BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
Masyarakat
yang semakin berkembang ternyata menghendaki Negara memiliki struktur
organisasi yang lebih responsif terhadap tuntutan mereka.Terwujudnya
efektivitas dan efisiensi baik dalam pelaksanaan pelayanan publicmaupun
dalam Pencapaian tujuan penyelengggaraan
pemerintahan juga menjadiharapan masyarakat yang ditumpukankepada negara.
Perkembangan tersebut memberikan pengaruh terhadap struktur organisasi negara,
termasuk bentuk sertafungsi lembaga-lembaga negara. Sebagai jawaban atas
tuntutan
Perkembangan
tersebut, berdirilah lembaga-lembaga negara baru yang dapat berupa
dewan(council ), komisi (commission),komite (committee), badan (board ) ,atau
otorita(authority).
Dalam konteks Indonesia, kecenderungan munculnya
lembaga-lembaganegara baru terjadi sebagai konsekuensi dilakukannya perubahan
terhadap UUD Negara RI Tahun 1945. Lembaga-lembaga baru itu biasa dikenal
dengan istilah state auxiliary organsatau state auxiliary institutions
yang
dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai lembaga negara bantu dan merupakan
lembaga Negara yang bersifat sebagai penunjang Salah satu lembaga negara yang
dibentuk pada era reformasi di Indonesia adalah Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK)
.
Lembaga ini dibentuk Sebagai salah satu
bagian agenda pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting
dalam pembenahan tata pemerintahan di Indonesia. pembentukan komisi ini
merupakan amanat dari ketentuan Pasal 43 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.Melalui Undang-undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, komisi ini pun sah didirikan dan memiliki legitimasi untuk
menjalankan tugasnya. KPK dibentuk sebagai respons atas tidak
efektifnyakepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi yang semakin
merajalela.Adanya KPK diharapkan diharapkan dapat mendorong penyelenggaraan
tatakelola pemerintahan yang baik ( good governance).Namun demikian, dalam
perjalanannya keberadaan dan kedudukan KPK dalam struktur negara Indonesia mulai dipertanyakan oleh berbagai pihak.
Tugas,wewenang, dan kewajiban yang
dilegitimasi oleh Undang-undang Nomor 30Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi memang membuat komisi ini terkesan superbody. Sebagai organ
kenegaraan yang namanya tidak tercantum dalam UUD Negara RI tahun 1945 ,
B.Rumusan
Masalah
Adapun
yang akan di bahas dari latar belakang di atas Adalah
1. Bagaimana
Padangan Hukum Terhadap tindak pidana korupsi ?
2. Bagaimana
Proses Peradilan Tindak Pidana Korupsi Menurut Undang-undang Yang Berlaku Di
Indonesia?
BAB 2
Tinjauan
Pustaka
Membicarakan
Pengadilan TIPIKOR pasti nya tidak lepas dari Korupsi Korupsi yang terjadi di
Indonesia saat ini sudah berada dalam fase yang sangat kronis dan menggerogoti
hampir setiap sendi kehidupan.Perkembangan korupsi dari tahun ke tahun semakin
meningkat baik darisegi kuantitas yang dapat dilihat dari banyaknya kasus yang
terkuak dandari jumlah kerugian negara yang ditaksir mencapai angka yang
sangatfantastik. Begitu juga dari segi kualitas semakin sistematis, canggih,
sulit terdeteksi serta lingkupnya yang sangat luas hingga menjangkau seluruh
aspek masyarakat
Angin
perubahan mulai terhembus ketika pemerintah mengibarkan bendera perang melawan
korupsi dan menabuh genderang perang melawan korupsi. Pemerintah mulai
berkomitmen untuk menegakkan pemerintahan yang baik dan bersih. Pemerintah
Indonesia telahmeletakkan landasan kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi
tindak pidana korupsi. Berbagai
kebijakan tersebut tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara
lain dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XI/MPR/1998 tentang
Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari KKN, UU No. 28 tahun 1999
tentangPenyelenggaraan Negara yang Bersih dari KKN, serta UU No. 31 tahun1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagai mana telahdiubah dengan UU
No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU No. 31Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. [1]
Komisi
Pemberantasan Korupsi Langkah pemberantasan korupsi sudah sejak lama dilakukan
oleh pemerintah negara ini. Bahkan, sejarah mencatat bahwa Indonesia adalah
negara pertama di asia yang mencanangkan suatu peraturan khusus mengenai
pemberantasan
Putusan
MK menyatakan bahwa Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 bertentangan
dengan UUD RI 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat sampai diadakan
perubahan palinglambat tiga tahun setelah sejak putusan ini diucapkan. Dalam
prinsipkepastian hukum, dinyatakan tidak boleh ada dualisme hukum. Sementaradalam
konteks sidang perkara korupsi yang berlaku pada saat ini, perkara korupsi
dapat disidangkan di dua pengadilan yang berbeda yaitu Pengadilan Umum dan
Pengadilan Tipikor. Untuk meniadakan dualism yang selama ini terjadi dalam
sidang perkara-perkara korupsi, maka seharusnya hanya ada satu pengadilan. Dan
jika Pengadilan Tipikor masih dikehendaki eksistensinya, maka harus disertai
dengan UU yang khusus mengaturnya.
Pada
tanggal 19 Desember 2006 Mahkamah Konstitusi melalui putusan nomor
012-016-019/PUU-IV/2006 telah membatalkan ketentuan pasal 53 Undang-Undang
No.30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengatur keberadaan
pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Putusan itu merupakan putusan perkara
pengujian undang-undang (constitusional review). Mahkamah Konstitusi dalam
putusan
menilai bahwa ketentuan pasal 53 Undang-Undang No.30 tahun 2002[2]
bertentangan dengan UUD 1945, karena telah terjadi dualisme penegakan hukum
dalam sistem peradilan tindak pidana korupsi. Dualisme yang telah menimbulkan
ketidak pastian hukum dan merugikan hak-hak konstitusional para pemohon. Adanya
keputusan tersebut berimplikasi dengan keharusan dari pihak Komisi Pemberantasan
Korupsi untuk segera merevisi undang-undang tipikor agar tidak bertentangan
dengan UUD 1945. Waktu yang telah diberikan oleh Mahkamah Konstitusi adalah
dalam waktu tiga tahun. Jika dalam waktu tiga tahun itu tidak dapat terpenuhi
maka semua perkara dan kasus yang berkaitan dengan korupsi akan diserahkan pada
peradilan umum. Undang-undang pengadilan tipikor ini merupakan salah satu
terobosan untuk mereformasi dan merekonstruksi sistem hukum yang ada di
Indonesia. Hukum yang progresif merupakan jalan dan arahan untuk terus
memberikan perubahan hukum walaupun paradigma yang substansial adalah
pembalikan dari ajaran legisme tapi dalam aplikasinya tetap dibutuhkan aturan
demi proses berjalannya sistem hukum di Indonesia.
Rupanya
batas waktu tiga tahun yang ditetapkan MK berhasil dipenuhi penyelenggara
Negara, yang ditandatangani oleh Pengesahan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009
tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi oleh Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono, di Jakarta pada 29 Oktober 2009
Dalam
Undang-undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan pengadilan khusus yang berada di
lingkungan umum. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya
pengadilan yang berwenang memeriksa[3],
mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi.Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kali Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang wilayah hukumnya meliputiseluruh wilayah
negara Republik Indonesia.Secara sistematik keberadaan Pengadilan Tipikor
sebagai Pengadilan khusus menimbulkan problem hukum tersendiri, karena Pengadilan
Tipikor berbeda dengan pengadilan khusus lain. Kompetensi Pengadilan Tipikor
ditentukan berdasarkan lembaga yang menuntut yaitu KPK. Jelas di sini artinya
bahwa Kompetensi Pengadilan Tipikor tidak ditentukan berdasarkan jenis perkara
tetapi ditentukan berdasarkan pada lembaga yang menuntut yaitu KPK.
BAB
2
PEMBAHASAN
PENGERTIAN KORUPSI
A.
Pengertian Tindak Pidana Korupsi.
Dalam
ensiklopedia Indonesia istilah “korupsi”
berasal dari bahasa Latin: (corruption = penyuapan; corruptore = merusak)
gejala dimana para pejabat, badan-badan negara menyalahgunakan wewenang dengan
terjadinya penyuapan, pemalsuan serta ketidak beresan lainnya. Adapun arti
harfia dari korupsi dapat berupa :
v Kejahatan
kebusukan, dapat disuap, tidak bermoral, kebejatan, dan ketidakjujuran.
v Perbuatan
yang buruk seperti penggelapan uang, penerimaan sogok dan sebagainya.
v Korup
(busuk; suka menerima uang suap, uang sogok; memakai
v kekuasaan
untuk kepentingan sendiri dan sebagainya.
v Korupsi
(perbuatan busuk seperti penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan
sebagainya);
v e.
Koruptor (orang yang korupsi).
Korupsi
adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi maupun pegawai negeri,
yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri atau memperkaya mereka
yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan publik yang dipercayakan
kepada mereka. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis
besar mencakup unsur-unsur sebagai berikut:
Ø penyalahgunaan
kewenangan, kesempatan, atau sarana;
Ø perbuatan
melawan hukum;
Ø memperkaya
diri sendiri, orang lain, atau korporasi;
Ø merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara;
Ø Selain itu terdapat beberapa jenis tindak
pidana korupsi yang lain, diantaranya: memberi atau menerima hadiah atau janji
(penyuapan); penggelapan dalam jabatan; pemerasan
dalam jabatan;
Ø ikut
serta dalam pengadaan (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara);
Ø menerima
gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara).
Dalam
arti yang luas, korupsi atau korupsi politis adalah penyalahgunaan jabatan
resmi untuk keuntungan pribadi. Semua bentuk pemerintah/pemerintahan rentan korupsi
dalam prakteknya. Beratnya korupsi berbeda-beda, dari yang paling ringan dalam
bentuk penggunaan pengaruh dan dukungan untuk memberi dan menerima pertolongan,
sampai dengan korupsi berat yang diresmikan, dan sebagainya. Titik ujung
korupsi adalah kleptokrasi, yang arti harafiahnya pemerintahan oleh para
pencuri, di mana pura-pura bertindak jujur pun tidak ada sama sekali.
Korupsi
yang muncul di bidang politik dan birokrasi bisa berbentuk sepele atau berat,
terorganisasi atau tidak. Walau korupsi sering memudahkan kegiatan kriminal
seperti penjualan narkotika, pencucian uang, dan prostitusi, korupsi itu
sendiri tidak terbatas dalam hal-hal ini saja. Untuk mempelajari masalah ini
dan membuat solusinya, sangat penting untuk membedakan antara korupsi dan
kriminalitas/kejahatan.
Tergantung
dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap
korupsi atau tidak. Sebagai contoh, pendanaan partai politik ada yang legal di
satu tempat namun ada juga yang tidak legal di tempat lain.
Korupsi
mencakup penyalah gunaan oleh pejabat pemerintah seperti penggelapan dan
nepotisme, juga penyalahgunaan yang menghubungkan sektor swasta dan
pemerintahan seperti penyogokan, pemerasan, campuran tangan, dan penipuan.
Korupsi
memerlukan dua pihak yang korup: pemberi sogokan (penyogok) dan penerima
sogokan. Di beberapa negara, budaya penyogokan mencakup semua aspek hidup
sehari-hari, meniadakan kemungkinan untuk berniaga tanpa terlibat penyogokan.
Di arena politik, sangatlah sulit untuk membuktikan korupsi, namun lebih sulit
lagi untuk membuktikan ketidakadaannya. Maka dari itu, sering banyak ada gosip
menyangkut politisi.
Politisi
terjebak di posisi lemah karena keperluan mereka untuk meminta sumbangan
keuangan untuk kampanye mereka. Sering mereka terlihat untuk bertindak hanya
demi keuntungan mereka yang telah menyumbangkan uang, yang akhirnya menyebabkan
munculnya tuduhan korupsi politis.
Korupsi
di Indonesia berkembang secara sistemik. Bagi banyak orang korupsi bukan lagi
merupakan suatu pelanggaran hukum, melainkan sekedar suatu kebiasaan. Dalam
seluruh penelitian perbandingan korupsi antar negara, Indonesia selalu
menempati posisi paling rendah.
Perkembangan
korupsi di Indonesia juga mendorong pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun
hingga kini pemberantasan korupsi di Indonesia belum menunjukkan titik terang
melihat peringkat Indonesia dalam perbandingan korupsi antar negara yang tetap
rendah. Hal ini juga ditunjukkan dari banyaknya kasus-kasus korupsi di
Indonesia.
Berdasarkan
undang-undang bahwa korupsi diartikan[4]:
a) Barang
siapa dengan melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau
orang lain atau suatu badan yang secara langsung merugikan keuangan Negara dan
atau perekonomian Negara dan atau perekonomian Negara atau diketahui patut
disangka olehnya bahwa perbuatan tersebut merugikan keuangan Negara (Pasal 2);
b) Barang
siapa dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan
menyalah gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
jabatan atau kedudukan secara langsung dapat merugikan Negara atau perekonomian
Negara (Pasal 3).
c) Barang
siapa melakukan kejahatan yang tercantum dalam pasal 209, 210, 387, 388, 415,
416, 417, 418, 419, 420, 425, 435 KUHP.
Proses Peradilan Tindak Pidana
Korupsi Menurut Undang-undang Yang Berlaku Di Indonesia
A.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Pengadilan yang biasa disebut dengan Pengadilan Tipikor ini berlokasi
di Lantai 1 dan 2 Gedung UPPINDO Jalan Rasuna Said Kav C-19, Kuningan, Jakarta
Selatan.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama kali
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
yang wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Pengadilan
ini dibentuk berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 (Dasar
hokum) tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi terdapat pada pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan
pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berkedudukan di setiap
ibu kota kabupaten/kota yang daerah hukumnya meliputi daerah hukum pengadilan
negeri yang bersangkutan.
·
Ruang
Lingkup
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi merupakan satu-satunya pengadilan yang berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tindak pidana korupsi yang diajukan
oleh penuntut umum atau yang diajukan oleh penuntut pada KPK sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus perkara tindak pidana korupsi atau tindak pidana lain yang
berkaitan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia di luar wilayah Negara Republik Indonesia.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara asing di luar wilayah Negara
Republik Indonesia sepanjang menyangkut kepentingan negara Indonesia.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi berwenang memberikan izin untuk melakukan pembekuan,
penyitaan, penyadapan, dan/ atau penggeledahan.
·
Susunan
Pengadilan
Hakim
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi terdiri atas hakim karir dan hakim ad hoc.
Untuk dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi, calon harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
1)
HAKIM KARIER
Untuk
dapat diangkat sebagai Hakim Tindak Pidana Korupsi seorang Hakim Karier harus
memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. berpengalaman
menjadi Hakim sekurang-kurangnya selama 10 (sepuluh) tahun; di bidang hukum
untuk hakim
b. berpengalaman
menangani perkara pidana;
c. jujur,
adil, cakap, dan memiliki integritas moral yang tinggi serta reputasi yang baik
selama menjalankan tugas;
d. tidak pernah dijatuhi hukuman disiplin
dan/atau terlibat dalam perkara pidana;
e. memiliki
sertifikasi khusus sebagai Hakim tindak pidana korupsi yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung; dan
f. telah
melaporkan harta kekayaannya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Calon
hakim yang telah lulus seleksi wajib mengikuti diklat yang diselenggarakan oleh
Mahkamah Agung untuk mendapatkan sertifikasi sebagai hakim Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi.
Untuk
dapat diusulkan sebagai hakim ad hoc Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
·
warga negara Republik Indonesia;
·
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
·
sehat jasmani dan rohani;
·
berpendidikan sarjana hukum atau sarjana
lain yang mempunyai keahlian dan berpengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima
belas) tahun di bidang hukum;
·
berumur sekurang-kurangnya 40 (empat
puluh) tahun pada proses pemilihan;
·
tidak pernah melakukan perbuatan
tercela;
·
cakap, jujur, memiliki integritas moral
yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik;
·
tidak menjadi pengurus salah satu partai
politik; dan
·
melepaskan jabatan struktural dan atau
jabatan lainnya selama menjadi hakim ad hoc.
Sebelum
memangku jabatan, hakim ad hoc wajib mengucapkan sumpah/janji menurut agamanya
di hadapan Presiden Republik Indonesia.
Ketentuan
penunjukan hakim adhoc sesuai dengan pasal 13 undang –undang no.46 tahun 2009 :
a)
Untuk memilih dan mengusulkan calon Hakim ad hoc pada Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dan pengadilan tinggi, Ketua Mahkamah Agung membentuk panitia seleksi
yang terdiri dari unsur Mahkamah Agung dan masyarakat yang dalam menjalankan
tugasnya bersifat mandiri dan transparan.
b)
Ketentuan mengenai tata cara pemilihan untuk diusulkan sebagai Hakim ad hoc
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (4) diatur dengan Peraturan Mahkamah
Agung.
Dalam
memangku sebuah jabatan hakim ad hoc, seorang hakim akan dilantik terlebuh
dahulu dan harus membacakan sumpah yang telah diatur dalam undang – undang
nomor 46 tahun 2009, dalam pasal 14 dikatakan bahwa[5] :
Sebelum
memangku jabatan, Hakim ad hoc diambil sumpah atau janji menurut agamanya oleh:
·
Ketua Mahkamah Agung untuk Hakim ad hoc
pada Mahkamah Agung;
·
Ketua pengadilan tinggi untuk Hakim ad
hoc pada pengadilan tinggi;
·
Ketua pengadilan negeri untuk Hakim ad
hoc pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.
Pemeriksaan Pendahuluan
Pada
hari sidang yang telah ditetapkan sebelum mulai memeriksa pokok perkara, ketua
majelis hakim mengadakan pemeriksaan pendahuluan mengenai kelengkapan dan
kejelasan materi surat dakwaan.
Jaksa
Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang
tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
·
Penyidikan,
Alat Bukti, dan Pembuktian
Untuk
kepentingan penyidikan, tersangka wajib memberikan keterangan tentang seluruh
harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap
orang atau korporasi yang diketahui dan atau yang diduga mempunyai hubungan
dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan tersangka.
Alat
bukti yang sah dalam perkara tindak pidana korupsi adalah yang ditetapkan
berdasarkan Hukum Acara Pidana yang berlaku, dan alat bukti lain yang meliputi:
Informasi
yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan Dokumen, yakni setiap rekaman data atau
informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan
dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas,
benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang
berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau
porforasi (tanda pengesahan) yang memiliki makna.
Setelah
penyidikan dinyatakan cukup, penyidik membuat berita acara dan disampaikan
kepada Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi untuk segera ditindaklanjuti.
·
Putusan
Perkara
tindak pidana korupsi diperiksa dan diputus oleh Pengadilan Tindak Pidana
Korupsi dalam waktu 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal
perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Dalam
hal putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dimohonkan banding ke Pengadilan
Tinggi, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu paling lama
60 (enam puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas perkara diterima oleh
Pengadilan Tinggi.
Dalam
hal putusan Pengadilan Tinggi Tindak Pidana Korupsi dimohonkan kasasi kepada
Mahkamah Agung, perkara tersebut diperiksa dan diputus dalam jangka waktu
paling lama 90 (sembilan puluh) hari kerja terhitung sejak tanggal berkas
perkara diterima oleh Mahkamah Agung.
·
Rehabilitasi
dan Kompensasi
Dalam
hal seseorang dirugikan sebagai akibat penyelidikan, penyidikan, atau
penuntutan, yang dilakukan oleh penuntut umum atau oleh penuntut pada KPK
secara bertentangan dengan undang-undang ini atau dengan hukum yang berlaku,
orang tersebut berhak mengajukan permohonan rehabilitasi dan/atau kompensasi.
·
Pembiayaan
Biaya
yang diperlukan untuk pelaksanaan tugas Komisi Pemberantasan Korupsi dibebankan
kepada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
BAB 4
Kesimpulan
Korupsi
menurut pandangan hokum adalah perilaku pejabat publik, baik politikus/politisi
maupun pegawai negeri, yang secara tidak wajar dan tidak legal memperkaya diri
atau memperkaya mereka yang dekat dengannya, dengan menyalahgunakan kekuasaan
publik yang dipercayakan kepada mereka.
Menurut
Hukum pemberantasan korupsi yang merupakan salah satu agenda terpenting dalam
pembenahan tata pemerintahan di Indonesia.
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani perkara korupsi.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus
tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Pengadilan yang biasa disebut dengan Pengadilan Tipikor ini berlokasi
di Lantai 1 dan 2 Gedung UPPINDO Jalan Rasuna Said Kav C-19, Kuningan, Jakarta
Selatan.
Pengadilan ini dibentuk
berdasarkan pasal 53 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 (Dasar hokum) tentang
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan
Tindak Pidana Korupsi juga berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara
tindak pidana korupsi dan tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak
pidana korupsi yang dilakukan oleh warga negara asing di luar wilayah Negara
Republik Indonesia sepanjang menyangkut kepentingan negara Indonesia.
Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi berwenang memberikan izin untuk melakukan pembekuan, penyitaan,
penyadapan, dan/ atau penggeledahan
Saran
Dalam
Hal ini semoga dapat membatu pengetahuan dan menambah ilmu pengetahuan kita
dalam Tindak Pidana Korupsi , dan yang terpenting adalah Dalam hal ini Tindak
Pidana Korupsi Merupakan Kejahatan atau Perbuatan yang harus di hapus kan
dimana agar terjadi Tata Pemerintah yang baik, ,Dengan adanya Pengadilan
Tipikor ini sangat berarti dalam menyangkut kepentingan negara Indonesia bebas
dari Tindak Pidana Korupsi
Daftar Pustaka
UU
No. 31 Tahun 1999 Tentang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi
UU
No. 7 Ttahun 2006 Tentang Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa Anti Korupsi
Undang-undang
Nomor 46 Tahun 2009
UU
No. 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi
UU
No. 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Tindak Pidana Korupsi UU No. 31 Tahun 1999
Kumpulan
Undang-undang Pembrantasan Tindak Pidana Korupsi
http://www.kpk.go.id/modules/edito/doc/UU302002.pdfhttp://www.kpk.go.id/modules/edito/doc/UU302002.pdf
^ http://www.antara.co.id/arc/2006/12/19/mk-putuskan-uu-pengadilan-khusus-tipikor-harus-diatur-dalam-waktu-tiga-tahun/