Jumat, 11 Mei 2012

HUKUM KESEHATAN MAKALAH ( DOKTER DAN PASIEN)


BAB I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan tanggung jawab tidak seimbang itu, menyebabkan pasien yang karena keawamannya tidak mengetahui apa yang terjadi pada waktu tindakan medik dilakukan, hal ini dimungkinkan karena informasi dari dokter tidak selalu dimengerti oleh pasien.
Seringkali pasien tidak mengerti itu, menduga telah terjadi kesalahan/kelalaian, sehingga dokter diminta untuk mengganti kerugian yang dideritanya. Yang seringkali menjadi pendapat yang salah adalah bahwa setiap kesalahan/ kelalaian yang diperbuat oleh dokter harus mendapat gantirugi. Bahkan kadang-kadang kalau ada sesuatu hal yang diduga terjadi malpraktek, maka dipakai oleh pasien sebagai kesempatan untuk memaksa dokter membayar ganti rugi. Pada penentuan bersalah tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus dibuktikan terlebih dahulu dan ditentukan oleh hakim di Pengadilan. Masalahnya dokter sangat rentan terhadap publikasi, sehingga seringkali dokter yang enggan menjadi sorotan di media massa, membayar komplain pasien, tanpa melalui proses hukum.
Kesalahan ini sering disalah gunakan oleh pasien, menyebabkan dokter akan melindungi dirinya dengan berbagai cara untuk menghindari gugatan dari pasien. Salah satu cara yaitu dengan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yaitu asuransi ; atau bekerja ekstra hati-hati. Pada gilirannya pasien juga yang rugi, karena biaya pengobatan menjadi lebih besar dan pasien yang harus menanggung beban.
Sebenarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan dan diketahui oleh para dokter pada umumnya, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan dan kelalaian dapat menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk memahami ada tidaknya kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi di samping memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik.




BAB II
PERMASALAHAN
Ada pun  beberapa masalah yang kami dapat kami ambil dalam makalah kami adalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana hubungan antara dokter dan pasien dalam ruang lingkup kaca mata hukum?
2.      Apa yang menyebabkan seorang dokter dikatakan melakukan kesalahan/kelalaian dalam menjalankan profesinya?









BAB III
PEMBAHASAN
A.     Pengertian
Dokter adalah orang yang memiliki kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan, khususnya memeriksa dan mengobati penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.
Istilah kelalaian Medis adalah sebagai terjemahan dari ‘Negligence” (Belanda : Nalatigheid) dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Seseorang dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh dan tak peduli. Juga tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya didalam tata pergaulan hidup masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai membawa kerugian atau cedera dan menyangkut hal yang sepele, maka kelalaian itu tidak berakibat hukum. Prinsip ini berdasarkan “De minimis not curat lex, The law does not concern itself with trifles“. Yaitu hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele.
Apabila kelalaian yang dilakukan sudah mencapai tingkat tidak memperdulikan keselamatan orang lain, maka kelalaian yang dilakukan akan berubah menjadi tindakan kriminal. Jika akibat dari kelalaian yang dilakukan menyebabkan celaka, cedera, bahkan sampai merenggut nyawa maka kelalaian tersebut termasuk tindak pidana dan pelanggaran hukum.


B.     Kesalahan dan Kelalaian Dokter
Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medis yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Ketidakpuasan tersebut terjadi karena hasil yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan harapan pasien dan keluarganya. Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan pasien, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.
Hariyani (2005) mengemukakan bahwa dalam kaitan hubungan antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama terkait masalah “informed consent“. Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut dengan istilah “sengketa medik“.
Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang sering dikemukakan pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah :
1.      Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.
2.      Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai dilakukan, terutama dalam hal tindakan medis yang beresiko tinggi dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik.
3.      Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.
4.      Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh dokter.
5.      Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat (paramedis), padahal menurut hukum yang berhak memberikan informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut.

Apakah tidak diberikannya informasi ini termasuk dalam kategori kelalaian dokter?
Menurut Fuady (2005) untuk dapat diajukannya gugatan atas dasar ketiadaan informed consent harus dipenuhi beberapa unsur yuridis sebagai berikut :
1.      Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari pasien.
2.      Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan tanpa justifikasi yuridis.
3.      Adanya kerugian dipihak pasien.
4.      Adanya hubungan sebab akibat antara ketiadaan informed consent dan kerugian tersebut.
Dalam buku hukum medik (medical law), Guwandi (2004) menyatakan bahwa “kelalaian” sebagai terjemahan dari ‘negligence“, yang dalam arti umum bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan. Seseorang dapat dikatan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern itself with trifles).
Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang.
Untuk menentukan adanya kelalaian dokter, Hariyani (2005) menyebutkan 4 unsur yang disingkat dengan “4D” yaitu sebagai berikut :
a.       Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.
b.      Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban)
c.       Terjadinya damaged (kerusakan / kerugian)
d.      Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Kalau dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk dalam ruang lingkup perjanjian (transaksi terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Perjanjian terapeutik memiliki sifat dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan ciri perjanjian pada umumnya, karena obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan “kesembuhan” pasien, melainkan mencari “upaya” yang tepat untuk kesembuhan pasien. Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian tentang “upaya” atau disebut (Inspaningsverbintenis) bukan perjanjian tentang “hasil” atau disebut (Resultaatverbintenis). Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara lain karena pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber dari kepercayaan pasien terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik ( informed consent ).
C.     Informed Consent
Di Indonesia informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989. Persetujuan tindakan medik (informed consent) dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.
Sebab dalam konsep ini dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai dengan standard profesinya. Jadi Seorang dokter dapat dikatakan melakukan kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang dimilikinya sesuai dengan standard operasional (SOP).
D.    Ketentuan Informed Consent
Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada peraturan pemerintah No.18 tahun 1981 yaitu:
1.      Manusia dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2.      Semua tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed consent secara lisan maupun tertulis.
3.      Setiap tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
4.      Untuk tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan atau sikap diam.
5.      Informasi tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6.      Isi informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed consent).















BAB IV
PENUTUP
  1. Kesimpulan
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari permasalahan di atas, bahwa :
1.      Hubungan antara dokter dan pasien dalam ruang lingkup kaca mata hukum adalah termasuk dalam ruang lingkup perjanjian (transaksi terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut.
2.      Yang menyebabkan seorang dokter dikatakan melakukan kesalahan/ kelalaian dalam menjalankan profesinya adalah apabila dia tidak memenuhi kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang dimilikinya sesuai dengan standard operasional (SOP).
  1. Saran
Dari pembahasan kami diatas, kami menyarankan agar kiranya setiap dokter dapat menjalankan kode etik profesinya sesuai dengan informed consent (PTM), sehingga tidak terjadinya kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh dokter yang dapat merugikan dokter itu sendiri beserta pasiennya.

Trimakasih Atas Partisipasi dari sodara . M. Irfan Karna telah Memberikan Makalah ini:

Buat SOBAT SEKALIAN BISA MENDOWNLOAD  KLIK  Disini