BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ekpolitasi
Anak Bekerja di Bawah Umur
Dalam
perspektif UU Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat 1 No.23 tahun 2002 bahwa anak
yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam perlindungan. Dalam
hal ini mereka tidak boleh menjadi tulang punggung ekonomi keluarga. Anak-anak
hanya boleh berada di tiga tempat, yakni rumah, sekolah dan tempat mereka
bermain saja. Apapun alasannya mempekerjakan anak di bawah umur merupakan
perbuatan yang melanggar Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, UU tentang
Perburuhan dan UU tentang Ketenaga kerjaan. Faktor penyebab
utama munculnya tenaga kerja anak (buruh anak) adalah kemiskinan dan pendidikan Dengan bekerjanya
anak-anak seolah-olah orang tua merasa beruntung padahal sebaliknya karena
dampak yang ditimbulkan dari anak bekerja di bawah umur sangatlah banyak
antaralain pertumbuhan fisik dariapada anak tersebut bisa terhambat,
pertumbuhan emosional dan pertumbuhan sosial serta moral.
Untuk
para orang tua yang memiliki anak dibawah umur namun mereka tidak mampu
menyekolahkan anak-anak mereka dikarenakan faktor ekonomi, sebaiknya mengkaji
kembali keuntungan serta kerugian jika mereka mempekerjakan anak mereka pada
tempat yang memiliki kondisi kerja yang tidak sesuai untuk anak dibawah
umur,seharusnya orang tua tidak memaksakan kehendak mereka untuk mempekerjakan
anak mereka, meski dalam hal ini mempekerjakan anak merupakan hal yang cukup
menguntungkan bagi kelangsungan hidup keluarga, namun para orang tua seharusnya
menyadari bahwa dengan mempekerjakan anak-anak mereka, berarti para orang tua
telah mengorbankan kebebasan serta hak-hak anak.
Untuk
masyarakat pada umumnya,solidaritas yang tinggi terhadap warga lain disekitar
tempat tinggalnya, dimana masyarakat yang secara ekonomi lebih mampu daripada
masyarakat yang lainnya, hendaknya mereka memberikan bantuan baik itu berupa
modal usaha maupun dengan menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga
yang kurang mampu agar mereka dapat bersekolah.
BAB II
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, maka kami dapat
merumuskan masalah dalam karya tulis ini, sebagai berikut:
1. Kajian
HAM tentang pekerja anak ?
2. Apakah
Pekerja Anak masih jadi masalah di Indonesia ?
3. Jenis
Dan Betuk Pekerja Anak ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.
Tinjauan Pustaka
Pejelasan HAM terhadap anak
Anak
adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus kita
jaga karena dalam dirinya melekat harkat, martabat dan hak- hak sebagai manusia
yang harus dijunjung tinggi. Anak sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki
hak sejak dilahirkan, sehingga tidak ada manusia atau pihak lain yang boleh
merampas hak tersebut.
Pada
hakekatnya Hak asasi Manuisa adalah suatu konsepsi mengenai pengakuan atas harkat
dan martabat manusia yang dimiliki secara alamiah yang melekat pada setiap
manusia tanpa perbedaan bangsa, ras, agama dan jenis kelamin. Untuk mewujudkan
konsepsi Hak Asasi Manusia masing-masing orang dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, tentu saja konsepsi itu harus dijabarkan dan
dituangkan dalam berbagai peraturan perundang-undangan dalam sistem
hukum nasional, sehingga
selain Hak Asasi
Manusia tersebut dijamin dan
dilindungi oleh undang-undang juga apabila hak tersebut dilanggar maka akan
terjadi pelanggaran hukum.
Begitu
halnya juga dengan hak anak, salah satu dari hak asasi anak adalah jaminan
untuk mendapatkan perlindungan yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan
kemanusiaan. Jaminan perlindungan hak asasi tersebut sesuai dengan nilai- nilai
pancasila dan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Hak
asasi anak diakui
secara universal sebagaimana
tercantum dalam Piagam PBB,
Deklarasi PBB tahun 1945 tentang Hak Asasi Manusia, Deklarasi ILO di Philadelphia
Tahun 1944 tentang Hak-Hak Anak, Konvensi PBB Tahun 1989 Tentang Hak-Hak Anak.
Hak asasi anak merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang termuat dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dan Konvensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak (Convention on The Rights of The Child). Bahwa
dalam deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan
bahwa dalam masa kanak-kanak, anak berhak memperoleh pemeliharaan dan bantuan khusus.
Sebagai
anggota PBB dan Organisasi Ketenagakerjaan Internasional atau ILO (International Labour Organization) Indonesia
menghargai, menjungjung tinggi, dan berupaya menerapkan perlindungan Hak asasi
Manusia, termasuk di dalamnya adalah hak anak. Konvensi ILO No 182 Tahun 1999
mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak yang disetujui
pada Ketenagakerjaan Internasional ke-87 tanggal 17
Juni 1999 di
Jenewa dan yang
telah diratifikasi oleh
Republik Indonesia dengan Undang-Undang No 1 tahun 2000, merupakan salah
satu Konvensi yang melindungi
hak asasi anak. Konvensi ini
mewajibkan setiap negara anggota
ILO yang telah merativikasinya harus segera melakukan tindakan- tindakan untuk
menghapuskan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak.
Menurut
Goonesekere dalam Koesparmono (2009: 64) berpendapat bahwa bagi anak untuk
mencapai keadilan bukan hanya harus mendapatkan hak-hak sipil tetapi juga
hak-hak sosial ekonomi atau hak kesejahteraan. Hal ini berarti bahwa negara
memerlukan sistem sosial dan ekonomi yang efektif sehingga anak-anak tidak
dieksploitasi atau ditempatkan pada keadaan yang tidak menguntungkan.
Namun,
pada kenyataanya jumlah pekerja anak saat ini semakin banyak. Keberadaan
pekerja anak merupakan suatu fenomena yang kompleks dan sudah berlangsung lama
yang dimulai dari negara-negara Eropa dan kemudian negara berkembang didunia
ketiga termasuk di Indonesia.
Menurut
Tjandraningsih (1995) dalam Mulyadi (2003: 110) mengatakan bahwa
“pekerja
anak adalah anak-anak yang melakukan pekerjaan secara rutin untuk orang tuanya
atau untuk orang lain, dengan membutuhkan sejumlah besar waktu dengan menerima
imbalan maupun tidak”.
Dalam
Undang-undang No. 1 Tahun 1951 membedakan
pekerja remaja dan
pekerja anak. Dimana
pekerja remaja adalah mereka yang berada dalam usia 14-18 tahun,
sedangkan pekerja anak adalah mereka yang berusia di bawah 14 tahun. Sedangkan
menurut Badan Pusat Statistik pekerja anak adalah mereka yang berusia 10-14
tahun dan yang bekerja paling sedikit 1 jam secara terus menerus dalam seminggu
yang lalu dan bekerja untuk meningkatkan penghasilan keluarga atau rumah
tangga.
Dari
pengertian tersebut, maka yang disebut sebagai pekerja anak adalah mereka yang
berusia 18 tahun kebawah yang
bekerja untuk membantu penghasilan orang tua dan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
Banyak
cara penyamaran eksploitsi anak, akan tetapi apapun bentuk yang diambil, semua
di dasarkan pada pemanfaatan kelemahan dan ketidak berdayaan anak-anak.
Terjadinya eksploitasi
terhadap anak adalah
karena minimnya Perlindungan
terhadap mereka, padahal mereka masih membutuhkan perlindungan.
Faktor
kemiskinan yang dihadapi oleh keluarga, menjadi salah satu alasan bagi mereka
untuk bekerja. Ditambah lagi posisi pinggiran juga menjadikan mereka hanya
mementingkan bagaimana agar dapat sekedar bertahan hidup saja, akan tetapi
kondisi seperti ini mendatangkan keuntungan bagi prang-orang yang
mengeksploitasi mereka.
Meskipun
perbudakan telah dinyatakan sebagai tindakan melanggar hukum di seluruh dunia,
namun banyak keadaan yang membuat kehidupan dan pekerjaan anak dapat disebut
sebagai mendekati perbudakan. Hal ini mencakup eksploitasi buruh anak-anak,
kerja paksa, penjualan anak-anak, pelacuran yang dipaksakan dan penjualan
manusia, serta penjualan narkotika dengan pelantara anak-anak.
Keberadaan anak
yang bekerja tentunya
harus mendapatkan perhatian, bukan hanya terhadap anak itu
sendiri, melainkan situasi dimana mereka bekerja juga harus mendapatkan
perhatian. Seperti yang
diungkapkan oleh A Rahman (1997: 67) yang menyebutkan,
”yang perlu mendapatkan perhatian
bukanlah kenyataan bahwa mereka itu bekerja, akan tetapi situasi kerja mereka
itulah yang menjadi ukuran eksploitasi.”
Dari
pendapat diatas, pemilihan situasi kerja sebagai salah satu yang juga harus
mendapatkan perhatian bagi perlindungan anak, karena situasi kerja anak mungkin
dapat membahayakan kesehatan tubuh dan kesehatan mental serta nilai moral
mereka.
Pekerjaan
anak ini merugikan anak dan dapat mencegah ia menjadi orang dewasa biasa. Oleh
karena itu, pekerjaan anak semacam ini harus ditolak baik dengan alasan
perikemanusiaan maupun dengan alasan tidak menguntungkan. Di pandang dari sudut
pendidikan, anak masih harus bersekolah sampai umur empat belas tahun, yang
kira-kira sampai sekolah menengah pertama
Larangan terhadap
pekerjaan anak terdapat
pada Undang-Undang Kerja pada pasal 2
yang menetapkan bahwa
”anak tidak boleh menjalankan pekerjaannya”.
Sejalan dengan penjelasan pada pasal tersebut, Larangan
pekerjaan ini maksudnya ialah untuk menjaga kesehatan dan pendidikan anak.
Badan anak masih lemah untuk menjalankan pekerjaan, apalagi pekerjaan yang
berat. Selain itu, larangan pekerjaan anak dihubungkan dengan kewajiban belajar
bagi anak-anak.
Anak-anak
yang terpaksa bekerja dalam
perspektif Konvensi Hak Anak (KHA)
dikategorikan sebagai anak-anak yang
membutuhkan perlindungan khusus
(children in need of special protection/CNSP). Anak yang terpaksa pekerja dalam
terminologi Hukum Hak Asasi Manusia Internasional disebut dengan pekerja anak
(child labour) (Adzkar, 2010: 1).
Anak
dalam situasi khusus (childern in need of special protection/CNSP)
berdasarkan interpretasi hukum
Komite Hak Anak
PBB terdapat 4
(empat) kelompok yaitu:
1. Anak-anak dalam situasi darurat (children in
situation of emergency), yakni pengungsi anak (children refugee) baik pengungsi
lintas negara maupun pengungsi dalam negeri (internally displaced people) dan
anak yang berada dalam situasi konflik bersenjata (children in situation of
armed conflict).
2.
Anak dalam situasi eksploitasi, meliputi eksplotasi ekonomi, penyalahgunaan obat (drug
abuse), eksplotasi seksual,
perdagangan anak (trafficking), dan ekploitasi bentuk lainnya.
3.
Anak yang berhadapan dengan hukum (children in conflict with the Law).
4.
Anak yang berasal dari masyarakat adat dan kelompok minoritas (children from
indigenous people and minorities).
Perlindungan
khusus terhadap anak diatur dalam pasal 59 sampai dengan pasal 71 Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002. Pemerintah dan lembaga negara berkewajiban dan bertanggung
jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak:
1. dalam situasi darurat,
2. anak yang berhadapan dengan hukum,
3. anak dari kelompok minoritas dan terisolasi,
4. anak terekploitasi secara ekonomi, dan atau
seksual,
5. anak yang diperdagangkan,
6. anak yang menjadi korban penyalahgunaan
narkotika, alcohol,psikotropika, dan zat adiktif lainnya.
7. anak korban penculikan, penjualan dan
perdagangan,
8. anak korban kekerasan fisik dan/ atau mental,
9. anak penyandang cacat, dan
10.
anak korban perlakuan salah dan pelantara
Anak dalam
situasi pada huruf
(d) diatas dapat
diaktegorikan sebagai pekerja
anak dibawah umur . Oleh sebab itu keberadaan mereka harus mendapatkan
perlindungan khusus dari pemerintah.
Hal ini dapat dilihat pada pasal
64 Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi Manusia menyebutkan bahwa:
setiap
anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan eksploitasi ekonomi dan
setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya sehingga dapat mengganggu
pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan social, dan mental spiritual.
Perlindungan
khusus bagi anak yang dieksploitasi dilakukan melalui:
1. penyebarluasaan dan/ atau sosialisasi tentang
peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang
dieksploitasi secara ekonomi dan/ atau seksual;
2. pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi;
dan
3. pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan,
serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan
eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/ atau seksual.
Jadi,
setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan,
atau turut serta melakukan eksploitasi terhadap anak
2. PEKERJA ANAK DI INDONESIA
Hak
Azasi Manusia adalah Hak yang dimiliki manusia yang telah di peroleh dan
dibawanya bersamaan dengan kelahiran atau kehadirannya di dalam kehidupan
masyarakat ( Prof. Miriam Budiarjo 1983
: 120 ).
Itulah
salah satu pendapat yang menyatakan bahwa Hak Azasi Manusia harus di miliki
oleh setiap manusia yang hidup di bumi ini tanpa melihat jenis kelamin
,keturunan, suku, bangsa, kaya, miskin semuanya memiliki hak yang sama ketika
mereka lahir ke dunia.
Pertanyaannya
adalah apakah Hak itu telah di rasakan oleh semua manusia atau belum..... ?
khususnya di Indonesia yang telah memiliki beberapa Undang-undang tentang
Hak-hak setiap warga negara bahkan dalam dasar negara pun Hak-hak itu telah
dicantumkan.
Mari
kita lihat bersama kemiskinan, kelaparan, anak terlantar apakah mereka telah
merasakan Hak-hakmya sebagai warga negara yang memang harus di lindungi dan
dipelihara oleh negara ( UUD 45 ) . Pekerja Anak ( Child Labour ) adalah sebuah istilah untuk
memperkerjakan anak kecil/ anak dibawah umur, istilah ini memiliki
pengeksploitasian anak kecil atas tenaga mereka, dengan gaji yang kecil atau
pertimbangan bagi perkembangan kepribadian mereka, keamanan, kesehatan dan
prospek masa depannya.
Pekerja
Anak masih jadi masalah di Indonesia dari data statistik, sekira 6 % anak
Indonesia usia 10-14 tahun, atau tak kurang dari 1,6 juta anak jadi bagian dari
angkatan kerja.Data Organisasi Buruh Internasional ( ILO ) lebih heboh lagi .
di Indonesia diperkirakan lebih dari 4,2 juta anak terlibat dalam pekerjaan
berbahaya atau berisiko tinggi. Sekira 1,5 juta diantaranya adalah anak
perempuan. Sedangkan data hasil survei niversitas Indonesia dan Program
Penghapusan Buruh Anak ILO, mengungkap, dari sekira 2,6 juta Pembantu Rumah
Tangga ( PRT ) di ndonesia saat ini, 34,83 % diantaranya ank-anak, dan 93 %
diantaranya adalah anak perempuan. Dalam UU Nomor 13 tahun 2003 tentang
ketenaga kerjaan, di sebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak yang berusaha
dibawah 18 tahun. Mereka boleh di pekerJakan asal ada izin dari orang tua dan
bekerja maksimal 3 jam sehari, itu berarti jika hak-hak anak diabaikan dan
mereka bekerja lebih dari 3 jam sehari, sudah tentu bentuk Eksploitasi Anak dan
merupakan salah satu betuk pelanggaran Hak Azasi Manusia.
Dalam
UU Nomor 23/2002 tentang perlindungan Anak, pasal 88 tegas di sebutkan " setiap orang yang mengekploitasi ekonomi
atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, dipidana dengan pidana penjara selama 10 tahun dan atau dendang paling
banyak Rp. 200 Juta ".
Karena
tidak ditegakan dengan baik, maka banyak orangtua /masyarakat mengabaikannya,
faktor Ekonomi dan kemiskinan jadi alasan orang tua mempekerjakan anak,faktor
ini pula yang jadi sebab utama Hak anak -anak itu menjadi terabaikan.
Pekerja
Anak ( Child Labour ) adalah sebuah
istilah untuk memperkerjakan anak kecil/ anak
di bawah umur
UU
Nomor 23/2002 tentang perlindungan Anak, pasal 88 tegas di sebutkan "
setiap orang yang mengekploitasi ekonomi atau seksual anak dengan maksud untuk
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, dipidana dengan pidana penjara
selama 10 tahun dan atau dendang paling banyak Rp. 200 Juta ".
3 .Perlindungan Hukum Terhadap
Pekerja Rumah Tangga Anak di Bawah Umur Menurut Hukum Nasional
Beberapa
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan perlindungan anak dari
eksplotasi ekonomi, eksploitasi seksual, dan keterlibatan dalam konflik
bersenjata atau dikenal
dengan bentuk-bentuk pekerjaan
terburuk bagai anak diatur baik dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945, maupun undang-undang lainnya yang berhubungan
dengan perlindungan anak
Seharusnya
seorang anak itu tidak diperuntukan untuk bekerja. Apalagi anak yang masih di
bawah umur seperti yang sudah dijelaskan diatas. Seorang anak mempunyai hak
untuk mendapatkan kehidupan yang layak. Bertitik tolak dari konsepsi
perlindungan anak yang utuh,
menyeluruh, dan komprehensif
untuk memperoleh haknya, maka dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 meletakan kewajiban
untuk memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai
berikut:
1. Non diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik bagi anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan, dan;
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam
melakukan pembinaan, pengembangan, dan perlindungan anak, perlu peran
masyarakat, baik melalui lembaga perlindungan anak, lembaga keagamaan, lembaga
swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, organisasi sosial, atau lembaga
pendidikan.
Namun
pada kenyataan, masih banyak anak-anak yang belum terpenuhi haknya. Bahkan tak
jarang anak dijadiakn sebagai eksploitasi ekonomi dan/ atau seksual, baik yang
dilakukan secara sengaja atau tidak sengaja. Tuntutan ekonomi yang semakin
meningkat, membuat sebagian anak yang hidup dikalangan menengah ke bawah harus
putus sekolah. Dengan alasan orang tua yang tidak memiliki biaya yang cukup
untuk menyekolahkan anak mereka.
Keadaan
seperti inilah yang pada akhirnya membuat anak-anak tersebut memilih bekerja
untuk membantu keuangan keluarga. Padahal sudah jelas dalam undang-undang bahwa
anak dibawah umur, dalam artian anak yang berada pada usia sekolah (7 tahun
sampai 15 tahun) tidak diperbolehkan
bekerja. Hal ini dipertegas dalam pasal
6 ayat (1) Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang menyatakan, “setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima
belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”.
Hal
ini juga sesuai dengan pasal 9 Undang-undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan
Anak yang menyebutkan
bahwa setiap anak
wajib mendapatkan pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan
pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Pasal
ini sejalan dengan pasal 28 C Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 yang menyebutkan:
“Setiap orang berhak mengembangkan diri
melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapatkan pendidikan danmemperoleh manfaat
dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya demi meningkatkan
kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia”
Perlindungan
hak anak untuk memperoleh pendidikan pun diatur dalam pasal 5 ayat (1) yang
menyebutkan ”setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh
pendidikan yang bermutu”.
Adapun
jalur pendidikan yang bisa diperoleh oleh seorang anak, yaitu melalui jalur
pendidikan formal, pendidikan in-formal, dan pendidikan non- formal. Seperti
yang ada pada penjelasan pasal 14 Undang-Undang No 20/2003
tentang
Sistem Pendidikan Nasional yang menyebutkan, ”jenjang pendidikan formal
terdiri atas pendidikan
dasar, pendidikan menengah,
dan pendidikan tinggi”.
Seorang
anak yang terpaksa bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan keluarga, tentu saja tidak sembarangan
bekerja. Ada beberapa syarat yang harus
dipenuhi
bagi seseorang atau pengusaha yang akan mempekerjakan seorang
anak.
Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pasal 69 (2) disebutkan pengusaha yang mempekerjakan anak
pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan
:
1. izin tertulis dari orang tua atau wali;
2. perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali;
3. waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam;
4. dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah;
5. keselamatan dan kesehatan kerja;
6. adanya hubungan kerja yang jelas; dan
7. menerima upah sesuai dengan ketentuan
yang berlaku.
Adapun ketentuan atau syarat untuk mempekerjakan anak wajib memenuhi
syarat, antara lain:
1. di bawah pengawasan langsung dari orang tua dan wali;
2. waktu kerja paling lama 3 (tiga) jam sehari; dan
3. kondisi dan lingkungan kerja tidak mengganggu perkembangan fisik, mental,
sosial, dan waktu sekolah.
Selain
itu juga, adanya perlindungan lain yang diberikan pengusaha/majikan bagi
pekerja, termasuk di dalamnya pekerja anak,yaitu yang berkaitan dengan norma
kerja yang meliputi waktu kerja, mengaso, istirahat (cuti) dan upah.
Perlindungan ini sebagai wujud
pengakuan terhadap hak-hak pekerja
sebagai manusia yang harus diperlakukan secara manusiawi dengan
mempertimbangkan keterbatasan kemampuan fisiknya, sehingga harus diberikan
waktu yang cukup untuk beristirahat
Selain
perlindungan hak-hak yang sudah dijelaskan diatas, pekerja anak juga
berhak mendapatkan pelatihan
kerja. Hal ini
bertujuan agar mereka bisa mengembangkan bakat
serta kemampuan mereka.
Seperti
yang diatur dalam pasal 9 Undang-Undang No 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
menyebutkan, “pelatihan kerja diselenggarakan dan diarahkan untuk membekali,
meningkatkan, dan mengembangkan kompetensi kerja guna meningkatkan kemampuan,
produktivitas, dan kesejahteraan”.
Dimana
hak untuk mendapat pelatihan kerja ini bertujuan untuk melindungi keselamatan
pekerja anak. Melalui pelatihan kerja ini, anak diajarkan bagaimana
mengoperasikan alat-alat rumah tangga. Hal ini perlu dilakukan karena kebanyakan
anak yang bekerja sebagai pekerja rumah
tangga berasal dari daerah, yang mungkin tidak pernah berhadapan dengan
barang-barang rumah tangga modern yang kebanyakan dipakai oleh rumah-rumah saat
ini. Sehingga pelatihan kerja ini sangat penting dilakukan guna menjaga
keselamatan kerja mereka
BAB IV
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari penjelasan dan pemaparan dalam bab
pembahasan, maka dapat disimpulkan bahwa HAM telah mengatur setiap perlindungan
terhadap anak, Begitu halnya juga dengan hak anak,
salah satu dari hak asasi anak adalah jaminan untuk mendapatkan perlindungan
yang sesuai dengan nilai-nilai agama dan kemanusiaan. Jaminan perlindungan hak
asasi tersebut sesuai dengan nilai- nilai pancasila dan tujuan negara
sebagaimana tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Dan di indonesia sendiri
telah di atur, Seorang anak yang terpaksa bekerja untuk membantu memenuhi kebutuhan
keluarga, tentu saja tidak sembarangan bekerja. Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi bagi seseorang atau pengusaha yang akan mempekerjakan seorang anak. Seperti yang terdapat dalam Undang-Undang
No. 13 Tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan, pasal 69
dan
UU
Nomor 23/2002 tentang perlindungan Anak, pasal 88 tegas di sebutkan " setiap orang yang mengekploitasi ekonomi
atau seksual anak dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang
lain, dipidana dengan pidana penjara selama 10 tahun dan atau dendang paling
banyak Rp. 200 Juta ".
Dengan demikian banyaknya
anak yang bekerja dikarnakan masih minim nya ekonomi dalam kehidupan. Dan
sebaik nya Untuk para orang tua yang memiliki anak dibawah umur
namun mereka tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka dikarenakan faktor
ekonomi, sebaiknya mengkaji kembali keuntungan serta kerugian jika mereka
mempekerjakan anak mereka pada tempat yang memiliki kondisi kerja yang tidak
sesuai untuk anak dibawah umur.
Untuk
masyarakat pada umumnya,solidaritas yang tinggi terhadap warga lain disekitar
tempat tinggalnya, dimana masyarakat yang secara ekonomi lebih mampu daripada
masyarakat yang lainnya, hendaknya mereka memberikan bantuan baik itu berupa
modal usaha maupun dengan menjadi orang tua asuh bagi anak-anak dari keluarga
yang kurang mampu agar mereka dapat bersekolah
B.Saran
Semoga
hasil penulisan dari makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan bagi penulis
khususnya, karena pada dasarnya kita semua adalah seorang yang masih
membutuhkan banyak ilmu dan pengetahuan untuk mengetahui segala hal yang ada di
dalam kehidupan kita, dalam makalah inipun menjelaskan beberapa pendapat pakar
terhadap hukum Ekpolitasi Anak Bekerja di Bawah Umur yang nantinya akan menjadikan referensi
tersendiri bagi para pembaca dalam memaknai Ekpolitasi Anak Bekerja
di Bawah Umur tersebut.
Kemudian pandangan hukum HAM terhadap Ekpolitasi
Anak Bekerja di Bawah Umur yang
terdapat di Negara Indonesia pun mengiringi pemaparan makalah ini, dengan
tujuan untuk membuka wawasan para penbaca tentang pandangan HAM terhadap Ekpolitasi
Anak Bekerja di Bawah Umur tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Di kutip dari beberapa sumber... tagpekerja
anak
UU
PA Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak
Abu
Huraerah. (2006).Kekerasan Terhadap Anak. Jakarta :Penerbit Nuansa
DOWNLOAD DISINI KLIK
.