Jumat, 16 Maret 2012

MAKALAH PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Masalah lingkungan tidak selesai dengan memberlakukan Undang-Undang dan komitmen untuk melaksanakannya. suatu Undang-Undang yang mengandung instrumen hukum masih diuji dengen pelaksanaan (uitvoering atau implementation) dan merupakan bagian dari mata rantai pengaturan (regulatory chain) pengelolaan lingkungan. Dalam merumuskan kebijakan lingkungan, Pemerintah lazimnya menetapkan tujuan yang hendak dicapai. Kebijakan lingkungan disertai tindak lanjut pengarahan dengan cara bagaimana penetapan tujuan dapat dicapai agar ditaati masyarakat.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) mendasari kebijaksanaan lingkungan di Indonesia, karena Undang-Undang, peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya merupakan instrumen kebijaksanaan (instrumenten van beleid). Instrumen kebijaksanaan lingkungan perlu ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan lingkungan dami kepastian hukum dan mencerminkan arti penting hukum bagi penyelesaian masalah lingkungan. Instrumen hukum kebijaksanaan lingkungan (juridische milieubeleidsinstrumenten) tetapkan oleh pemerintah melalui berbagai sarana yang bersifat pencegahan, atau setidak-tidaknya pemulihan, sampai tahap normal kualitas lingkungan.
Upaya penegakan hukum lingkungan yang konsisten akan memberikan landasan kuat bagi terselenggaranya pembangunan, baik dibidang ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan keamanan. Namun dalam kenyataan untuk mewujudkan supremasi hukum tersebut masih memerlukan proses dan waktu agar supremasi hukum dapat benar-benar memberikan implikasi yang menyeluruh terhadap perbaikan pembangunan nasional.
Dalam hubungan dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, penegakan hukum dibidang lingkungan hidup dapat diklasifikasikan kedalam 3 (tiga) kategori yaitu :
1. Penegakan hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Administrasi / Tata Usaha Negara.
2. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Perdata.
3. Penegakan Hukum Lingkungan dalam kaitannya dengan Hukum Pidana.
Selama ini pemerintah harus memberikan Sanksi administrasi yang merupakan suatu upaya hukum yang harus dikatakan sebagai kegiatan preventif oleh karena itu sanksi administrasi perlu ditempuh dalam rangka melakukan penegakan hukum lingkungan. Disamping sanksi-sanksi lainnya yang dapat diterapkan seperti sanksi pidana.





B.     PERMASALAHAN
1. Bagaimana penegakan hukum lingkungan dalam hukum Pidana ?
2. Bagaimana penegakan hukum lingkungan dalam hukum Perdata ?
3. Apa saja kendala yang terjadi dalam Penegakan Hukum Lingkungan ?












BAB    II
A. TINJAUAN PUSTAKA
Upaya penegakan sanksi administrasi oleh pemerintah secara ketata dan konsisten sesuai dengan kewenangan yang ada akan berdampak bagi penegakan hukum, dalam rangkan menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup. Sehubungan dengan hal ini, maka penegakan sanksi administrasi merupakan garda terdepan dalan penegakan hukum lingkungan (primum remedium). Jika sanksi administrasi dinilai tidak efektif, berulan dipergunakan sarana sanksi pidana sebagai senjata pamungkas (ultimum remedium).
Ini berarti bahwa kegiatan penegakan hukum pidana terhadap suatu tindak pidana lingkungan hidup baru dapat dimulai apabila :
1.      Aparat yang berwenang telah menjatuhkan sanksi administrasi dan telah menindak pelanggar degan menjatuhkan suatu sanksi administrasi tesebut, namun ternyata tidak mampu menghentikan pelanggaran yang terjadi, atau
2.      Antara perusahaan yang melakukan pelanggaran dengan pihak masyarakat yang menjadi korban akibat terjadi pelanggaran, sudah diupayakan penyelesaian sengketa melalui mekanisme altenatif di luar pengadilan dalam bentuk musyawarah / perdamaian / negoisasi / mediasi, namun upaya yang dilakukan menemui jalan buntu, dan atau litigasi melalui pengadilan pedata, namun upaya tersebut juga tidak efektif, baru dapat digunakan instrumen penegakan hukum pidana lingkungan hidup.

Berdasarkan jenisnya ada beberapa jenis sanksi administaratif yaitu
1. Bestuursdwang (paksaan pemerintahan)
Diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari pengusaha guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan undang-undang.
2. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin pembayaran, subsidi).
Penarikan kembali suatu keputusan yang menguntungkan tidak selalu perlu didasarkan pada suatu peraturan perundang-undangan. Hal ini tidak termasuk apabila keputusan(ketetapan) tersebut berlaku untuk waktu yang tidak tertentu dan menurut sifanya “dapat diakhiri” atau diatrik kembali (izin, subsidi berkala).[3]
Instrument kedua yang diberlakukan setelah sanksi administrative tidak diindahakan oleh pelaku pelanggara atau kejahatan lingkungan hidup adalah pengguna instrument perdata dan pidana , kedua instrument sangsi huku ini biasa gunakan secara pararel maupun berjalan sendiri sendiri .
Penerapan sanksi pidana tersebut bisa saja terjadi karena pemegang kendali penerapan instrument sanksi pidana adalah aparat penegak hokum dalam hal ini Penyidik Pegawai Negeri (PPNS) yang berada tingkat pusat dalam hal ini di Kementrian Negara Lingkungan Hidup atau Instansi Lingkungan Hidup Daerah dan Penyidik Kepolisian RI hal ini sebagai mana diatau dalam ketentuan UU Nomor 23 Tahun 1997 pasal Pasal 40
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang :
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
d. melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
e. melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
f. meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
(3) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasilpenyidikannya kepada Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud padaayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5) Penyidikan tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Ekslusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sedangkan penerapan instrument perdata biasa dilakukan oleh pemerintah maupun Masyarakat dan organisasi yang konsen terhadap lingkungan hidup yang mempunyai Hak Untuk Mengajukan Gugatan yang di atu dlam ketentuan Pasal 37, Pasal 38 dan Pasal 39 UU Nomor 23 Tahun 1997 mekanismenya bisa dengan mengajukan gugatan perdata biasa secara perorangan amapun secara class action (perwakilan)
Sedangkan utuk gugatan legal stending yang didasarkan pada suatu asumsi bahwa LSM sebagai guardian/wali dari lingkungan (Stone;1972). Teori ini memberikan hak hukum (legal right) kepada obyek-obyek alam (natural objects). Dalam hal terjadi kerusakan atau pencemaran lingkungan, maka LSM dapat bertindak sebagai wali mewakili kepentingan pelestarian lingkungan tersebut.





B. PEMBAHASAN
1. PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DALAM HUKUM PIDANA
 Dalam interaksinya di masyarakat, eksistensi dan kualitas hidup manusia ditentukan berdasarkan pada referensi nilai dan moral. Orang yang jahat akan dicela dan seringkali disingkirkan dari masyarakat, sedangkan orang yang baik akan dipuji, dihormati, dicintai dan kemana-mana akan didukung kehidupannya. Orang bisa menjadi jahat karena di dalam kodratnya memiliki kehendak bebas, akan tetapi kehendak bebas akan terbentuk dan berkembang dan mejadi kuat kalau orang semakin bersedia untuk bertanggungjawab.
Pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat sejalan dengan meningkatnya kegiatan industri atau sejenisnya dalam menjalankan suatu usaha ekonomi serta sikap penguasa maupun pengusaha yang tidak menjalankan atau melalaikan kewajiban-kewajibannya dalam pengelolaan lingkungan hidup .
Hukum pidana memainkan peranan penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan, namun demikian beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi kapasitas yang dimilikinya dan perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan secara in heren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut, seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.




2. Penegakan Hukum Lingkungan Dalam Hukum Perdata
CONTOH KASUS
Pencemaran yang dilakukan oleh PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL/eks. PT. Inti Indorayon Utama). PT Indorayon mulai beroperasi pada akhir tahun 1980-an. Pada tahun 1999 perusahaan itu ditutup atas rekomendasi Menteri Negara Lingkungan Hidup yang ketika itu dijabat Sonny Keraf-karena terbukti mencemari dan membahayakan lingkungan. Namun, pada Maret 2002 atas rekomendasi Wakil Presiden RI yang ketika itu dijabat oleh Megawati Soekarnoputri, PT Indorayon dibuka kembali dengan nama PT Toba Pulp Lestari. Selama sepuluh tahun PT Indorayon beroperasi, , masyarakat Porsea merasakan hidup yang serba sulit. Selain mencemari lingkungan, perusahaan itu juga mendatangkan banyak masalah sosial, seperti konflik dan intimidasi aparat terhadap masyarakat yang menolak Indorayon.
Kesehatan masyarakat menurun karena kualitas lingkungan yang buruk. Limbah perusahaan itu tidak hanya mencemari udara yang menyebabkan penyakit ISPA, tetapi juga berpengaruh pada menurunnya hasil panen penduduk. Penduduk khawatir kejadian sepuluh tahun lalu, akan terulang dan mereka alami lagi sejak dibukanya PT TPL. Selain udara yang bikin sesak, dampak lain sejak dibukanya PT TPL adalah menurunnya hasil panen. Hal ini disebabkan banyaknya bulir padi yang tidak berisi atau kosong. Selain itu, penduduk setempat mengaku limbah uap dari operasional pabrik itu cukup mengganggu udara yang mereka hirup sehari-hari. Hampir semua penduduk Desa Amborgang yaitu daerah sekitar PT. TPL yang ditemui, sesudah turun hujan mereka merasakan perubahan udara sehingga menimbulkan rasa sesak dan jarak pandang yang buruk. Berdasarkan data di Puskesmas Porsea, jumlah penderita Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) pada bulan Januari 2001 tercatat 92 orang. Sedangkan pada Januari 2002 tercatat 103 orang dan meningkat menjadi 128 pada Januari 2003. Masyarakat menduga ISPA tersebut merupakan dampak pencemaran udara sejak beroperasinya kembali PT Toba Pulp Lestari pada tahun 2002.                                                                                              Kemudian Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) mengajukan gugatan kepada pemerintah in casu BKPM Pusat cs. melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Atas dasar Pasal 1365 KUHPerdata gugatan ini diterima karena dengan alasan belum ada peraturan pelaksana Pasal 34 UULH maka upaya hukum yang ditempuh adalah melalui gugatan perdata berdasarkan perbuatan melanggar hukum ex Pasal 1365 KUHPerdata.                                                  Gugatan ini diterima karena beberapa alasan, yaitu: pertama, gugatan ganti kerugian berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata merupakan aturan umum (legi generali) sedangkan Pasal 20 UULH adalah lex specialis; kedua, karena peraturan pelaksana Pasal tersebut belum keluar, agar tidak terdapat kekosongan hukum yang dapat menimbulkan tiadanya kepastian hukum, ketentuan legi generali dalam Pasal 1365 KUHPerdata dapat digunakan sebagai upaya hukum; ketiga, adalah berdasarkan rasa keadilan, maka yustisiabelen tidak dapat dibiarkan menunggu terus sampai keluar peraturan pelaksanaan yang tidak dapat ditentukan kapan keluarnya sedangkan kerugian akibat pencemaran sudah banyak terjadi; keempat, adanya Surat Edaran Menteri Lingkungan Hidup Nomor 03/SE/MENKLH/6/1987. Yang dalam bukti ke-9 mengatakan: “Tindakan tersebut di atas tidak menutup kemungkinan diajukan oleh pihak yang berkepentingan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” dan kelima, karena belum keluar peraturan pelaksanaan Pasal 20 UULH, 
sedangkan pencemaran lingkungan sudah banyak menimbulkan kerugian bagi seseorang atau masyarakat maka seharusnya hakim berpedoman pada Pasal 27 UUPKK Kehakiman No. 14 Tahun 1970 yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2004 menyebutkan: “Hakim sebagai penegak hukum dan pengadilan wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.”                                                                                                                                    Organisasi lingkungan dapat melakukan gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata, dengan alasan perbuatan yang bersangkutan melanggar kepentingan masyarakat, dalam kasus ini Walhi mewakili masyarakat korban pencemaran PT Indorayon. Perbuatan Melawan Hukum menurut M.A.Moegni Djodjodirdjo di dalam bukunya yang berjudul “Perbuatan Melawan Hukum” adalah “Kealpaan berbuat, yang melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar kesusilaan ataupun bertentangan dengan kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat tentang orang lain atau barang” . Perbuatan Melawan Hukum sebagaimana diatur Pasal 1365 jo. Pasal 1366 jo. Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata.
Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata:
Gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus memenuhi sayarat berikut:
1. Kesalahan
Berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata mensyaratkan adanya kesalahan yang pembuat harus mempertanggungjawabkan karena telah melakukan perbuatan melanggar hukum. Karena terjadinya perbuatan melanggar hukum yang dalam hal hukum lingkungan, misalnya melanggar ketentuan tentang larangan berdasarkan undang-undang atau tidak mempedulikan ketentuan tentang perizinan. Dipandang pada umumnya melakukan kesalahan jika pembuat menolak telah melakukan perbuatan melanggar hukum, ia harus dapat dibuktikan.
Jadi dalam kasus PT Indorayon ini, Walhi sebagai Penggugat harus membuktikan adanya kesalahan pelanggar (PT Indorayon). Jika Penggugat dapat membuktikan bahwa pelanggar telah melanggar syarat-syarat yang tercantum dalam izin atau tidak mempunyai sama sekali, pelanggar telah dipandang melakukan kesalahan (schuld).
2. Kerugian
Syarat lain yang ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata adalah adanya kerugian (schade). Pada umumnya tuntutan yang diajukan adalah agar hakim menjatuhkan larangan atau perintah misalnya supaya tergugat berhenti melakukan pencemaran atau diperintahkan melakukan pencegahan, sedangkan tuntutan ganti kerugian merupakan perkecualian. 
Yurisprudensi jelas mengatakan, bahwa dalam aksi larangan, adanya kerugian adalah tidak penting. Dalam kasus PT Indorayon yang telah terjadi pencemaran lingkungan sehingga menimbulkan kerugian masyarakat, maka yang diperlukan adalah ancaman pelanggaran terhadap kepentingan yang dilindungi oleh Pasal 1365 KUHPerdata.Dalam kasus PT Indorayon kerugian yang dirasakan masyarakat yaitu: timbulnya penyakit ISPA atau gangguan saluran pernapasan masyarakat yang menjadi sesak, hal ini mengakibatkan penduduk Desa Amborgang menjadi sakit artinya ada kerugian, karena masyarakat harus mengeluarkan biaya pengobatan penyakit ini, lebih dari itu kerugian membuat masyarakat tidak dapat melakukan aktifitas ekonominya. Kerugian yang lain adalah akibat pencemaran udara ini padi yang akan dipanen menjadi tidak berisi, sehingga menimbulkan kerugian secara materil bagi masyarakat sekitar PT Indorayon.                                              Kerugian yang ditimbulkan akibat limbah uap operasional pabrik PT Indorayon dan penanganan yang berlarut-larut antara lain mencakup kerugian atas:
1. hak atas kehidupan yang layak berupa menurunnya kualitas kehidupan penduduk Desa Amborgang yang menjadi korban langsung limbah uap operasional pabrik PT Indorayon,
2. hak atas bebas dari rasa takut yang dialami korban dan potensi korban serta masyarakat di Desa Amborgang dan sekitarnya,
3. hak atas pekerjaan berupa hilangnya mata pencaharian dan pekerjaan akibat limbah uap operasional pabrik PT Indorayon,
3. Hubungan Kausal
Harus ada kaitan atau hubungan kausal antara perbuatan yang melanggar hukum dan terjadinya kerugian. Ini berarti, bahwa adanya kerugian itu harus dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku.                                                                                                                             Adanya hubungan kausal penting jika yang dituntut adalah ganti kerugian dari pelanggar. Tentu harus terjadi hubungan kausal antara perbuatan (yang melanggar hukum itu) dan terjadinya kerugian.                                                                                                                Perbuatan yang dilakukan PT Indorayo yang melakukan pembuangan uap hasil produksi sehingga menimbulkan pencemaran lingkungan membahayakan masyarakat sekitar dan hasil panen masyarakat, menimbulkan kerugian terhadap masyarakat. Berarti terjadi hubungan kausal antara kegiatan atau perbuatan PT Indorayon dengan kerugian yang diderita masyarakat sekitar.
4. Relativitas (relativeit)
Tidak semua perbuatan atau pengabaian atas suatu norma hukum dan karenanya melanggar hukum dapat dituntut melalui jalur perbuatan melanggar hukum dengan sukses. Yang dapat dituntut berdasarkan perbuatan melanggar hukum hanya jika norma yang dilanggar itu termasuk dalam ruang lingkup pengertian yang dirugikan dilindungi oleh peraturan tersebut. Hal ini biasa disebut syarat relativitas (relativeit).                                                                      Gugatan supaya suatu ketentuan larangan berdasarkan undang-undang atau suatu syarat dalam izin dipenuhi, hanya dapat diajukan oleh seorang yang bersangkutan atau terancam suatu kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan berdasarkan undang-undang atau suatu ketentuan perizinan. 
Gugatan dari saingan bahwa suatu perusahaan lain tidak mempunyai izin, bukanlah kepentingan yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan lingkungan atau peraturan perizinan lingkungan.                                                                                                                   Gugatan atas nama masyarakat yang dilakukan Walhi terhadap PT Indorayon merupakan memiliki suatu kepentingan yang dapat dilindungi oleh undang-undang. Sebenarnya yang berkepentingan adalah masyarakat sekitar PT Indorayon yang menjadi korban pencemaran. Karena relitivitas ini, maka gugatan oleh Walhi ke pengadilan dengan mengatasnamakan masyarakat merupakan hal yang dapat diterima oleh pengadilan.





Kendala Penegakan Hukum Lingkungan
Usaha menegakkan hukum lingkungan dewasa ini memang dihadapkan sejumlah kendala. Pertama, masih terdapat perbedaan persepsi antara aparatur penegak hukum dalam memahami dan memaknai peraturan perundang-undangan yang ada.Kedua, biaya untuk menangani penyelesaian kasus lingkungan hidup terbatas. Ketiga, membuktikan telah terjadi pencemaran atau perusakan lingkungan bukanlah pekerjaan mudah.
 Era reformasi dapat dipandang sebagai peluang yang kondusif untuk mencapai keberhasilan dalam penegakan hukum lingkungan.                                                                                                                                         
Ke depan, perlu exit strategy sebagai solusi penting yang harus diambil oleh pemegang policy dalam penyelamatan fungsi lingkungan hidup. Pertama, mengintensifkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor terkait dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Kedua, adanya sanksi yang memadai (enforceability) bagi perusahaan yang membandel dalam pengelolaan limbah sesuai dengan aturan yang berlaku. Jika ada indikasi tindak pidana, aparat penegak hukum dapat menindak tegas para pelaku/penanggung jawab kegiatan seperti diatur dalam Pasal 41-48 UU 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ketiga, adanya partisipasi publik, transparansi, dan demokratisasi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup patut ditingkatkan. Pengelolaan lingkungan hidup akan terkait tiga unsur, yaitu pemerintah, pengusaha, dan masyarakat. Pada gilirannya, dalam pengelolaan lingkungan hidup setiap orang mempunyai hak yang sama untuk menikmati lingkungan hidup yang baik dan sehat.


MENUMBUHKAN KESADARAN HUKUM LINGKUNGAN
Menurut Soerjono Soekanto, Kesadaran hukum masyarakat menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum diketahui, dimengerti, ditaati dan dihargai. Apabila masyarakat hanya mengetahui adanya suatu ketentuan hukum, maka taraf kesadaran hukumnya lebih rendah daripada apabila mereka memahaminya dan seterusnya. Kesadaran hukum meliputi berbagai aspek kehidupan dan tingkat kesadarannya bisa berbeda-beda tergantung tingkat aplikasi faktor-faktor di atas. Selain itu, kesadaran hukum juga ditentukan oleh sudut pandang masing-masing individu dalam melihat "hukum".
Kesadaran hukum lingkungan, baik itu pelestarian maupun pengelolaannya, pada hakikatnya manusia harus memiliki kesadaran hukum yang tinggi, karena manusia memiliki hubungan sosiologis maupun biologis secara langsung dengan lingkungan hidup dimana dia berada, sejak dia lahir sampai meninggal dunia. Namun kesadaran hukum masih dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain. Oleh karena itu, perlu adanya upaya-upaya strategis untuk menumbuhkan kesadaran hukum tersebut, baik dari sisi mental manusianya maupun dari segi kebijakan. Sinergi keduanya penting, karena kesadaran hukum itu ada yang tumbuh karena memang sesuai dengan nilai yang dianutnya.
Misalnya orang yang suka dengan hidup bersih, maka ia tidak akan membuang sampah sembarangan. Kesadaran hukum juga dapat tumbuh karena takut dengan sanksi yang dijatuhkan. Kesadaran semu inilah yang banyak dimiliki oleh masyarakat kita. Lepas dari penyebab kesadaran hukum itu muncul, yang berbahaya adalah apabila kesadaran hukum itu telah ada namun kemudian menurun bahkan hilang karena faktor eksternal, seperti penegakan hukum yang tidak tegas dan tebang pilih. Hal ini akan menurunkan kesadaran hukum masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum. Jadi, upaya menumbuhkan kesadaran hukum tidak cukup dengan menuntut masyarakat, tetapi juga harus disertai dengan tauladan dan penegakan hukum.
Manusia, baik kedudukannya sebagai anggota masyarakat, sebagai pelaku usaha, sebagai aparat penegak hukum, maupun sebagai pembuat/pengambil kebijakan, harus memiliki kesadaran hukum lingkungan meskipun secara bertahap, dari sekedar mengetahui sampai dengan menaati dan menghargai berbagai ketentuan hukum lingkungan yang ada.
Berkaitan dengan faktor-faktor kesadaran hukum sebagaimana disebutkan diatas, untuk hukum lingkungan, ada beberapa masalah yang perlu dicermati, yaitu : Pertama, "mengetahui", secara yuridis, setelah UU disahkan, sejak itu pula muncul asumsi bahwa masyarakat dianggap mengetahuinya. Asumsi ini terealisasi apabila pasca diundangkan ada aktivitas sosialisasi yang tepat dan kontinyu. Bila tidak, maka dapat dihitung berapa jumlah masyarakat Indonesia yang mengetahui tentang peraturan tersebut dan jumlahnya dipastikan tidak akan menyentuh masyarakat kalangan bawah, tidak hanya di desa tetapi juga diperkotaan. Akibatnya tidak heran bila ada kegiatan usaha yang tidak memiliki atau bahkan tidak mengetahui perlunya AMDAL.
Kedua, "mengerti", masyarakat tidak cukup hanya sekedar mengetahui saja, tetapi juga harus memahami isi peraturan, seperti apa tujuan dan manfaat dikeluarkannya peraturan tersebut. Hukum lingkungan tentunya bertujuan agar proses pembangunan tidak merusak lingkungan. Oleh karena itu diperlukan adanya aturan AMDAL dan perizinan. Adanya aturan ini hendaknya tidak menjadi beban bagi pelaku usaha dan lahan korupsi bagi oknum birokrasi/aparat hukum, tetapi sebagai upaya preventif bersama agar kegiatan usaha tidak merusak lingkungan.
Ketiga, "mentaati", setelah mengetahui dan memahami, maka diharapkan dapat mentaati. Namun hal ini masih dipengaruhi oleh beberapa faktor. Bagi pihak yang merasa kepentingannya sama, maka biasanya akan langsung mentaati. Apabila tidak, maka masih ada proses berfikir, bahkan mencari celah bagaimana "menghindari" atau "mensiasatinya". Keempat, "menghargai", ketika seseorang telah mentaati, maka sikap menghargai suatu peraturan hukum lingkungan itu akan muncul bersamaan dengan kesadaran hukumnya bahwa hukum tersebut memang wajib untuk ditaati demi kepentingan dirinya, masyarakat dan dalam upaya mencegah kerusakan lingkungan.Proses menumbuhkan kesadaran hukum lingkungan di atas, jangan sampai terjebak dengan kata "lingkungan" saja, sehingga hanya UU No 23/1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PLH) saja yang dipahami masyarakat, tetapi juga UU lain yang berkaitan dengan lingkungan hidup, seperti UU tentang Perikanan, Benda Cagar Budaya, Pertambangan, ZEE, Perindustrian, Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan Pelayaran. Karena lingkungan hidup itu meliputi tanah, air, udara, ruang angkasa, termasuk manusia dan perilakunya. UU PLH pada dasarnya merupakan UU induk atau Payung "umbrella Act" dibidang lingkungan hidup bagi semua UU tersebut.

Menumbuhkan Kesadaran Hukum Lingkungan
Upaya untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat dalam pelestarian lingkungan dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu : Pertama, meningkatkan program sosialisasi dari tingkat pusat sampai ke desa-desa, khususnya berkaitan dengan hak dan kewajiban serta berbagai permasalahan riil yang dihadapi oleh masyarakat, seperti prosedur AMDAL, perizinan dan dampak positif dan negatif apabila prosedur tersebut tidak dilakukan. Kedua, meningkatkan kesadaran hukum (mental) semua pihak. Ketiga, menindak tegas oknum pemerintah/aparat yang menyalahgunakan wewenangnya dan menindak tegas pelaku perusakan/pencemaran lingkungan tanpa tebang pilih sehingga masyarakat percaya dengan upaya penegakan hukum lingkungan. Keempat, memangkas proses birokrasi yang panjang dan berbelit-belit.
Kelima, semakin meningkatkan kualitas dalam pemberian penghargaan dibidang lingkungan, khususnya kriteria penilaian dengan memasukkan kriteria pembangunan berwawasan lingkungan, baik ditingkat nasional maupun di daerah-daerah. Keenam, menghindari penggunaan sarana hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan yang masih dapat menggunakan sarana hukum lain yang lebih efektif. Contohnya Perda tentang pembuangan sampah disembarang tempat dengan sanksi pidana kurungan dan denda yang tinggi yang ternyata tidak efektif.
Tumbuhnya kesadaran hukum lingkungan diharapkan dapat mendukung terwujudnya slogan "Pembangunan Berwawasan Lingkungan" menjadi kenyataan dan tidak hanya sekedar menjadikannya sebagai visi dan misi pembangunan saja.








BAB III
A. KESIMPULAN
1.PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN DALAM  HUKUM PIDANA
Hukum pidana memainkan peranan penting dalam upaya penegakan hukum lingkungan, namun demikian beban yang ditimpakan pada hukum pidana tidak berarti harus melebihi kapasitas yang dimilikinya dan perlu diperhatikan pembatasan-pembatasan secara in heren terkandung dalam penerapan hukum pidana tersebut,seperti asas legalitas maupun asas kesalahan.                                                                                                                        
Berlakunya hukum pidana dalam suatu masyarakat, pada dasarnya berkait dengan tiga unsur/komponen hukum yang satu sama lainnya terkait erat , yaitu:
Pertama, adanya seperangkat peraturan yang berfungsi mengatur perilaku manusia, juga berfungsi menyelesaikan sengketa yang timbul diantara anggota masyarakat tersebut, juga berfungsi mendidik. Khususnya fungsi yang terakhir mengingat setiap peraturan yang dibuat dengan sengaja selalu bertujuan untuk mengatur perilaku anggota masyarakat untuk waktu mendatang (sifat preventif suatu peraturan hukum) berdasarkan suatu tujuan tertentu dan oleh karena itu harus dilaksanakan atau dipatuhi. Sedang fungsinya yang kedua juga merupakan sifat setiap peraturan hukum yang refresif, menyelesaikan permasalahan bila terjadi pelanggaran atas peraturan perundang-undangan yang dibuat dengan sengaja untuk mengatur perilaku anggota masyarakat itu. Kedua, adanya seperangkat orang/lembaga yang melaksanakan tugas agar peraturan-peraturan yang dengan sengaja dibuat itu ditaati dan tidak dilanggar. Dalam hal dilanggar, maka seperangkat orang/lembaga tersebut diberi kewenangan untuk menyelesaikannya. Kewenangan ini tercermin dalam sanksi/akibat (pelanggaran) hukum yang menyertainya. Ketiga, adanya orang/orang-orang yang dikenai oleh peraturan itu, yaitu anggota masyarakat baik secara perorangan maupun kelompok.                                                                   Hukum mengendalikan keadilan. Keadilan yang dikehendaki hukum harus mencapai nilai persamaan, hak asasi individu, kebenaran, kepatutan, dan melindungi masyarakat. Selain itu, hukum mengemban fungsinya sebagai memelihara stabilitas, memberikan kerangka sosial terhadap kebutuhan-kebutuhan yang diajukan anggota masyarakat, menciptakan kaidah-kaidah, serta jalinan antar institusi.
Hukum ada atau diadakan untuk mengatur dan menciptakan keseimbangan atau harmonisasi kepentingan manusia. Artinya, hukum ditujukan untuk menciptakan keamanan, perdamaian, kesejahteraan, keselamatan alam dan keterlanjutan manusia . Selanjutnya, sebagai suatu keseluruhan perundang-undangan itu merupakan satu kesatuan tanpa pertentangan . Ini tidak lain karena sifat dari hukum itu sendiri adalah memerintah dan mengatur atau menata .
Dapat berfungsinya sistem hukum, ada 4 hal yang perlu diselesaikan terlebih dahulu, yaitu: a. masalah legitimasi (yang menjadi landasan bagi pentaatan kepada aturan-aturan); b. masalah interpretasi (yang akan menyangkut soal penetapan hak dan kewajiban subyek, melaui proses penerapan aturan tertentu);

 c. masalah sanksi (menegaskan sanksi apa, bagaimana penerapannya dan siapa yang menerapkannya), dan d. masalah yuridiksi (menetapkan garis kewenangan yang kuasa menegakkan norma
hukum, dan golongan apa yang hendak diatur oleh perangkat norma itu).                                                                                                                                                      Peran dan fungsi hukum yang penting adalah memberikan prediktabilitas, artinya melalui pembacaan terhadap teks hukum dapat diketahui apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang diharapkan dari suatu tindakan .

Selanjutnya, pembangunan di bidang hukum juga menyangkut sumber daya manusia, terlebih-lebih profesionalisme para penegak hukum. Dan profesionalisme ini berkaitan erat dengan penegakan etika profesi hukum.                                                                                                 
     Dalam melaksanakan profesi, dituntut adanya moralitas yang tinggi dari pelakunya. Moralitas yang tinggi tersebut bercirikan kepada:
a.        berani berbuat dengan tekad untuk bertindak sesuai dengan tuntutan profesi,
b.         sadar akan kewajibannya, dan
c.         memiliki idealisme yang tinggi.

2.Penegakan Hukum Lingkungan  dengan Hukum Perdata
Pasal 1365 KUHPerdata:
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”
Pasal 1366 KUHPerdata:
“Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian ynag disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkankelalaian atau kurang hati-hatinya”
Pasal 1367 ayat (3) KUHPerdata:
Gugatan berdasarkan Pasal 1365 KUHPerdata harus memenuhi sayarat berikut:
1. Kesalahan (schuld);
2. Kerugian (schade);
3. Hubungan kausal (causal verband);
4. Relativitas (relativeit).

3. KENDALA DALAM PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN
Kendala yang dihadapi di atas dapat diminimalkan, dengan menerapkan Pasal 95 ayat (1) UUPPLH, yang berbunyi: “Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pegawai negeri sipil, kepolisisan, dan kejaksaan di bawah koordinasi menteri” (dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup).
Kendala lainnya yang dihadapi dalam penanganan tindak pidana lingkungan, diantaranya:
1.Ketidaktahuan masyarakat terhadap mekanisme penanganan tindak pidana lingkungan dan bagaimana proses pelaporan jika mereka menemukan indikasi tindak pidana lingkungan,

2.Kurangnya koordinasi diantara PPNS, Polri dan Penuntut Umum,
3.Tidak digunakannya kewenangan pemeriksaan ulang oleh Jaksa Penuntut Umum dalam memeriksa tindak pidana kehutanan guna membantu Penyidik dalam pemberkasan, dan tak jarang pula ditemukan kurang memadainya pemahaman Jaksa Penuntut Umum terhadap aturan-aturan hukum yang dapat dipakai untuk menjerat pelaku tindak pidana lingkungan,
4. Lamanya proses pemeriksaan perkara hingga putusan hakim, sehingga sulit untuk memenuhi
5. Terbatasnya ahli di bidang lingkungan,
6. Masih ditemukannya sikap oknum yang arogan dengan kewenangan yang dimiliki, yang seharusnya masing-masing dapat memperbaiki kapasitasnya dan saling mendukung kelancaran setiap tahap penanganan perkara.
7. Adanya kecenderungan untuk saling menyalahkan antara satu aparat Kepolisian, Kejaksaan dan dinas sektoral atau pemerintah daerah, yang seharusnya mereka saling berkoordinasi dalam menegakkan hukum,
8. Kurang melibatkan para pakar yang ahli dalam bidang sektoral (yang terkait substansi kasus lingkungan), lingkungan hidup, korporasi dan lainnya yang seharusnya dilibatkan sejak awal pada tahap penyelidikan atau setidak-tidaknya pada tahap penyidikan guna membantu melakukan kajian atau audit lingkungan hidup guna membantu memberikan kesimpulan telah terjadinya pencemaran dan atau kerusakan lingkungan hidup, sebab pencemaran dan kerusakan lingkungan bisa mengganggu kelestarian fungsi lingkungan hidup,
9. Adanya backing dari oknum pejabat baik dari pemerintah daerah, dinas atau departemen (sektoral), oknum aparat keamanan, dan lain-lain, sehingga penegakan hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Selain hal yang dikemukakan di atas, juga terdapat perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan pejabat pengawas (penanganan di bidang administratif) dengan penanganan melalui sarana hukum pidana, diantaranya
1.      pejabat pemerintah (administratif) tidak banyak yang paham tentang hukum pidana
2. pejabat pemerintah (administratif) bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana dianggap sebagai hal yang mengganggu dan patut dihidari sebab mereka perlu waktu untuk untuk membina hubungan dengan dunia usaha tersebut, serta mereka takut kehilangan prestise atau kepercayaan dari kalangan dunia usaha, sehingga ada “keengganan” untuk kesediaan melaporkan terjadinya atau adanya tindak pidana lingkungan, apalagi ada kepentingan “politik” di dalamnya.
3. adanya pandangan yang menganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran hukum yang serius, kasus ini cukup diselesaikan secara administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan korporasi, selalu “dianggap” warga yang baik dan terpandang di mata masyarakat.
4. keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penyidik dalam menangani kasus yang berkaitan dengan korporasi, menjadikan penyidik merasa pekerjaan tersebut “berat” dan menjemukan (karena memerlukan pemikiran dan perhatian serta kemauan yang lebih), sehingga semangat untuk menangani perkara tersebut semakin lama semakin menurun, apalagi mendapatkan hambatan dalam membuktikan atau mencari alat-alat buktinya.
5. adanya “kebijakan” untuk membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu yang lama, karena penguasa (pemerintah) sedang (masih) melakukan “perundingan” dengan pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut.
6. adanya kecenderungan pihak penguasa (administratif) untuk melihat pelanggaran hukum lingkungan sebagai pelanggaran administratif, serta memandang penanganan secara hukum pidana tidak dapat mengambil suatu keputusan yang cepat, serta adanya kesulitan-kesulitan dalam pengambilan keputusan.

B.SARAN
            Saran kami kepada Pemerintah untuk kiranya lebih meningkatkan lagi dalam hal nya penegakan hukum lingkungan di Negara kita ini, sekiranya apa yg sudah di terbitkan dalam Undang-undang dapat ditegakkan dengan tegas berdasarkan peraturan dasar tersebut.
            Kepada masyarakat negeri ini dan terutama bagi mahasiswa/I sekiranya dapat menjaga dan melestarikan lingkungan sebagaimana yang sudah di atur di dalam undang-undang, dan agar sekiranya Ketidaktahuan masyarakat terhadap mekanisme penanganan tindak pidana lingkungan

Link download MAKALAH KLIK DI SINI