BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang
dimiliki manusia sejak ia lahir
yang berlaku seumur hidup dan tidak
dapat diganggu gugat siapapun.Hak hak ini berisi tentang kesamaan atau
keselarasan tanpa membeda bedakan suku,golongan, keturunanan, jabatan dan lain
sebagainya antara setiap manusia yang hakikatnya adalah sama-sama makhluk
ciptaan Tuhan .Jika kita melihat perkembangan HAM di Negara ini ternyata masih
banyak pelanggaran HAM yang sering kita
temui. Mulai dari pelanggaran kecil yang berkaitan dengan norma hingga
pelanggaran HAM besar yang bersifat kriminal dan menyangkut soal keselamatan
jiwa. Untuk menyelesaikan masalah ini perlu adanya keseriusan dari pemerintah
menangani pelanggaran pelanggaran yang terjadi dan meng hukum individu atau
oknum terbukti melakukan pelanggaran HAM. Selain itu masyarakat juga perlu
mengerti tentang HAM dan turut menegakkan HAM mulai dari lingkungan sosial
tempat mereka tinggal hingga nantinya akan terbetuk penegakan HAM tingkat nasional.Adapun contoh
dari pelanggaran HAM di Indonesia adalah kekerasan terhadap anak.
BAB II
PERMASALAHAN
1.Apakah kekerasan terhadap anak itu ?
2. Sebutkan macam-macam kekerasan terhadap anak ?
3.Apa saja faktor penyebab kekerasan terhadap anak ?
4,Dan sebutkan dampak dari kekerasan tersebut ?
BAB III
PEMBAHASAN
A.Pengertian Kekerasan Terhadap Anak
Pada
awalnya terminologi tindak kekerasan atau child abuse berasal dari dunia
kedokteran. Sekitar tahun 1946, seorang radiologist Caffey (dalam Ibnu Anshori,
2007) melaporkan kasus berupa gejala-gejala klinik seperti patah tulang panjang
yang majemuk (multiple fractures) pada anak-anak atau bayi disertai pendarahan
tanpa diketahui sebabnya (unrecognized trauma). Dalam dunia kedokteran, kasus
ini dikenal dengan istilah Caffey Syndrome (Ranuh dalam Anshori, 2007). Kasus
yang ditemukan Caffey diatas semakin menarik perhatian publik ketika Henry
Kempe tahun 1962 menulis masalah ini di Journal of the American Medical
Assosiation, dan melaporkan bahwa dari 71 Rumah Sakit yang ia teliti, ternyata
terjadi 302 kasus tindak kekerasan terhadap anak-anak, dimana 33 anak
dilaporkan meninggal akibat penganiayaan yang dialaminya, dan 85 mengalami
kerusakan otak yang permanen. Henry (dalam Anshori, 2007) menyebut kasus
penelentaran dan penganiayaan yang dialami anak-anak dengan istilah Battered
Child Syndrome, yaitu setiap keadaan yang disebabkan kurangnya perawatan dan
perlindungan terhadap anak oleh orangtua atau pengasuh lain. Selain Battered
Child Syndrome, istilah lain untuk menggambarkan kasus penganiayaan yang
dialami anak-anak adalah Maltreatment Syndrome, yang meliputi gangguan fisik
seperti diatas, juga gangguan emosi anak dan adanya akibat asuhan yang tidak
memadai, ekploitasi seksual dan ekonomi, pemberian makanan yang tidak layak
bagi anak atau makanan kurang gizi, pengabaian pendidikan dan kesehatan dan kekerasan
yang berkaitan dengan medis (Gelles dalam Anshori, 2007). Menurut Sutanto
(2006), kekerasan anak adalah perlakuan orang dewasa/anak yang lebih tua dengan
menggunakan kekuasaan/otoritasnya terhadap anak yang tak berdaya yang
seharusnya menjadi tanggung jawab/pengasuhnya, yang berakibat penderitaan,
kesengsaraan, cacat atau kematian. Kekerasan anak lebih bersifat sebagai bentuk
penganiayaan fisik dengan terdapatnya tanda atau luka pada tubuh sang anak.
Jika kekerasan terhadap anak didalam rumah tangga dilakukan oleh orang tua,
maka hal tersebut dapat disebut kekerasan dalam rumah tangga.
Tindak kekerasan rumah tangga yang termasuk di dalam
tindakan kekerasan rumah tangga adalah memberikan penderitaan baik secara fisik
maupun mental di luar batas-batas tertentu terhadap orang lain yang berada di
dalam satu rumah; seperti terhadap pasangan hidup, anak, atau orang tua dan
tindak kekerasan tersebut dilakukan di dalam rumah.
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak
adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah
tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak
cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak
akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat,
patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang
salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu
dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar
sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia
Indonesia (2006) memberikan pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan
agresi dan pelanggaran (penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang
menyebabkan atau dimaksudkan untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang
lain. Istilah kekerasan juga berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan
perilaku yang merusak. Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan,
kekuasaan, dan posisi nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan
karena kebetulan (Andez, 2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan
yang bisa mengakibatkan luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa
luka fisik, perasaan, pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan
anak Menurut Andez (2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan
yang melukai dan merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi:
Penelantaran dan perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual,
serta trafficking/ jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk
kekerasan terhadap anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung
jawab atas anak tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut,
yang seharusnya dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
Nadia (2004) mengartikan kekerasan terhadap anak
sebagai bentuk penganiayaan baik fisik maupun psikis. Penganiayaan fisik adalah
tindakan-tindakan kasar yang mencelakakan anak, dan segala bentuk kekerasan
fisik pada anak yang lainnya. Sedangkan penganiayaan psikis adalah semua
tindakan merendahkan atau meremehkan anak. Alva menambahkan bahwa penganiayaan
pada anak-anak banyak dilakukan oleh orangtua atau pengasuh yang seharusnya
menjadi seorang pembimbing bagi anaknya untuk tumbuh dan berkembang.
Hoesin (2006) melihat kekerasan terhadap anak sebagai
bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak. dan dibanyak negara dikategorikan
sebagai kejahatan sehingga mencegahnya dapat dilakukan oleh para petugas
penegak hukum. Sedangkan Patilima (2003) menganggap kekerasan merupakan
perlakuan yang salah orang tua. Patilima mendefinisikan perlakuan salah pada
anak adalah segala perlakuan terhadap anak yang akibat-akibatnya mengancam
kesejahteraan dan tumbuh kembang anak, baik secara fisik, psikologi sosial,
maupun mental.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa
kekerasan terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun
psikis yang berakibat penderitaan terhadap anak.
Beberapa kriteria yang termasuk perilaku menyiksa
dan kekerasan adalah :
·
Menghukum
anak secara berlebihan
·
Memukul
·
Menyulut
dengan ujung rokok, membakar, menampar, membanting
·
Terus
menerus mengkritik, mengancam, atau menunjukkan sikap penolakan terhadap anak
·
Pelecehan
seksual
·
Menyerang
anak secara agresif
·
Mengabaikan
anak; tidak memperhatikan kebutuhan makan, bermain, kasih sayang dan memberikan
rasa aman yang memadai
B.Macam-macam kekerasan terhadap anak
Penyiksaan
terhadap anak dapat digolongkan menjadi: penyiksaan fisik (physical abuse),
penyiksaan emosi (psychological/emotional abuse), pelecehan seksual (sexual
abuse), dan pengabaian (child neglect).
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
Segala bentuk penyiksaan secara fisik, dapat berupa
cubitan, pukulan, tendangan, menyundut dengan rokok, membakar, dan
tindakan-tindakan lain yang dapat membahayakan anak. Banyak orangtua yang
menyiksa anaknya mengaku bahwa perilaku yang mereka lakukan adalah semata-mata
suatu bentuk pendisiplinan anak, suatu cara untuk membuat anak mereka belajar bagaimana
berperilaku baik.
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
Penyiksaan emosi adalah semua tindakan merendahkan
atau meremehkan anak, selanjutnya konsep diri anak terganggu, anak merasa tidak
berharga untuk dicintai dan dikasihi. Jenis-jenis penyiksaan emosi adalah:
a.Penolakan.
b.Tidakdiperhatikan.
c.Ancaman.
d.Isolasi.
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
Pelecehan seksual pada anak adalah kondisi dimana
anak terlibat dalam aktivitas seksual, anak sama sekali tidak menyadari, dan
tidak mampu mengkomunikasikannya, atau bahkan tidak tahu arti tindakan yang
diterimanya. Jenis-jenis penyiksaan seksual adalah:
a. Pelecehan seksual tanpa sentuhan: anak melihat
pornografi, atau exhibisionisme, dsb.
b. Pelecehan seksual dengan sentuhan. Semua tindakan
pelecehan orang dewasa terhadap organ seksual anak. Seperti adanya penetrasi ke
dalam vagina atau anak dengan benda apapun yang tidak mempunyai tujuan medis.
c. Eksploitasi seksual. Meliputi semua tindakan yang
menyebabkan anak masuk dalam tujuan prostitusi, atau menggunakan anak sebagai
model foto atau film porno.
4. Pengabaian (Child Neglect).
Pengabaian terhadap anak termasuk penyiksaan secara
pasif, yaitu segala ketiadaan perhatian yang memadai, baik fisik, emosi maupun
sosial.
Jenis-jenis pengabaian anak:
a. Pengabaian fisik, misalnya keterlambatan mencari
bantuan medis, pengawasan yang kurang memadai, serta tidak tersedianya
kebutuhan akan rasa aman dalam keluarga.
b. Pengabaian pendidikan misalnya orang tua seringkali
tidak memberikan fasilitas pendidikan yang sesuai dengan bakat dan kemampuan
anak.
c. Pengabaian secara emosi dapat terjadi misalnya ketika
orang tua tidak menyadari kehadiran anak ketika sedang bertengkar. Pembedaan
perlakuan dan kasih sayang orang tua terhadap anak-anaknya.
d. Pengabaian fasilitas medis, misalnya orang tua tidak
menyediakan layanan medis untuk anak meskipun secara finansial memadai.
e. Mempekerjakan anak dibawah umur, hal ini melanggar hak
anak untuk memperoleh pendidikan, dapat membahayakan kesehatan, serta melanggar
hak mereka sebagai manusia.
Anak yang dicurigai telah mengalami penyiksaan fisik
perlu di lakukan penyelidikan lebih lanjut yang melibatkan : Pekerja Sosial,
Dokter Anak dan Pihak yang berwajib ( Polisi ).
Penyelidikan dapat dimulai dengan pemeriksaan fisik
yang meliputi :
·
Anamnesis
pediatrik secara lengkap, termasuk pencatatan terhadap penjelasan mengenai
luka, waktu terjadinya dan detail-detail lain. Penyiksaan terhadap anak
dicurigai bila terdapat luka yang tidak dapat dijelaskan atau tidak ada alasan
yang kuat untuk menerangkan sebab luka. Jika terdapat ketidakcocokan antara
luka yang terdapat dengan anamnesis yang didapatkan atau dengan perkembangan
anak, kecurigaan akan adanya penyiksaan dapat dilaporkan. Penundaan mencari
bantuan medis merupakan faktor lain yang dapat memperkuat kecurigaan akan
adanya penyiksaan. Hal ini berhubungan dengan ketidakpedulian orang tua
terhadap luka anaknya yang dianggap tidak serius.3,4
·
Anamnesis
tentang Perkembangan Anak
·
Pencatatan
terhadap ekspresi orang tua mengenai kesulitan mereka menghadapi perilaku,
kesehatan dan perkembangan anaknya.
·
Pemeriksaan
secara mendetail mengenai anak tentang :
·
pertumbuhan,
berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala
·
gizi
·
penampakan
dan pembawaan umum
·
tanda-tanda
pengabaian, penyiksaan seksual dan ganguan emosi
·
perkembangan
termasuk bahasa dan kemampuan social
·
Luka
yang terdapat di dokumentasikan yang meliputi :
·
kemungkinan
penyebab luka dan umurnya luka
·
sisi
yang terkena
·
ukuran
·
bentuk
·
segala
bentuk lesi yang mencurigakan
Untuk itu
perlu dilakukan pengambilan gambar dengan menggunakan kamera paling sedikit
dengan lensa 35mm. Gambar yang diambil untuk mendata:
·
Luka
·
Luka
pada alat genital dan anus
·
Aspek-aspek
yang berkaitan dengan pertumbuhan dan perkembangan
·
Keseluruhan
penampakan dan pembawaan anak yang berhubungan dengan pengabaian atau bentuk
penyiksaan
·
f.
Luka yang ditemukan kemudian diklasifikasikan menjadi :
·
Luka
SuperfisialTermasuk dalam luka ini adalah : bekas luka ( bruises ), abrasi,
laserasi, goresan, gigitan, bekas pin, kerontokan atau patah rambut, patahnya
kuku, luka bakar, luka karena bahan kimia.
·
Luka
yang lebih dalamHematoma, strangulasi, luka dimulut
·
Fraktur,
dislokasi dan luka periosteal
·
Luka
torakolumbar dalam : perut, paru, lambung dan alat dalam lain yang padat
·
Luka
intrakranial dan spinal ( termasuk mata ) : kontusio serebri, perdarahan
cerebral dan edema
·
Asfiksia,
tenggelam dan keracunan
Beberapa hal
yang dapat kita temukan dari pemeriksaan fisik adalah :
·
Luka
yang menimbulkan bekas
·
Merupakan
hal yang paling sering terdapat pada kasus penyiksaan anak dan dapat terdapat
di semua permukaan badan. Luka yang terdapat pada pantat, alat genital dan
punggung jarang berhubungan dengan kecelakaan sehingga patut dicurigai sebagai
bentuk penyiksaan.
·
Kelainan
pada Rambut
·
Rambut
yang ditarik dapat menyebabkan kerontokan atau kebotakan sebagian pada kulit
kepala. Rambut biasanya tidak terlihat sama panjang.
·
Kulit
Terbakar. Lebih dari 10% kasus penyiksaan secara fisik didapatkan kulit yang
terbakar salah satunya luka bakar karena rokok.
Penyebab yang paling sering menyebabkan kematian adalah
trauma kepala. Dua puluh sembilan persen dari laporan penyiksaan anak
didapatkan trauma kepala, wajah dan bagian kepala lain. Lebih dari 95%
mengalami luka kepala yang serius selama 1 tahun kehidupannya. Luka
Intraabdomen merupakan penyebab kedua terbanyak setelah luka kepala. Anak yang
menderita biasanya mengalami gejala muntah yang sering, distensi abdomen, tidak
terdapatnya bising perut, nyeri yang terlokalisir. Kulit perut yang fleksibel
menyebabkan tidak terdapatnya luka yang membekas pada kulit perut anak akibat
penyiksaan.
C.Faktor penyebab kekerasan terhadap anak
Ada banyak faktor yang sangat berpengaruh untuk
mengarahkan seseorang kepada penyiksaan anak terhadap anak. Faktor-faktor yang
paling umum adalah sebagai berikut:
1. Lingkaran kekerasan, seseorang yang mengalami
kekerasan semasa kecilnya mempunyai kecenderungan untuk melakukan hal yang
pernah dilakukan terhadap dirinya pada orang lain.
2. Stres dan kurangnya dukungan. Menjadi orangtua maupun
pengasuh dapat menjadi sebuah pekerjaan yang menyita waktu dan sulit. Orangtua
yang mengasuh anak tanpa dukungan dari keluarga, teman atau masyarakat dapat
mengalami stress berat.
3. Pecandu alkohol atau narkoba. Para pecandu alkohol dan
narkoba seringkali tidak dapat mengontrol emosi dengan baik, sehingga
kecenderungan melakukan penyiksaan lebih besar.
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga adalah
sebuah bentuk penyiksaan anak secara emosional dan mengakibatkan penyiksaan
anak secara fisik.
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi
dan sosial saat masa-masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan
sekitar mereka.
D .Dampak kekerasan terhadap anak
Efek
tindakan dari korban penganiayaan fisik dapat diklasifikasikan dalam beberapa
kategori. Ada anak yang menjadi negatif dan agresif serta mudah frustasi; ada
yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada yang tidak mempunyai kepibadian
sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan individu lain dan ada pula yang
timbul rasa benci yang luar biasa terhadap dirinya sendiri. Selain itu Moore
juga menemukan adanya kerusakan fisik, seperti perkembangan tubuh kurang normal
juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit
hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan,
Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun
yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan
kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain;
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat perlakuan
kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah menjadi orang
tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan
anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis
gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia
ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam
jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan
bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan,
anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan,
cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa
(memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut
Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena
tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan
ini meninggalkan bekas yang tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa
bentuk, seperti kurangnya rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan,
perilaku merusak, menarik diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan
alkohol, ataupun kecenderungan bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar
Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut
menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini
mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang
dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan
dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil
pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol
jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah
kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling
terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih
sayang orang tua terhadap anak, Hurlock
(1990) mengatakan jika anak kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan
berkembangnya perasaan tidak aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan
selanjutnya akan mengalami masalah penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam Sitohang,
2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan kegagalan dalam
merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi kegagalan dalam
mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal menyekolahkan atau
menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak terpaksa putus
sekolah.
Dan adapun cara untuk mengurangi kekerasan terhadap anak
yaitu:
Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak
dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan individu, yaitu dengan
cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman
agama yang kuat akan lebih tegar menghadapi situasi-situasiyang menjadi factor
terjadinya kekerasan. Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi
masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama
human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan
baik secara fisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua
tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah
pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah
untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau
penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum
yang berlaku.
Berikutnya akan dibahas mengenai pendekatan sosial
terutama peran aktif masyarakat yaitu sbb:
1. Menangani Kasus Penyiksaan
Anak yang dicurigai telah mengalami penyiksaan fisik
perlu diselidiki lebih lanjut, dimana dalam prosesnya sebaiknya melibatkan
pekerja sosial, dokter anak dan pihak yang berwajib (polisi). Prosesnya antara
lain:
a. Melapor
pada Pusat Konsultasi Anak Usahakan untuk segera melaporkan kepada Pusat
Konsultasi Anak yang ada di berbagai daerah jika kita melihat tindakan
kekerasan terhadap anak.
b.
Penyelidikan dapat dilakukan dengan
pemeriksaan fisik yang meliputi:
* Anamnesis
(suatu teknik pemeriksaan yang dilakukan lewat suatu percakapan antara seorang
dokter dengan pasiennya secara langsung atau dengan orang lain yang mengetahui
tentang kondisi pasien, untuk mendapatkan data pasien beserta permasalahan
medisnya) secara lengkap, termasuk pencatatan terhadap penjelasan mengenai
luka, waktu terjadinya dan detail-detail lain. Penyiksaan terhadap anak patut
dicurigai bila terdapat luka yang tidak dapat dijelaskan atau tidak ada alasan
yang kuat untuk menerangkan sebab luka. Jika terdapat ketidakcocokan antara
luka yang terdapat dengan anamnesis yang didapatkan atau dengan perkembangan
anak, kecurigaan akan adanya penyiksaan dapat dilaporkan. Penundaan mencari
bantuan medis merupakan faktor lain yang dapat memperkuat kecurigaan akan adanya
penyiksaan. Hal ini berhubungan dengan ketidakpedulian orang tua terhadap luka
anaknya yang dianggap tidak serius.
Anamnesis tentang perkembangan anak, antara lain berkaitan dengan pertumbuhan, berat badan, tinggi badan, lingkar badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, gizi, penampakan dan pembawaan umum, tanda-tanda pengabaian, penyiksaan seksual dan gangguan emosi. Perkembangan juga termasuk dalam penggunaan bahasa serta kemampuan anak bersosialisasi.
Anamnesis tentang perkembangan anak, antara lain berkaitan dengan pertumbuhan, berat badan, tinggi badan, lingkar badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, gizi, penampakan dan pembawaan umum, tanda-tanda pengabaian, penyiksaan seksual dan gangguan emosi. Perkembangan juga termasuk dalam penggunaan bahasa serta kemampuan anak bersosialisasi.
*Pencatatan
terhadap ekspresi orang tua mengenai kesulitan mereka menghadapi perilaku,
kesehatandanperkembangananaknya.
*Luka yang
dapat di dokumentasikan yang meliputi kemungkinan penyebab luka, umur luka,
kemungkinan penyebab, sisi yang terkena, ukuran dan bentuk luka, serta segala
bentuk jaringan yang abnormal pada tubuh yang mencurigakan.
Beberapa hal yang dapat kita temukan dari pemeriksaan
fisik adalah :
1)Luka yang menimbulkan bekas.
1)Luka yang menimbulkan bekas.
2)Kelainan
pada rambut.
3)Kulit
terbakar,sebagianbesar karena sundutan rokok.
c.Melapor
pada pihak berwajib. Penegakkan hukum dilakukan dengan segera melaporkan suatu
tindak penyiksaan kepada lembaga yang berwenang. Anak yang mengalami penyiksaan
oleh orang tuanya dapat dititipkan di rumah saudara orang tua dengan pengawasan
yang ketat dari lembaga yang berwenang. Ada juga alternatif berupa orangtua
asuh. Sebuah tim yang profesional yang terdiri dari dokter anak, pekerja
sosial, perawat bidang anak, dan psikiater atau psikolog diharapkan mampu
memberikan solusi yang terbaik baik bagi anak yang menjadi korban serta orang
tuanya. Seorang dokter anak diharapkan dapat terus memantau anak yang menjadi
korban penyiksaan. Hal ini memerlukan kerjasama dengan pekerja sosial dan
lembaga yang berwenang dalam mengurus masalah penyiksaan anak
Pencegahan dapat dilakukan dengan mengidentifikasikan
orang tua yang mempunyai faktor resiko yang tinggi untuk melakukan penyiksaan
terhadap anaknya. Dengan mengidentifikasikan orang tua yang mempunyai faktor
resiko tinggi untuk melakukan penyiksaan terhadap anak, kita dapat berusaha
untuk membantu agar tidak sampai melakukan penyiksaan terhadap anaknya.
Pencegahan lain dapat dilakukan dengan cara membina kedekatan anak dengan
orangtua sejak lahir. Selain itu, menempati suatu lingkungan yang kondusif dan
menyenangkan juga dapat mempengaruhi perkembangan serta sosialisasi yang
terjadi dalam kehidupan anak. Karena yang dapat melakukan penyiksaan terhadap
anak bukan hanya orangtua atau pengasuhnya saja, maka sebaiknya hal ini
dilakukan sebagai suatu tindakan preventif.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kekerasan
terhadap anak adalah segala bentuk perlakuan baik secara fisik maupun psikis
yang berakibat penderitaan terhadap anak.
Macam-macam kekerasan terhadap anak:
1 . Penyiksaan Fisik (Physical Abuse).
2. Penyiksaan Emosi (Psychological/Emotional Abuse).
3.PelecehanSeksual(SexualAbuse).
4. Pengabaian (Child Neglect).
Adapun factor penyebab terjadinya kekerasan:
1. Lingkaran kekerasan
2. Stres dan kurangnya dukungan
3. Pecandu alkohol atau narkoba
4.. Menjadi saksi kekerasan dalam rumah tangga
5. Kemiskinan dan akses yang terbatas ke pusat ekonomi
dan sosial saat masa-masa krisis.
6. Peningkatan krisis dan jumlah kekerasan di lingkungan
sekitar mereka.
Dan dampak dari kekerasan tersebut ialah:
1) Kerusakan fisik atau luka fisik;
2) Anak akan menjadi individu yang kukrang percaya diri,
pendendam dan agresif
3) Memiliki perilaku menyimpang, seperti, menarik diri
dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, sampai dengan kecenderungan
bunuh diri;
4) Jika anak mengalami kekerasan seksual maka akan menimbulkan
trauma mendalam pada anak, takut menikah, merasa rendah diri.
Saran
Dokter sebagai klinisi yang bertugas di lapangan
harus mempunyai kemampuan dalam mengenali segala kemungkinan bentuk penyiksaan
dan penelantaran anak, terutama sekali dari kunjungan pasien ke tempat
prakteknya. Manifestasi klinis yang didapatkan pada korban penyiksaan dan
penelantaran anak jelas berbeda dengan manifestasi klinis pada kasus kecelakaan
biasa. Sehingga diharapkan dokter dapat lebih jeli dalam mengenalinya.
Dokter
mempunyai kewajiban untuk mendata bentuk penyiksaan itu dan kemudian
bekerjasama dengan pihak lain seperti pekerja sosial dan penegak hukum dalam
penindaklanjutan kasus penyiksaan dan penelantaran anak.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Huraerah.
(2006). Kekerasan Terhadap Anak Jakarta
:Penerbit Nuansa,Emmy
Soekresno S. Pd.(2007). Mengenali Dan Mencegah
Terjadinya TindakKekerasan Terhadap Anak.
Sumber : Komisi Perlindungan Anak Indonesia,http://www.kpai.go . Didwonload
September 2007.http://www.setneg.go.id
UU PA No. 23 Tahun 2003
tentang Perlindungan Anak
Buat yang sulit Mengcopy nya bisa di Klik di sini:
DOWNLOAD
DOWNLOAD