
lainnya sebagai saksi adalah penting[4].
Dalam
hubungan hukum, pelaksana dan pengguna jasa tindakan medis (dokter, dan pasien)
bertindak sebagai “subyek hukum ” yakni orang yang mempunyai hak dan kewajiban,
sedangkan “jasa tindakan medis” sebagai “obyek hukum” yakni sesuatu yang
bernilai dan bermanfaat bagi orang sebagai subyek hukum, dan akan terjadi
perbuatan hukum yaitu perbuatan yang akibatnya diatur oleh hukum, baik yang
dilakukan satu pihak saja maupun oleh dua pihak.
Dalam
masalah “informed consent” dokter sebagai pelaksana jasa tindakan medis,
disamping terikat oleh KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) bagi dokter,
juga tetap tidak dapat melepaskan diri dari ketentuan-ketentuan hukun perdata,
hukum pidana maupun hukum administrasi, sepanjang hal itu dapat diterapkan.
Pada
pelaksanaan tindakan medis, masalah etik dan hukum perdata, tolok ukur yang
digunakan adalah “kesalahan kecil” (culpa levis), sehingga jika terjadi
kesalahan kecil dalam tindakan medis yang merugikan pasien, maka sudah dapat
dimintakan pertanggungjawabannya secara hukum. Hal ini disebabkan pada hukum
perdata secara umum berlaku adagium “barang siapa merugikan orang lain harus
memberikan ganti rugi”.
Sedangkan
pada masalah hukum pidana, tolak ukur yang dipergunakan adalah “kesalahan
berat” (culpa lata). Oleh karena itu adanya kesalahan kecil (ringan) pada
pelaksanaan tindakan medis belum dapat dipakai sebagai tolak ukur untuk
menjatuhkan sanksi pidana.
Aspek
Hukum Perdata, suatu tindakan medis yang dilakukan oleh pelaksana jasa tindakan
medis (dokter) tanpa adanya persetujuan dari pihak pengguna jasa tindakan medis
(pasien), sedangkan pasien dalam keadaan sadar penuh dan mampu memberikan persetujuan,
maka dokter sebagai pelaksana tindakan medis dapat dipersalahkan dan digugat
telah melakukan suatu perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) berdasarkan
Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPer). Hal ini karena pasien
mempunyai hak atas tubuhnya, sehingga dokter dan harus menghormatinya;
Aspek
Hukum Pidana, “informed consent” mutlak harus dipenuhi dengan adanya pasal 351
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang penganiayaan. Suatu tindakan
invasive (misalnya pembedahan, tindakan radiology invasive) yang dilakukan
pelaksana jasa tindakan medis tanpa adanya izin dari pihak pasien, maka
pelaksana jasa tindakan medis dapat dituntut telah melakukan tindak pidana
penganiayaan yaitu telah melakukan pelanggaran terhadap Pasal 351 KUHP.
Sebagai
salah satu pelaksana jasa tindakan medis dokter harus menyadari bahwa “informed
consent” benar-benar dapat menjamin terlaksananya hubungan hukum antara pihak
pasien dengan dokter, atas dasar saling memenuhi hak dan kewajiban
masing-masing pihak yang seimbang dan dapat dipertanggungjawabkan. Masih banyak
seluk beluk dari informed consent ini sifatnya relative, misalnya tidak mudah
untuk menentukan apakah suatu inforamsi sudah atau belum cukup diberikan oleh
dokter. Hal tersebut sulit untuk ditetapkan secara pasti dan dasar
teoritis-yuridisnya juga belum mantap, sehingga diperlukan pengkajian yang
lebih mendalam lagi terhadap masalah hukum yang berkenaan dengan informed
consent ini.
Informed
Consent hakikatnya adalah hukum perikatan, ketentuan perdata akan berlaku dan
ini sangat berhubungan dengan tanggung jawab profesional menyangkut perjanjian
perawatan dan perjanjian terapeutik. Aspek perdata Informed Consent bila
dikaitkan dengan Hukum Perikatan yang di dalam KUH Perdata BW Pasal 1320 memuat
4 syarat sahnya suatu perjanjian yaitu:
1.
Adanya kesepakatan antar pihak, bebas dari paksaan, kekeliruan dan penipuan.
2.
Para pihak cakap untuk membuat perikatan.
3.
Adanya suatu sebab yang halal, yang dibenarkan, dan tidak dilarang oleh
peraturan perundang undangan serta merupakan sebab yang masuk akal untuk
dipenuhi.
Dari
syarat pertama yaitu adanya kesepakatan antara kedua pihak ( antara petugas
kesehatan dan pasien ), maka berarti harus ada informasi keluhan pasien yang
cukup dari kedua belah pihak tersebut. Dari pihak petugas harus mendapat
informasi keluhan pasien sejujurnya, demikian pula dari pihak pasien harus
memperoleh diagnosis dan terapi yang akan dilakukan.
Ada
beberapa kaidah yang harus diperhatikan dalam menyusun dan memberikan Informed
Consent agar hukum perikatan ini tidak cacat hukum, diantaranya adalah:
1.
Tidak bersifat memperdaya ( Fraud ).
2.
Tidak berupaya menekan ( Force ).
3.
Tidak menciptakan ketakutan ( Fear ).
Persetujuan
yang ditanda tangani oleh pasien atau keluarga terdekatnya tersebut, tidak
membebaskan dokter dari tuntutan jika dokter melakukan kelalaian.
Tindakan
medis yang dilakukan tanpa persetujuan pasien atau keluarga terdekatnya, dapat
digolongkan sebagai tindakan melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351.
Tindakan
medis yang dilakukan tanpa izin pasien, dapat digolongkan sebagai tindakan
melakukan penganiayaan berdasarkan KUHP Pasal 351 ( trespass, battery, bodily
assault ).
Menurut
Pasal 5 Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008, persetujuan tindakan kedokteran
dapat dibatalkan atau ditarik kembali oleh yang memberi persetujuan, sebelum
dimulainya tindakan ( Ayat 1 ). Pembatalan persetujuan tindakan kedokteran
harus dilakukan secara tertulis oleh yang memberi persetujuan ( Ayat 2 ).
Sanksi
Hukum terhadap Informed Consent
·
Sanksi
pidana
Apabila seorang tenaga kesehatan menorehkan benda tajam
tanpa persetujuan pasien dipersamakan dengan adanya penganiayaan yang dapat
dijerat Pasal 351 KUHP
·
Sanksi
perdata
Tenaga kesehatan atau sarana kesehatan yang mengakibatkan
kerugian dapat digugat dengan 1365, 1367, 1370, 1371 KUHPer
·
Sanksi
administratif
Pasal 13 Pertindik mengatur bahwa :
Terhadap dokter yang melakukan tindakan medis tanpa
persetujuan pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi administratif berupa
pencabutan izin praktik.
ISI INFORMASI YANG HARUS
DISAMPAIKAN
Dalam
Permenkes No. 585 tahun 1989 tentang Persetujuan Tindakan Medik dinyatakan
bahwa dokter harus menyampaikan informasi atau penjelasan kepada pasien /
keluarga diminta atau tidak diminta, jadi informasi harus disampaikan.
Mengenai
apa yang disampaikan, tentulah segala sesuatu yang berkaitan dengan penyakit
pasien. Tindakan apa yang dilakukan, tentunya prosedur tindakan yang akan
dijalani pasien baik diagnostic maupun terapi dan lain-lain sehingga pasien
atau keluarga dapat memahaminya. Ini mencangkup bentuk, tujuan, resiko, manfaat
dari terapi yang akan dilaksanakan dan alternative terapi (Hanafiah, 1999).
Secara
umum dapat dikatakan bahwa semua tindakan medis yang akan dilakukan terhadap
pasien yang harus diinformasikan sebelumnya, namun izin yang harus diberikan
oleh pasien dapat berbagai macam bentuknya, baik yang dinyatakan ataupun tidak.
Yang paling untuk diketahui adalah bagaimana izin tersebut harus dituangkan
dalam bentuk tertulis, sehingga akan memudahkan pembuktiannya kelak bila timbul
perselisihan.
Secara
garis besar dalam melakukan tindakan medis pada pasien, dokter harus
menjelaskan beberapa hal, yaitu:
1.
Garis besar seluk beluk penyakit yang diderita dan prosedur perawatan /
pengobatan yang akan diberikan / diterapkan.
2.
Resiko yang dihadapi, misalnya komplikasi yang diduga akan timbul.
3.
Prospek / prognosis keberhasilan ataupun kegagalan.
4.
Alternative metode perawatan / pengobatan.
5.
Hal-hal yang dapat terjadi bila pasien menolak untuk memberikan persetujuan.
6.
Prosedur perawatan / pengobatan yang akan dilakukan merupakan suatu percobaan
atau menyimpang dari kebiasaan, bila hal itu yang akan dilakukan
Dokter
juga perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan
yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1.
Diagnosa yang telah ditegakkan.
2.
Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3.
Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4.
Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran
tersebut.
5.
Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif
cara pengobatan yang lain.
6.
Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko
resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
1.
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya.
Dalam
hal terdapat indikasi kemungkinan perluasan tindakan kedokteran, dokter yang
akan melakukan tindakan juga harus memberikan penjelasan ( Pasal 11 Ayat 1
Permenkes No 290 / Menkes / PER / III / 2008 ). Penjelasan kemungkinan
perluasan tindakan kedokteran sebagaimana dimaksud dalam Ayat 1 merupakan dasar
daripada persetujuan (Ayat 2).
Pengecualian
terhadap keharusan pemberian informasi sebelum dimintakan persetujuan tindakan
kedokteran adalah:
1.
Dalam keadaan gawat darurat (emergency), dimana dokter harus segera bertindak
untuk menyelamatkan jiwa.
2.
Keadaan emosi pasien yang sangat labil sehingga ia tidak bisa menghadapi
situasi dirinya.
BAB 3
Pembahasan
A.
Dalam dunia kedokteran, biasanya untuk menghindari resiko malpraktik, tenaga
medis membuat exconeratic clausule yaitu :
Syarat-syarat
pengecualian tanggung jawab berupa pembatasan atau pun pembebasan dari suatu
tanggung jawab
Dalam
hal ini, bentuk dari exconeratic clausule adalah informed consent/persetujuan
tindakan medis (pertindik).
B.
Kepastian Hukum dalam tindak medis telah di atur dengan peraturan Dalam hokum
Kesehatan Terdapat Peraturan yang di gunakan Antara lain , Undang-Undang Dasar
1945,Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata,Undang-Undang No. 36 tahun 2009[5]
tentang Kesehatan,Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran,PP
No. 10 Tahun 1966 tentang Wajib Simpan Rahasia kedokteran,PP No. 32 tahun 1996
tentang Tenaga Kesehatan,Permenkes RI No. 585/Men.Kes/Per/1989 tentang
Persetujuan Tindakan Medik,Permenkes RI No. 729a/Men.Kes/Per/XII/1989 tentang
Rekam Medis/Medical Record,Kepdirjen Pelayanan Medis No. HK.00.06.6.5.1866
tentang Pedoman Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent)
C.
Dokter Perlu menyampaikan (meskipun hanya sekilas), mengenai cara kerja dan
pengalamannya dalam melakukan tindakan medis tersebut (Achadiat, 2007).
Informasi/keterangan
yang wajib diberikan sebelum suatu tindakan kedokteran dilaksanakan adalah:
1.
Diagnosa yang telah ditegakkan.
2.
Sifat dan luasnya tindakan yang akan dilakukan.
3.
Manfaat dan urgensinya dilakukan tindakan tersebut.
4.
Resiko resiko dan komplikasi yang mungkin terjadi daripada tindakan kedokteran tersebut.
5.
Konsekwensinya bila tidak dilakukan tindakan tersebut dan adakah alternatif
cara pengobatan yang lain.
6.
Kadangkala biaya yang menyangkut tindakan kedokteran tersebut.
Resiko
resiko yang harus diinformasikan kepada pasien yang dimintakan persetujuan
tindakan kedokteran :
1.
Resiko yang melekat pada tindakan kedokteran tersebut.
2.
Resiko yang tidak bisa diperkirakan sebelumnya
BAB 4
Kesimpulan.
Di
Indonesia perkembangan “informed consent” secara yuridis formal, ditandai
dengan munculnya pernyataan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) tentang “informed
consent” melalui SK PB-IDI No. 319/PB/A.4/88 pada tahun 1988. Kemudian
dipertegas lagi dengan PerMenKes No. 585 tahun 1989 tentang “Persetujuan
Tindakan Medik atau Informed Consent”. Serta dipertegas oleh Undang-Undang
Nomor 29 Tahun 2004.
informed
Consent yang di proleh dengan tata cara yang tidak benar tidak dapat di anggap
sebagai penemu hak otonomi pasien , sehingga oleh karna nya merupakan tindakan
melanggar hukum
namun
demikian pelaksanaan informed Consennt di indonesia hanya di lakukan dengan
mengindahkan nilai nilai dalam budaya setempat yang sangat bervariasi.
Saran
Dalam
Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam kesehatan , dan yang terpenting adalah Dalam hal ini Pemerintah
Bertanggung jawab merencanakan , mengatur, meyelenggarakan dan membina Serta mengawasi
penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masayarakat.
Juga sumber daya di bidang kesehatan yang adil dan merata bagi seluruh
masyarakat untuk memperoleh derajat kesehatan yang setinggi-tingginya, terhadap Informed Consent
agar kelak tidak terjadi perselisihan .
DAFTAR PUSTAKA
Budi
Sampurna, Zulhasmar Syamsu, Tjetjep Dwijdja Siswaja, Bioetik dan Hukum Kedokteran, Pengantar bagi Mahasiswa Kedokteran dan
Hukum, Penerbit Pustaka Dwipar, Oktober 2005
Undang
undang nomor 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran;
Ameln,F.,
1991, Kapita Selekta Hukum Kedokteran,
Grafikatama Jaya, Jakarta.
http://suyatno.blog.undip.ac.id/2010/02/26/poin-poin-penting-undang-undang-kesehatan-no-36-th-2009/