BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Hubungan dokter
dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi pelayanan
kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar
dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan
tanggung jawab tidak seimbang itu, menyebabkan pasien yang karena keawamannya
tidak mengetahui apa yang terjadi pada waktu tindakan medik dilakukan, hal ini
dimungkinkan karena informasi dari dokter tidak selalu dimengerti oleh pasien.
Seringkali
pasien tidak mengerti itu, menduga telah terjadi kesalahan/kelalaian, sehingga
dokter diminta untuk mengganti kerugian yang dideritanya. Yang seringkali
menjadi pendapat yang salah adalah bahwa setiap kesalahan/ kelalaian yang
diperbuat oleh dokter harus mendapat gantirugi. Bahkan kadang-kadang kalau ada
sesuatu hal yang diduga terjadi malpraktek, maka dipakai oleh pasien sebagai
kesempatan untuk memaksa dokter membayar ganti rugi. Pada penentuan bersalah
tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus dibuktikan terlebih dahulu dan
ditentukan oleh hakim di Pengadilan. Masalahnya dokter sangat rentan terhadap
publikasi, sehingga seringkali dokter yang enggan menjadi sorotan di media
massa, membayar komplain pasien, tanpa melalui proses hukum.
Kesalahan ini
sering disalah gunakan oleh pasien, menyebabkan dokter akan melindungi dirinya
dengan berbagai cara untuk menghindari gugatan dari pasien. Salah satu cara
yaitu dengan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yaitu asuransi ;
atau bekerja ekstra hati-hati. Pada gilirannya pasien juga yang rugi, karena
biaya pengobatan menjadi lebih besar dan pasien yang harus menanggung beban.
Sebenarnya
kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis, merupakan
suatu hal yang penting untuk dibicarakan dan diketahui oleh para dokter pada
umumnya, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan dan kelalaian dapat
menimbulkan dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi
kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian
pada pasien. Untuk memahami ada tidaknya kesalahan atau kelalaian tersebut,
terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian pelaksanaan profesi harus diletakkan
berhadapan dengan kewajiban profesi di samping memperhatikan aspek hukum yang
mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter dengan pasien yang bersumber
pada transaksi terapeutik.
BAB II
PERMASALAHAN
Ada pun beberapa masalah yang kami dapat kami ambil dalam
makalah kami adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
hubungan antara dokter dan pasien dalam ruang lingkup kaca mata hukum?
2. Apa
yang menyebabkan seorang dokter dikatakan melakukan kesalahan/kelalaian dalam
menjalankan profesinya?
BAB III
PEMBAHASAN
A. Pengertian
Dokter adalah orang yang memiliki
kewenangan dan izin sebagaimana mestinya untuk melakukan pelayanan kesehatan,
khususnya memeriksa dan mengobati
penyakit dan dilakukan menurut hukum dalam pelayanan kesehatan.
Istilah kelalaian Medis adalah sebagai terjemahan dari ‘Negligence”
(Belanda : Nalatigheid)
dalam arti umum bukanlah suatu pelanggaran hukum atau kejahatan. Seseorang
dikatakan lalai apabila ia bertindak acuh dan tak peduli. Juga tidak
memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana lazimnya didalam tata
pergaulan hidup masyarakat. Selama akibat dari kelalaian itu tidak sampai
membawa kerugian atau cedera dan menyangkut hal yang sepele, maka kelalaian itu
tidak berakibat hukum. Prinsip ini berdasarkan “De minimis not curat lex, The law does not
concern itself with trifles“. Yaitu hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele.
Apabila
kelalaian yang dilakukan sudah mencapai tingkat tidak memperdulikan keselamatan
orang lain, maka kelalaian yang dilakukan akan berubah menjadi tindakan
kriminal. Jika akibat dari kelalaian yang dilakukan menyebabkan celaka, cedera,
bahkan sampai merenggut nyawa maka kelalaian tersebut termasuk tindak pidana
dan pelanggaran hukum.
B.
Kesalahan
dan Kelalaian Dokter
Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya
dilakukan oleh pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan
medis yang dilakukan oleh dokter yang merawatnya. Ketidakpuasan tersebut
terjadi karena hasil yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan
harapan pasien dan keluarganya. Hasil upaya pengobatan yang mengecewakan
pasien, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya.
Hariyani (2005) mengemukakan bahwa
dalam kaitan hubungan antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan
tersebut pada umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan
pasiennya, terutama terkait masalah “informed
consent“. Perselisihan atau sengketa
yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut dengan
istilah “sengketa medik“.
Beberapa
unsur dari persetujuan tindakan medik yang
sering dikemukakan pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah :
1. Isi informasi (tentang penyakit yang
diderita pasien) dan alternatif yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan
secara jelas dan lengkap.
2. Saat memberikan informasi seyogyanya
sebelum terapi mulai dilakukan, terutama dalam hal tindakan medis yang beresiko
tinggi dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik.
3. Cara menyampaikan informasi tidak
memuaskan pasien, karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan
informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan
dari dokter yang merawatnya.
4. Pasien merasa tidak diberi
kesempatan untuk menentukan pilihan atau alternatif pengobatan yang telah
dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya
sendiri (self determination)
diabaikan oleh dokter.
5. Kadang-kadang pasien hanya
mendapatkan informasi dari perawat (paramedis), padahal menurut hukum yang
berhak memberikan informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut.
Apakah
tidak diberikannya informasi ini termasuk dalam kategori kelalaian dokter?
Menurut Fuady (2005) untuk dapat
diajukannya gugatan atas dasar ketiadaan
informed consent harus dipenuhi beberapa unsur yuridis sebagai berikut :
1. Adanya kewajiban dokter untuk
mendapatkan persetujuan (consent)
dari pasien.
2. Kewajiban tersebut tidak
dilaksanakan tanpa justifikasi yuridis.
3. Adanya kerugian dipihak pasien.
4. Adanya hubungan sebab akibat antara
ketiadaan informed consent dan
kerugian tersebut.
Dalam
buku hukum medik (medical law),
Guwandi (2004) menyatakan bahwa
“kelalaian” sebagai terjemahan
dari ‘negligence“, yang dalam
arti umum bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan.
Seseorang dapat dikatan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau
tidak peduli, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana
kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari
kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada
akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri
hal-hal yang dianggap sepele (de
minimus not curat lex, the law does not concern itself with trifles).
Kelalaian
yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh
pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian
harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang.
Untuk
menentukan adanya kelalaian dokter,
Hariyani (2005) menyebutkan 4
unsur yang disingkat dengan “4D” yaitu sebagai berikut :
a. Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.
b. Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban)
c. Terjadinya damaged (kerusakan / kerugian)
d. Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara
pelanggaran kewajiban dengan kerugian.
Kalau dilihat
dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk dalam ruang
lingkup perjanjian (transaksi terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter
untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien
menyetujui tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Perjanjian
terapeutik memiliki sifat dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan
ciri perjanjian pada umumnya, karena obyek perjanjian dalam transaksi
terapeutik bukan “kesembuhan” pasien, melainkan mencari “upaya” yang tepat
untuk kesembuhan pasien. Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada
perjanjian tentang “upaya” atau disebut (Inspaningsverbintenis) bukan perjanjian
tentang “hasil” atau disebut (Resultaatverbintenis). Hubungan hukum antara
pasien dengan dokter dapat terjadi antara lain karena pasien sendiri yang
mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati sakit yang dideritanya,
dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua belah
pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber dari kepercayaan pasien
terhadap dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik
( informed consent ).
C. Informed
Consent
Di Indonesia
informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan Menteri
Kesehatan RI No. 585/Menkes/1989. Persetujuan tindakan medik (informed consent)
dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor campur
tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor
perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.
Sebab dalam
konsep ini dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kesehatan dengan penuh
kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya sesuai
dengan standard profesinya. Jadi Seorang dokter dapat dikatakan melakukan kesalahan
atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi
kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang dimilikinya
sesuai dengan standard operasional (SOP).
D.
Ketentuan Informed Consent
Di
Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara lain pada
peraturan pemerintah No.18 tahun 1981 yaitu:
1. Manusia
dewasa sehat jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak
dilakukan terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan medis yang
bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan pasien sendiri.
2. Semua
tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
3. Setiap
tindakan medis yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya
persetujuan tertulis yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien
memperoleh informasi yang adekuat tentang perlunya tindakan medis yang
bersangkutan serta resikonya.
4. Untuk
tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
5. Informasi
tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien.
Dalam hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat
pasien. Dalam memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien,
kehadiran seorang perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
6. Isi
informasi mencakup keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan,
baik diagnostic, terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya diberikan
secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan informed
consent).
BAB IV
PENUTUP
- Kesimpulan
Kesimpulan ini merupakan jawaban dari
permasalahan di atas, bahwa :
1.
Hubungan antara dokter dan pasien dalam ruang lingkup
kaca mata hukum adalah termasuk dalam ruang lingkup perjanjian (transaksi
terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter untuk mengupayakan kesehatan
atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui tindakan terapeutik yang
dilakukan oleh dokter tersebut.
2.
Yang menyebabkan seorang dokter dikatakan melakukan
kesalahan/ kelalaian dalam menjalankan profesinya adalah apabila dia tidak
memenuhi kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang
dimilikinya sesuai dengan standard operasional (SOP).
- Saran
Dari pembahasan kami diatas, kami menyarankan agar kiranya
setiap dokter dapat menjalankan kode etik profesinya sesuai dengan informed
consent (PTM), sehingga tidak terjadinya kelalaian atau kesalahan yang
dilakukan oleh dokter yang dapat merugikan dokter itu sendiri beserta
pasiennya.
Trimakasih Atas Partisipasi dari sodara . M. Irfan Karna telah Memberikan Makalah ini:
Buat SOBAT SEKALIAN BISA MENDOWNLOAD KLIK Disini
Trimakasih Atas Partisipasi dari sodara . M. Irfan Karna telah Memberikan Makalah ini:
Buat SOBAT SEKALIAN BISA MENDOWNLOAD KLIK Disini