PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Selanjutnya, pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.
Dalam melaksanakan profesi, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada:
2.Kurangnya koordinasi diantara PPNS, Polri dan Penuntut Umum,
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Masalah
lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk
melaksanakannya. suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih
diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian
dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam
merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang
hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan
cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang
No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari
kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan
pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan
(instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan
dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan
mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen
hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan
oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau
setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.
Upaya
penegakan hukum lingkungan yang konsisten akan memberikan landasan kuat bagi
terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya,
pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut
masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar
memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan
hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga)
kategori yaitu :
1. Penegakan hukum Lingkungan
dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Selama ini pemerintah harus
memberikan Sanksi administrasi yang merupakan suatu upaya hukum yang harus
dikatakan sebagai kegiatan preventif oleh karena itu sanksi administrasi perlu
ditempuh dalam rangka melakukan penegakan hukum lingkungan. Disamping
sanksi-sanksi lainnya yang dapat diterapkan seperti sanksi pidana.
B.
PERMASALAHAN
1. Bagaimana penegakan hukum lingkungan dalam hukum Pidana ?
1. Bagaimana penegakan hukum lingkungan dalam hukum Pidana ?
2. Bagaimana
penegakan hukum lingkungan dalam hukum Perdata ?
3. Apa saja
kendala yang terjadi dalam Penegakan Hukum Lingkungan ?
BAB II
A. TINJAUAN
PUSTAKA
Upaya penegakan
sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan
kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga
kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan
sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan
(primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan
dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan
penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat
dimulai apabila :
1. Aparat
yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak
pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata
tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
2. Antara
perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi
korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa
melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah /
perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan
buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga
tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan
hidup.
Berdasarkan jenisnya ada
beberapa jenis sanksi administaratif yaitu
1. Bestuursdwang (paksaan
pemerintahan)
Diuraikan sebagai
tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang
dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa
yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan
undang-undang.
2. Penarikan kembali keputusan
(ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).[3]
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).[3]
Instrument kedua yang
diberlakukan setelah sanksi administrative tidak diindahakan oleh pelaku
pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah pengguna instrument perdata
dan pidana , kedua instrument sangsi huku ini biasa gunakan secara pararel
maupun berjalan sendiri sendiri .
Penerapan sanksi pidana tersebut
bisa saja terjadi karena pemegang kendali penerapan instrument sanksi pidana
adalah aparat penegak hokum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) yang
berada tingkat pusat dalam hal ini di Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau
Instansi Lingkungan Hidup Daerah dan Penyidik Kepolisian RI hal ini sebagai
mana diatau dalam ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat
Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di
lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di
bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan
terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan
bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di
bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas
pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang
lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat
tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain
serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang
dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya
penyidikan dan hasilpenyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara
Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai
Negeri Sipil sebagaimana dimaksud padaayat (1) menyampaikan hasil penyidikan
kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Penyidikan tindak pidana
lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh
penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan penerapan instrument
perdata biasa dilakukan oleh pemerintah maupun Masyarakat dan organisasi yang
konsen terhadap lingkungan hidup yang mempunyai Hak Untuk Mengajukan Gugatan
yang di atu dlam ketentuan Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun
1997 mekanismenya bisa dengan mengajukan gugatan perdata biasa secara
perorangan amapun secara class action (perwakilan)
Sedangkan utuk gugatan legal
stending yang didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai guardian/wali dari
lingkungan (Stone;1972). Teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada
obyek-obyek alam (natural objects). Dalam hal terjadi kerusakan atau pencemaran
lingkungan, maka LSM dapat bertindak sebagai wali mewakili kepentingan
pelestarian lingkungan tersebut.
B. PEMBAHASAN
1. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
DALAM HUKUM PIDANA
Dalam interaksinya di masyarakat, eksistensi
dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada referensi nilai dan
moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali disingkirkan dari
masyarakat, sedangkan orang yang baik akan dipuji, dihormati, dicintai dan
kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi jahat karena di
dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak bebas akan
terbentuk dan berkembang dan mejadi kuat kalau orang semakin bersedia untuk
bertanggungjawab.
Pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau
sejenisnya dalam menjalankan suatu usaha ekonomi serta sikap penguasa maupun
pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam
pengelolaan lingkungan hidup .
Hukum pidana memainkan peranan
penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan, namun demikian beban yang
ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi kapasitas yang
dimilikinya dan perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan secara in heren
terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun
asas kesalahan.
2. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Hukum
Perdata
CONTOH
KASUS
Pencemaran yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari (PT.
TPL/eks. PT. Inti Indorayon Utama). PT Indorayon mulai beroperasi pada
akhir tahun 1980-an. Pada tahun 1999 perusahaan itu ditutup atas rekomendasi
Menteri Negara Lingkungan Hidup yang ketika itu dijabat Sonny Keraf-karena
terbukti mencemari dan membahayakan lingkungan. Namun, pada Maret 2002 atas
rekomendasi Wakil Presiden RI yang ketika itu dijabat oleh Megawati
Soekarnoputri, PT Indorayon dibuka kembali dengan nama PT Toba Pulp Lestari.
Selama sepuluh tahun PT Indorayon beroperasi, , masyarakat Porsea merasakan
hidup yang serba sulit. Selain mencemari lingkungan, perusahaan itu juga
mendatangkan banyak masalah sosial, seperti konflik dan intimidasi aparat
terhadap masyarakat yang menolak Indorayon.
Kesehatan masyarakat menurun karena kualitas lingkungan yang
buruk. Limbah perusahaan itu tidak hanya mencemari udara yang menyebabkan
penyakit ISPA, tetapi juga berpengaruh pada menurunnya hasil panen penduduk.
Penduduk khawatir kejadian sepuluh tahun lalu, akan terulang dan mereka alami
lagi sejak dibukanya PT TPL. Selain udara yang bikin sesak, dampak lain sejak
dibukanya PT TPL adalah menurunnya hasil panen. Hal ini disebabkan banyaknya
bulir padi yang tidak berisi atau kosong. Selain itu, penduduk setempat mengaku
limbah uap dari operasional pabrik itu cukup mengganggu udara yang mereka hirup
sehari-hari. Hampir semua penduduk Desa Amborgang yaitu daerah sekitar PT. TPL
yang ditemui, sesudah turun hujan mereka merasakan perubahan udara sehingga
menimbulkan rasa sesak dan jarak pandang yang buruk. Berdasarkan data di
Puskesmas Porsea, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) pada
bulan Januari 2001 tercatat 92 orang. Sedangkan pada Januari 2002 tercatat 103
orang dan meningkat menjadi 128 pada Januari 2003. Masyarakat menduga ISPA
tersebut merupakan dampak pencemaran udara sejak beroperasinya kembali PT Toba
Pulp Lestari pada tahun 2002. Kemudian
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajukan gugatan kepada pemerintah in casu
BKPM Pusat cs. melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas dasar Pasal 1365
KUHPerdata gugatan ini diterima karena dengan alasan belum ada peraturan
pelaksana Pasal 34 UULH maka upaya hukum yang ditempuh adalah melalui gugatan
perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum ex Pasal 1365 KUHPerdata. Gugatan
ini diterima karena beberapa alasan, yaitu: pertama, gugatan ganti
kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata merupakan aturan umum (legi
generali) sedangkan Pasal 20 UULH adalah lex specialis; kedua,
karena peraturan pelaksana Pasal tersebut belum keluar, agar tidak terdapat
kekosongan hukum yang dapat menimbulkan tiadanya kepastian hukum, ketentuan legi
generali dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat digunakan sebagai upaya hukum; ketiga,
adalah berdasarkan rasa keadilan, maka yustisiabelen tidak dapat
dibiarkan menunggu terus sampai keluar peraturan pelaksanaan yang tidak dapat
ditentukan kapan keluarnya sedangkan kerugian akibat pencemaran sudah banyak
terjadi; keempat, adanya Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup Nomor
03/SE/MENKLH/6/1987. Yang dalam bukti ke-9 mengatakan: “Tindakan tersebut di
atas tidak menutup kemungkinan diajukan oleh pihak yang berkepentingan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan kelima, karena
belum keluar peraturan pelaksanaan Pasal 20 UULH,
sedangkan pencemaran lingkungan sudah banyak menimbulkan kerugian bagi seseorang atau masyarakat maka seharusnya hakim berpedoman pada Pasal 27 UUPKK Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 menyebutkan: “Hakim sebagai penegak hukum dan pengadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Organisasi lingkungan dapat melakukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dengan alasan perbuatan yang bersangkutan melanggar kepentingan masyarakat, dalam kasus ini Walhi mewakili masyarakat korban pencemaran PT Indorayon. Perbuatan Melawan Hukum menurut M.A.Moegni Djodjodirdjo di dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum” adalah “Kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang” . Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 jo. Pasal 1366 jo. Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.
sedangkan pencemaran lingkungan sudah banyak menimbulkan kerugian bagi seseorang atau masyarakat maka seharusnya hakim berpedoman pada Pasal 27 UUPKK Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 menyebutkan: “Hakim sebagai penegak hukum dan pengadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.” Organisasi lingkungan dapat melakukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dengan alasan perbuatan yang bersangkutan melanggar kepentingan masyarakat, dalam kasus ini Walhi mewakili masyarakat korban pencemaran PT Indorayon. Perbuatan Melawan Hukum menurut M.A.Moegni Djodjodirdjo di dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum” adalah “Kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang” . Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 jo. Pasal 1366 jo. Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.
Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata:
Gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus memenuhi sayarat berikut:
1. Kesalahan
Berdasarkan
Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya kesalahan yang pembuat harus
mempertanggungjawabkan karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Karena
terjadinya perbuatan melanggar hukum yang dalam hal hukum lingkungan, misalnya
melanggar ketentuan tentang larangan berdasarkan undang-undang atau tidak
mempedulikan ketentuan tentang perizinan. Dipandang pada umumnya melakukan
kesalahan jika pembuat menolak telah melakukan perbuatan melanggar hukum, ia
harus dapat dibuktikan.
Jadi
dalam kasus PT Indorayon ini, Walhi sebagai Penggugat harus membuktikan adanya
kesalahan pelanggar (PT Indorayon). Jika Penggugat dapat membuktikan bahwa
pelanggar telah melanggar syarat-syarat yang tercantum dalam izin atau tidak
mempunyai sama sekali, pelanggar telah dipandang melakukan kesalahan (schuld).
2. Kerugian
Syarat lain yang ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata
adalah adanya kerugian (schade). Pada umumnya tuntutan yang diajukan
adalah agar hakim menjatuhkan larangan atau perintah misalnya supaya tergugat
berhenti melakukan pencemaran atau diperintahkan melakukan pencegahan,
sedangkan tuntutan ganti kerugian merupakan perkecualian.
Yurisprudensi jelas mengatakan, bahwa dalam aksi larangan, adanya kerugian adalah tidak penting. Dalam kasus PT Indorayon yang telah terjadi pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan kerugian masyarakat, maka yang diperlukan adalah ancaman pelanggaran terhadap kepentingan yang dilindungi oleh Pasal 1365 KUHPerdata.Dalam kasus PT Indorayon kerugian yang dirasakan masyarakat yaitu: timbulnya penyakit ISPA atau gangguan saluran pernapasan masyarakat yang menjadi sesak, hal ini mengakibatkan penduduk Desa Amborgang menjadi sakit artinya ada kerugian, karena masyarakat harus mengeluarkan biaya pengobatan penyakit ini, lebih dari itu kerugian membuat masyarakat tidak dapat melakukan aktifitas ekonominya. Kerugian yang lain adalah akibat pencemaran udara ini padi yang akan dipanen menjadi tidak berisi, sehingga menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat sekitar PT Indorayon. Kerugian yang ditimbulkan akibat limbah uap operasional pabrik PT Indorayon dan penanganan yang berlarut-larut antara lain mencakup kerugian atas:
Yurisprudensi jelas mengatakan, bahwa dalam aksi larangan, adanya kerugian adalah tidak penting. Dalam kasus PT Indorayon yang telah terjadi pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan kerugian masyarakat, maka yang diperlukan adalah ancaman pelanggaran terhadap kepentingan yang dilindungi oleh Pasal 1365 KUHPerdata.Dalam kasus PT Indorayon kerugian yang dirasakan masyarakat yaitu: timbulnya penyakit ISPA atau gangguan saluran pernapasan masyarakat yang menjadi sesak, hal ini mengakibatkan penduduk Desa Amborgang menjadi sakit artinya ada kerugian, karena masyarakat harus mengeluarkan biaya pengobatan penyakit ini, lebih dari itu kerugian membuat masyarakat tidak dapat melakukan aktifitas ekonominya. Kerugian yang lain adalah akibat pencemaran udara ini padi yang akan dipanen menjadi tidak berisi, sehingga menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat sekitar PT Indorayon. Kerugian yang ditimbulkan akibat limbah uap operasional pabrik PT Indorayon dan penanganan yang berlarut-larut antara lain mencakup kerugian atas:
1.
hak atas kehidupan yang layak berupa
menurunnya kualitas kehidupan penduduk Desa Amborgang yang menjadi korban
langsung limbah uap operasional pabrik PT Indorayon,
2.
hak atas bebas dari rasa takut yang
dialami korban dan potensi korban serta masyarakat di Desa Amborgang dan
sekitarnya,
3.
hak atas pekerjaan berupa hilangnya
mata pencaharian dan pekerjaan akibat limbah uap operasional pabrik PT
Indorayon,
3. Hubungan Kausal
Harus ada kaitan atau hubungan kausal antara perbuatan yang
melanggar hukum dan terjadinya kerugian. Ini berarti, bahwa adanya kerugian itu
harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku. Adanya
hubungan kausal penting jika yang dituntut adalah ganti kerugian dari pelanggar.
Tentu harus terjadi hubungan kausal antara perbuatan (yang melanggar hukum itu)
dan terjadinya kerugian. Perbuatan
yang dilakukan PT Indorayo yang melakukan pembuangan uap hasil produksi
sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan membahayakan masyarakat sekitar dan
hasil panen masyarakat, menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Berarti
terjadi hubungan kausal antara kegiatan atau perbuatan PT Indorayon dengan
kerugian yang diderita masyarakat sekitar.
4. Relativitas (relativeit)
Tidak semua perbuatan atau pengabaian atas suatu norma hukum
dan karenanya melanggar hukum dapat dituntut melalui jalur perbuatan melanggar
hukum dengan sukses. Yang dapat dituntut berdasarkan perbuatan melanggar hukum
hanya jika norma yang dilanggar itu termasuk dalam ruang lingkup pengertian
yang dirugikan dilindungi oleh peraturan tersebut. Hal ini biasa disebut syarat
relativitas (relativeit). Gugatan supaya suatu
ketentuan larangan berdasarkan undang-undang atau suatu syarat dalam izin
dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam
suatu kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau
suatu ketentuan perizinan.
Gugatan dari saingan bahwa suatu perusahaan lain tidak mempunyai izin, bukanlah kepentingan yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan lingkungan atau peraturan perizinan lingkungan. Gugatan atas nama masyarakat yang dilakukan Walhi terhadap PT Indorayon merupakan memiliki suatu kepentingan yang dapat dilindungi oleh undang-undang. Sebenarnya yang berkepentingan adalah masyarakat sekitar PT Indorayon yang menjadi korban pencemaran. Karena relitivitas ini, maka gugatan oleh Walhi ke pengadilan dengan mengatasnamakan masyarakat merupakan hal yang dapat diterima oleh pengadilan.
Gugatan dari saingan bahwa suatu perusahaan lain tidak mempunyai izin, bukanlah kepentingan yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan lingkungan atau peraturan perizinan lingkungan. Gugatan atas nama masyarakat yang dilakukan Walhi terhadap PT Indorayon merupakan memiliki suatu kepentingan yang dapat dilindungi oleh undang-undang. Sebenarnya yang berkepentingan adalah masyarakat sekitar PT Indorayon yang menjadi korban pencemaran. Karena relitivitas ini, maka gugatan oleh Walhi ke pengadilan dengan mengatasnamakan masyarakat merupakan hal yang dapat diterima oleh pengadilan.
Kendala Penegakan Hukum Lingkungan
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang
dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara
aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan
yang ada.Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup
terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan
lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 41-48 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 41-48 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.
MENUMBUHKAN KESADARAN HUKUM LINGKUNGAN
Menurut
Soerjono Soekanto, Kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor-faktor apakah
suatu ketentuan hukum diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila
masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran
hukumnya lebih rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya.
Kesadaran hukum meliputi berbagai aspek kehidupan dan tingkat kesadarannya bisa
berbeda-beda tergantung tingkat aplikasi faktor-faktor di atas. Selain itu,
kesadaran hukum juga ditentukan oleh sudut pandang masing-masing individu dalam
melihat "hukum".
Kesadaran
hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya
manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki
hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup
dimana dia berada, sejak dia lahir sampai meninggal dunia. Namun kesadaran
hukum masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya
dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk
menumbuhkan kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun
dari segi kebijakan. Sinergi keduanya penting, karena kesadaran hukum itu ada
yang tumbuh karena memang sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Misalnya
orang yang suka dengan hidup bersih, maka ia tidak akan membuang sampah
sembarangan. Kesadaran hukum juga dapat tumbuh karena takut dengan sanksi yang
dijatuhkan. Kesadaran semu inilah yang banyak dimiliki oleh masyarakat kita.
Lepas dari penyebab kesadaran hukum itu muncul, yang berbahaya adalah apabila
kesadaran hukum itu telah ada namun kemudian menurun bahkan hilang karena
faktor eksternal, seperti penegakan hukum yang tidak tegas dan tebang pilih.
Hal ini akan menurunkan kesadaran hukum masyarakat dan menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Jadi, upaya menumbuhkan kesadaran
hukum tidak cukup dengan menuntut masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan
tauladan dan penegakan hukum.
Manusia,
baik kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai pelaku usaha, sebagai
aparat penegak hukum, maupun sebagai pembuat/pengambil kebijakan, harus
memiliki kesadaran hukum lingkungan meskipun secara bertahap, dari sekedar
mengetahui sampai dengan menaati dan menghargai berbagai ketentuan hukum
lingkungan yang ada.
Berkaitan dengan faktor-faktor kesadaran hukum sebagaimana disebutkan diatas, untuk hukum lingkungan, ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, "mengetahui", secara yuridis, setelah UU disahkan, sejak itu pula muncul asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahuinya. Asumsi ini terealisasi apabila pasca diundangkan ada aktivitas sosialisasi yang tepat dan kontinyu. Bila tidak, maka dapat dihitung berapa jumlah masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang peraturan tersebut dan jumlahnya dipastikan tidak akan menyentuh masyarakat kalangan bawah, tidak hanya di desa tetapi juga diperkotaan. Akibatnya tidak heran bila ada kegiatan usaha yang tidak memiliki atau bahkan tidak mengetahui perlunya AMDAL.
Kedua, "mengerti", masyarakat tidak cukup hanya sekedar mengetahui saja, tetapi juga harus memahami isi peraturan, seperti apa tujuan dan manfaat dikeluarkannya peraturan tersebut. Hukum lingkungan tentunya bertujuan agar proses pembangunan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan AMDAL dan perizinan. Adanya aturan ini hendaknya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha dan lahan korupsi bagi oknum birokrasi/aparat hukum, tetapi sebagai upaya preventif bersama agar kegiatan usaha tidak merusak lingkungan.
Ketiga, "mentaati", setelah mengetahui dan memahami, maka diharapkan dapat mentaati. Namun hal ini masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagi pihak yang merasa kepentingannya sama, maka biasanya akan langsung mentaati. Apabila tidak, maka masih ada proses berfikir, bahkan mencari celah bagaimana "menghindari" atau "mensiasatinya". Keempat, "menghargai", ketika seseorang telah mentaati, maka sikap menghargai suatu peraturan hukum lingkungan itu akan muncul bersamaan dengan kesadaran hukumnya bahwa hukum tersebut memang wajib untuk ditaati demi kepentingan dirinya, masyarakat dan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan.Proses menumbuhkan kesadaran hukum lingkungan di atas, jangan sampai terjebak dengan kata "lingkungan" saja, sehingga hanya UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) saja yang dipahami masyarakat, tetapi juga UU lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti UU tentang Perikanan, Benda Cagar Budaya, Pertambangan, ZEE, Perindustrian, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Pelayaran. Karena lingkungan hidup itu meliputi tanah, air, udara, ruang angkasa, termasuk manusia dan perilakunya. UU PLH pada dasarnya merupakan UU induk atau Payung "umbrella Act" dibidang lingkungan hidup bagi semua UU tersebut.
Berkaitan dengan faktor-faktor kesadaran hukum sebagaimana disebutkan diatas, untuk hukum lingkungan, ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, "mengetahui", secara yuridis, setelah UU disahkan, sejak itu pula muncul asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahuinya. Asumsi ini terealisasi apabila pasca diundangkan ada aktivitas sosialisasi yang tepat dan kontinyu. Bila tidak, maka dapat dihitung berapa jumlah masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang peraturan tersebut dan jumlahnya dipastikan tidak akan menyentuh masyarakat kalangan bawah, tidak hanya di desa tetapi juga diperkotaan. Akibatnya tidak heran bila ada kegiatan usaha yang tidak memiliki atau bahkan tidak mengetahui perlunya AMDAL.
Kedua, "mengerti", masyarakat tidak cukup hanya sekedar mengetahui saja, tetapi juga harus memahami isi peraturan, seperti apa tujuan dan manfaat dikeluarkannya peraturan tersebut. Hukum lingkungan tentunya bertujuan agar proses pembangunan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan AMDAL dan perizinan. Adanya aturan ini hendaknya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha dan lahan korupsi bagi oknum birokrasi/aparat hukum, tetapi sebagai upaya preventif bersama agar kegiatan usaha tidak merusak lingkungan.
Ketiga, "mentaati", setelah mengetahui dan memahami, maka diharapkan dapat mentaati. Namun hal ini masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagi pihak yang merasa kepentingannya sama, maka biasanya akan langsung mentaati. Apabila tidak, maka masih ada proses berfikir, bahkan mencari celah bagaimana "menghindari" atau "mensiasatinya". Keempat, "menghargai", ketika seseorang telah mentaati, maka sikap menghargai suatu peraturan hukum lingkungan itu akan muncul bersamaan dengan kesadaran hukumnya bahwa hukum tersebut memang wajib untuk ditaati demi kepentingan dirinya, masyarakat dan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan.Proses menumbuhkan kesadaran hukum lingkungan di atas, jangan sampai terjebak dengan kata "lingkungan" saja, sehingga hanya UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) saja yang dipahami masyarakat, tetapi juga UU lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti UU tentang Perikanan, Benda Cagar Budaya, Pertambangan, ZEE, Perindustrian, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Pelayaran. Karena lingkungan hidup itu meliputi tanah, air, udara, ruang angkasa, termasuk manusia dan perilakunya. UU PLH pada dasarnya merupakan UU induk atau Payung "umbrella Act" dibidang lingkungan hidup bagi semua UU tersebut.
Menumbuhkan Kesadaran Hukum
Lingkungan
Upaya
untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat
dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program
sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan
hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh
masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif
apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum
(mental) semua pihak. Ketiga, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang
menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran
lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan
hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan
berbelit-belit.
Kelima,
semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan,
khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan,
baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan
sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat
menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang
pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda
yang tinggi yang ternyata tidak efektif.
Tumbuhnya
kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan
"Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya
sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.
BAB III
A.
KESIMPULAN
1.PENEGAKAN
HUKUM LINGKUNGAN DALAM HUKUM PIDANA
Hukum pidana
memainkan peranan penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan, namun
demikian beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi
kapasitas yang dimilikinya dan perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan secara
in heren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut,seperti asas legalitas
maupun asas kesalahan.
Berlakunya hukum pidana dalam suatu masyarakat, pada dasarnya berkait dengan tiga unsur/komponen hukum yang satu sama lainnya terkait erat , yaitu:
Pertama, adanya seperangkat peraturan yang berfungsi mengatur perilaku manusia, juga berfungsi menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat tersebut, juga berfungsi mendidik. Khususnya fungsi yang terakhir mengingat setiap peraturan yang dibuat dengan sengaja selalu bertujuan untuk mengatur perilaku anggota masyarakat untuk waktu mendatang (sifat preventif suatu peraturan hukum) berdasarkan suatu tujuan tertentu dan oleh karena itu harus dilaksanakan atau dipatuhi. Sedang fungsinya yang kedua juga merupakan sifat setiap peraturan hukum yang refresif, menyelesaikan permasalahan bila terjadi pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan sengaja untuk mengatur perilaku anggota masyarakat itu. Kedua, adanya seperangkat orang/lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan-peraturan yang dengan sengaja dibuat itu ditaati dan tidak dilanggar. Dalam hal dilanggar, maka seperangkat orang/lembaga tersebut diberi kewenangan untuk menyelesaikannya. Kewenangan ini tercermin dalam sanksi/akibat (pelanggaran) hukum yang menyertainya. Ketiga, adanya orang/orang-orang yang dikenai oleh peraturan itu, yaitu anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan antar institusi.
Berlakunya hukum pidana dalam suatu masyarakat, pada dasarnya berkait dengan tiga unsur/komponen hukum yang satu sama lainnya terkait erat , yaitu:
Pertama, adanya seperangkat peraturan yang berfungsi mengatur perilaku manusia, juga berfungsi menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat tersebut, juga berfungsi mendidik. Khususnya fungsi yang terakhir mengingat setiap peraturan yang dibuat dengan sengaja selalu bertujuan untuk mengatur perilaku anggota masyarakat untuk waktu mendatang (sifat preventif suatu peraturan hukum) berdasarkan suatu tujuan tertentu dan oleh karena itu harus dilaksanakan atau dipatuhi. Sedang fungsinya yang kedua juga merupakan sifat setiap peraturan hukum yang refresif, menyelesaikan permasalahan bila terjadi pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan sengaja untuk mengatur perilaku anggota masyarakat itu. Kedua, adanya seperangkat orang/lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan-peraturan yang dengan sengaja dibuat itu ditaati dan tidak dilanggar. Dalam hal dilanggar, maka seperangkat orang/lembaga tersebut diberi kewenangan untuk menyelesaikannya. Kewenangan ini tercermin dalam sanksi/akibat (pelanggaran) hukum yang menyertainya. Ketiga, adanya orang/orang-orang yang dikenai oleh peraturan itu, yaitu anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok. Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan antar institusi.
Hukum ada atau
diadakan untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi
kepentingan manusia. Artinya, hukum ditujukan untuk menciptakan keamanan,
perdamaian, kesejahteraan, keselamatan alam dan keterlanjutan manusia .
Selanjutnya, sebagai suatu keseluruhan perundang-undangan itu merupakan satu
kesatuan tanpa pertentangan . Ini tidak lain karena sifat dari hukum itu
sendiri adalah memerintah dan mengatur atau menata .
Dapat berfungsinya sistem hukum, ada 4 hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: a. masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan); b. masalah interpretasi (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melaui proses penerapan aturan tertentu);
c. masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya), dan d. masalah yuridiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma
hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu). Peran dan fungsi hukum yang penting adalah memberikan prediktabilitas, artinya melalui pembacaan terhadap teks hukum dapat diketahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang diharapkan dari suatu tindakan .
Dapat berfungsinya sistem hukum, ada 4 hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: a. masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan); b. masalah interpretasi (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melaui proses penerapan aturan tertentu);
c. masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya), dan d. masalah yuridiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma
hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu). Peran dan fungsi hukum yang penting adalah memberikan prediktabilitas, artinya melalui pembacaan terhadap teks hukum dapat diketahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang diharapkan dari suatu tindakan .
Selanjutnya, pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.
Dalam melaksanakan profesi, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada:
a.
berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan
tuntutan profesi,
b.
sadar akan
kewajibannya, dan
c.
memiliki
idealisme yang tinggi.
2.Penegakan Hukum Lingkungan dengan Hukum Perdata
Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”
Pasal 1366 KUHPerdata:
“Setiap
orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian ynag disebabkan perbuatannya,
tetapi juga untuk kerugian yang disebabkankelalaian atau kurang hati-hatinya”
Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata:
Gugatan
berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus memenuhi sayarat berikut:
1.
Kesalahan (schuld);
2.
Kerugian (schade);
3.
Hubungan kausal (causal verband);
4.
Relativitas (relativeit).
3. KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Kendala yang dihadapi di atas
dapat diminimalkan, dengan menerapkan Pasal 95 ayat (1) UUPPLH, yang berbunyi:
“Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup,
dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil,
kepolisisan, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri” (dalam hal ini Menteri
Negara Lingkungan Hidup).
Kendala lainnya yang dihadapi
dalam penanganan tindak pidana lingkungan, diantaranya:
1.Ketidaktahuan masyarakat terhadap mekanisme penanganan tindak pidana lingkungan dan bagaimana proses pelaporan jika mereka menemukan indikasi tindak pidana lingkungan,
1.Ketidaktahuan masyarakat terhadap mekanisme penanganan tindak pidana lingkungan dan bagaimana proses pelaporan jika mereka menemukan indikasi tindak pidana lingkungan,
2.Kurangnya koordinasi diantara PPNS, Polri dan Penuntut Umum,
3.Tidak digunakannya kewenangan
pemeriksaan ulang oleh Jaksa Penuntut Umum dalam memeriksa tindak pidana
kehutanan guna membantu Penyidik dalam pemberkasan, dan tak jarang pula
ditemukan kurang memadainya pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap
aturan-aturan hukum yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana
lingkungan,
4. Lamanya proses pemeriksaan perkara hingga putusan hakim, sehingga sulit untuk memenuhi
4. Lamanya proses pemeriksaan perkara hingga putusan hakim, sehingga sulit untuk memenuhi
5. Terbatasnya ahli di bidang
lingkungan,
6. Masih ditemukannya sikap
oknum yang arogan dengan kewenangan yang dimiliki, yang seharusnya
masing-masing dapat memperbaiki kapasitasnya dan saling mendukung kelancaran
setiap tahap penanganan perkara.
7. Adanya kecenderungan untuk
saling menyalahkan antara satu aparat Kepolisian, Kejaksaan dan dinas sektoral
atau pemerintah daerah, yang seharusnya mereka saling berkoordinasi dalam
menegakkan hukum,
8. Kurang melibatkan para pakar
yang ahli dalam bidang sektoral (yang terkait substansi kasus lingkungan),
lingkungan hidup, korporasi dan lainnya yang seharusnya dilibatkan sejak awal
pada tahap penyelidikan atau setidak-tidaknya pada tahap penyidikan guna
membantu melakukan kajian atau audit lingkungan hidup guna membantu memberikan
kesimpulan telah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup,
sebab pencemaran dan kerusakan lingkungan bisa mengganggu kelestarian fungsi
lingkungan hidup,
9. Adanya backing dari oknum
pejabat baik dari pemerintah daerah, dinas atau departemen (sektoral), oknum
aparat keamanan, dan lain-lain, sehingga penegakan hukum tidak berjalan
sebagaimana mestinya.
Selain hal yang dikemukakan di
atas, juga terdapat perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan
pejabat pengawas (penanganan di bidang administratif) dengan penanganan melalui
sarana hukum pidana, diantaranya
1. pejabat
pemerintah (administratif) tidak banyak yang paham tentang hukum pidana
2. pejabat pemerintah (administratif) bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana dianggap sebagai hal yang mengganggu dan patut dihidari sebab mereka perlu waktu untuk untuk membina hubungan dengan dunia usaha tersebut, serta mereka takut kehilangan prestise atau kepercayaan dari kalangan dunia usaha, sehingga ada “keengganan” untuk kesediaan melaporkan terjadinya atau adanya tindak pidana lingkungan, apalagi ada kepentingan “politik” di dalamnya.
3. adanya pandangan yang menganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran hukum yang serius, kasus ini cukup diselesaikan secara administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan korporasi, selalu “dianggap” warga yang baik dan terpandang di mata masyarakat.
4. keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penyidik dalam menangani kasus yang berkaitan dengan korporasi, menjadikan penyidik merasa pekerjaan tersebut “berat” dan menjemukan (karena memerlukan pemikiran dan perhatian serta kemauan yang lebih), sehingga semangat untuk menangani perkara tersebut semakin lama semakin menurun, apalagi mendapatkan hambatan dalam membuktikan atau mencari alat-alat buktinya.
5. adanya “kebijakan” untuk membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu yang lama, karena penguasa (pemerintah) sedang (masih) melakukan “perundingan” dengan pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut.
6. adanya kecenderungan pihak penguasa (administratif) untuk melihat pelanggaran hukum lingkungan sebagai pelanggaran administratif, serta memandang penanganan secara hukum pidana tidak dapat mengambil suatu keputusan yang cepat, serta adanya kesulitan-kesulitan dalam pengambilan keputusan.
2. pejabat pemerintah (administratif) bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana dianggap sebagai hal yang mengganggu dan patut dihidari sebab mereka perlu waktu untuk untuk membina hubungan dengan dunia usaha tersebut, serta mereka takut kehilangan prestise atau kepercayaan dari kalangan dunia usaha, sehingga ada “keengganan” untuk kesediaan melaporkan terjadinya atau adanya tindak pidana lingkungan, apalagi ada kepentingan “politik” di dalamnya.
3. adanya pandangan yang menganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran hukum yang serius, kasus ini cukup diselesaikan secara administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan korporasi, selalu “dianggap” warga yang baik dan terpandang di mata masyarakat.
4. keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penyidik dalam menangani kasus yang berkaitan dengan korporasi, menjadikan penyidik merasa pekerjaan tersebut “berat” dan menjemukan (karena memerlukan pemikiran dan perhatian serta kemauan yang lebih), sehingga semangat untuk menangani perkara tersebut semakin lama semakin menurun, apalagi mendapatkan hambatan dalam membuktikan atau mencari alat-alat buktinya.
5. adanya “kebijakan” untuk membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu yang lama, karena penguasa (pemerintah) sedang (masih) melakukan “perundingan” dengan pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut.
6. adanya kecenderungan pihak penguasa (administratif) untuk melihat pelanggaran hukum lingkungan sebagai pelanggaran administratif, serta memandang penanganan secara hukum pidana tidak dapat mengambil suatu keputusan yang cepat, serta adanya kesulitan-kesulitan dalam pengambilan keputusan.
B.SARAN
Saran
kami kepada Pemerintah untuk kiranya lebih meningkatkan lagi dalam hal nya
penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini, sekiranya apa yg sudah di
terbitkan dalam Undang-undang dapat ditegakkan dengan tegas berdasarkan
peraturan dasar tersebut.
Kepada
masyarakat negeri ini dan terutama bagi mahasiswa/I sekiranya dapat menjaga dan
melestarikan lingkungan sebagaimana yang sudah di atur di dalam undang-undang,
dan agar sekiranya Ketidaktahuan masyarakat terhadap mekanisme penanganan
tindak pidana lingkungan
Link download MAKALAH KLIK DI SINI
Link download MAKALAH KLIK DI SINI