BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Perlindungan
konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis ang sehat. Dalam
kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan perlindungan hukum antara
konsumen dengan produsen. Tidak adana perlindungan yang seimbang menyebabkan
konsumen pada posisi yang lemah. Kerugian-kerugian yang dialami oleh konsumen
dapat timbul sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara
produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang
dilakukan oleh produsen.
Perjanjian-perjanjian
yang dilakukan antara para pihak tidak selamanya dapat berjalan mulus dalam
arti masing-masing pihak puas, karena kadang-kadang pihak penerima tidak
menerima barang atau jasa sesuai dengan harapannya. Wanprestasi salah satu
pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum
dalam perjanjian. Disamping wanprestasi, kerugian dapat pula terjadi di luar
hubungan perjanjian, yaitu jika perbuatan melanggar hukum, yang dapat berupa adanya
cacat pada barang atau jasa yang mengakibatkan kerugian pada konsumen, baik itu
karena rusaknya atau musnahnya barang itu sendiri, maupun kerusakan atau
musnahnya barang akibat cacat pada barang itu.
Hukum
perlindungan konsumen dewasa ini mendapat cukup perhatian karena menyangkut
aturan-aturan guna mensejahterakan masyarakat, bukan saja masyarakat selaku
konsumen saja yang mendapat perlindungan, namun pelaku usaha juga mempunyai hak
yang sama untuk mendapat perlindungan, masing-masing ada hak dan kewajiban
Pemerintah berperan mangatur, mengawasi, dan mengontrol, sehingga tercipta
sistem yang kondusif berkaitan satu dengan yang lain dengan demikian tujuan
menyejahterakan masyarakat secara luas dapat tercapai.
Di
Indonesia, gerakan perlindungan konsumen menggema dari gerakan serupa di
Amerika Serikat. YLKI yang secara populer dipandang sebagai perintis advokasi
konsumen di Indonesia berdiri pada kurun waktu itu, yakni 11 Mei 1973. Gerakan
di Indonesia ini termasuk cukup responsive terhadap keadaan, bahkan mendahului
Resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB (ECOSOC) No. 2111 Tahun 1978 tentang
Perlindungan Konsumen.
Perlindungan
konsumen harus mendapat perhatian yang lebih, karena investasi asing telah
menjadi bagian pembangunan ekonomi Indonesia, di mana ekonomi Indonesia juga
telah berkait dengan ekonomi dunia. Persaingan perdagangan internasional dapat
membawa implikasi negative bagi perlindungan konsumen.
Pada
masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk ekspor-impor dan penanaman
modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak
pembuatan barang, waralaba, imbal beli, turnkey project, alih teknologi,
aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, dan lain-lain.
B. Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan aspek keperdataan?
2. Apa
yang dimaksud dengan aspek product liability?
3. Apa
yang dimaksud dengan aspek hukum publik?
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan
Pustaka
·
Konsumen
Istilah
konsumen berasal dari alih bahasa dari kata consumer (Inggris-Amerika), atau
consument/konsument (Belanda). Pengertian dari consumer atau consument itu
tergantung dalam posisi mana ia berada. Secara harafiah arti kata consumer
adalah (lawan dari produsen) setiap orang yang menggunakan barang.[1]
Pengertian
konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diajukan oleh
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu[2]:
“
Konsumen adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi
kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk
diperdagangkan kembali.”
Sedangkan
konsumen menurut naskah final Rancangan Akademik Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen yang disusun oleh Fakultas Hukum Universitas Indonesia,
konsumen adalah setiap orang atau keluarga yang mendapatkan barang untuk
dipakai dan tidak untuk diperdagangkan.[3]
Sebagai
akhir dari usaha pembentukan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, adalah dengan
lahirnya UUPK, yang di dalamnya dikemukakan pengertian konsumen, sebagai
berikut:
“Konsumen
adalah setiap orang pemakai barang/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat,
baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup
lain dan tidak untuk diperdagangkan.”[4]
·
Produsen
Istilah
produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa inggris,
producer yang artinya adalah penghasil. Pengertian yang luas mengenai produsen
terdapat dalam UUPK, namun istilah produsen sebagai lawan dari isrilah
konsumen, melainkan pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha dalam UUPK adalah
sebagai berikut:[5]
“Pelaku
Usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk bdan hukum maupun bukan badan
hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah
hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui
perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.”
Sementara
Pasal 1 butir 5[6]
memberikan batasan yang hampir tidak ada perbedaan berarti dari pengertian yang
dikandung UUPK. Adapun pengertian tersebut dapat dilihat seperti berikut:
“Pelaku
usaha adalah setiap orang perorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk
badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau
melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Republik Indonesia, baik sendiri maupun
bersama-sama melalui perjanjian, menyelenggarakan berbagai kegiatan usaha dalam
bidang ekonomi.”
Pasal
3 ayat (2) Directive menyebutkan bahwa: siapa pun yang mengimpor suatu
produk ke lingkungan EC adalah produsen. Ketentuan ini sengaja dicantumkan
untuk melindungi konsumen dari kemungkinan harus menggugat produsen asing (yang
pusat kegiatannya) di luar lingkungan EC.
B. Isi
A. ASPEK-ASPEK
KEPERDATAAN
Yang
dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum
dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun
hukum perdata tidak tertulis (hukum adat).
Kaidah-kaidah
hukum yang mengatur hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia
barang dan/atau penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat
dalam:
1) KUH
Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat,
2) KUHD,
Buku kesatu dan Buku kedua,
3) Berbagai
peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat
perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia
barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa
hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/atau
penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut:
1. Hal-Hal
yang Berkaitan dengan Informasi
Bagi
konsumen, informasi tentang barang dan/atau jasa merupakan kebutuhan pokok,
sebelum ia menggunakan sumber dananya (gaji, upah, honor atau apa pun nama
lainnya) untuk mengadakan transaksi konsumen dimaksudkan diadakannya hubungan
hukum (jual beli, beli-sewa, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, dan sebagainya)
tentang produk konsumen dengan pelaku usaha itu.
Informasi
dari kalangan pemerintah dapat diserap dari berbagai penjelasan, siaran,
keterangan, penyusun peraturan perundang-undangan secara umum atau dalam rangka
deregulasi, dan/atau tindakan pemerintah pada umumnya atau tentang suatu produk
konsumen. Dari sudut penyusunan peraturan perundang-undangan terlihat informasi
itu termuat sebagai suatu keharusan. Beberapa diantranya, ditetapkan harus
dibuat, baik secara dicantumkan pada maupun dimuat di dalam wadah atau
pembungkusnya (antara lain label dari produk makanan dalam kemasan). Sedang
untuk produk hasil industri lainnya, informasi tentang produk itu terdapat
dalam bentuk standar yang ditetapkan oleh pemerintah, standar internasional,
atau standar lain yang ditetapkan oleh pihak yang berwenang.
2. Beberapa
Bentuk Informasi
Di
antara berbagai informasi tentang barang atau jasa konsumen yang diperlukan
konsumen, tampaknya yang paling berpengaruh pada saat ini adalah informasi yang
bersumber dari kalangan pelaku usaha. Terutama dalam bentuk informasi pengusaha
lainnya.
Iklan
adalah bentuk informasi yang umumnya bersifat sukarela, sekalipun pada
akhir-akhir ini termasuk juga yang diatur di dalam Undang-Undang tentang
Perlindungan Konsumen (pasal 9, 10, 12, 13, 17, dan pasal 20).
a. Tentang
Iklan
KUHPerdata
(Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dan/atau KUHD (Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang), keduanya diumumkan pada tanggal 30 April 1847 dalam Staasblad no. 23
dengan segala tambahan dan/atau perubahannya, tidak memberikan pengertian
dan/atau memuat kaidah-kaidah tentang periklan.
Menurut
ketentuan dari UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 9 ayat
(1) berbunyi:
Pelaku
usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, meng-iklankan suatu barang dan/atau
jasa secara tidak benar dan/atau seolah-olah… dan seterusnya.
Sayangnya
dalam undang-undang ini tidak dicantumkan apa yang dimaksud dengan ikaln. Yang
terdapat dalam perundang-undangan ini hanyalah berbagai larangan dan suruhan
berkaitan dengan periklanan saja. Departemen Kesehatan menetapkan sebagai
“iklan adalah usaha dengan cara apa pun untuk meningkatkan penjualan, baik
secara langsung maupun tidak langsung”.[7]
Adapun
sistem penyiaran nasional pasal 1 butir (5) merumuskan siaran iklan adalah siaran
informasi yang bersifat komersial dan layanan masyarakat tentang
tersedianya jasa, barang, dan gagasan yang dapat dimanfaatkan oleh khalayak
dengan atau tanpa imbalan kepada lembaga penyiaran yang bersangkutan.[8]
Pasal 1 butir (6) menyatakan siaran iklan niaga adalah siaran iklan komersial
yang disiarkan melalui penyiaran radio atau televisi dengan tujuan
memperkenalkan, memasyarakatkan, dan/atau mempromosikan barang atau jasa kepada
khalayak sasaran untuk memengaruhi konsumen agar menggunakan produk yang
ditawarkan .
Mengenai
perilaku periklanan yang lengkap diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang No. 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, adalah sebagai berikut:
1) Pelaku
usaha periklanan dilarang memproduksi iklan yang:
a. Mengelabui
konsumen mengenai kualitas, kuantitas, bahan, kegunaan, dan harga barang
dan/atau tariff jasa serta ketepatan waktu penerimaan barang dan/atau jasa,
b. Mengelabui
jaminan/garansi terhadap barang dan/atau jasa,
c. Memuat
informasi yang keliru, salah, atau tidak tepat mengenai barang dan/atau jasa,
d. Tidak
memuat informasi mengenai risiko pemakaian barang dan/atau jasa,
2) Pelaku
usaha periklanan dilarang melanjutkan peradaran iklan yang telah melanggar
ketentuan pada ayat (1).
b. Tentang
Label
Informasi
produk konsumen yang bersifat wajib ini, ditetapkan dalam berbagai peraturan
perundang-undangan. Pengaturan tentang informasi yang disebut dengan berbagai
istilah seperti penandaan, label, atau etiket. Mengenai Pasal 30 ayat (2) e
dalam penjelasan Undang-Undang Pangan[9]
disebutkan bahwa keterangan halal untuk suatu produk pangan sangat penting bagi
masyarakat Indonesia yang mayoritas memeluk agama islam. Ketentuan tersebut
terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Namun pencantumannya pada
label pangan baru merupakan kewajiban apabila setiap orang yang memproduksi
pangan dan/atau memasukkan pengan ke dalam wilayah Indonesia untuk
diperdagangkan menyatakan bahwa pangan yang bersangkutan adalah halal bagi umat
islam.
Konsumsi
daging bagi konsumen di Indonesia yang mayoritas beragama Islam, walaupun
secara ilmiah daging tersebut sehat dikonsumsi, namun konsumen yang beragama
Islam masih memebutuhkan persyaratan lain yang dapat menentramkan hatinya. Hal
ini harus diperhatikan, karena salah satu keharusan bagi importer dan/atau
pengedar daging yang berasal dari luar negeri adalah mencegah timbul dan
menjalarnya penyekit hewan yang dapat ditularkan melalui daging yang diimpor
dan/atau diedarkannya, serta ikut bertanggung jawab atas keamanan dan ketentram
batin konsumen. Untuk menjaga ketentraman batin konsumen tersebut, maka
pemasukan daging untuk konsumsi umum atau diperdagangkan harus berasal dari
ternak yang pemotongannya dilakukan menurut syariat islam dan dinyatakan dalam
sertifikat halal.
Salah
satu contoh pemberian informasi untuk kepentingan konsumen yang beragama Islam
adalah adanya ketentuan bahwa:
1) Pada
wadah atau bungkus makanan yang diproduksi di dalam negeri maupun yang berasal
dari impor yang yang mengandung bahan yang berasal dari babi harus dicantumkan
tanda peringatan
2) Tanda
peringatan tersebut yang dimaksud ayat (1) harus berupa gambar babi dan tulisan
yang berbunyi: “MENGANDUNG BABI” dan harus ditulis dengan huruf besar berwarna
merah dengan ukuran sekurang-kurangnya univers medium corp 12.
UU
Barang, UU No 10 Tahun 1961, memberikan informasi tentang barang. Pasal 2 ayat
(4) UU ini menentukan:
Pemberian
nama dan/atau tanda-tanda yang menunjukkan asal, si fat, susunan bahan, bentuk
banyaknya dan/atau kegunaan barang-barang yang baik diharuskan maupun tidak
diperbolehkan dibubuhkan atau diletakkan pada barang pembungkusnya, tempat
barang-barang itu diperdagangkan dan alat-alat reklame, pun cara pembubuhan
atau, meletakkan nama dan/atau tanda-tanda itu.
Perbuatan-perbuatan
yang bertentangan dengan atau melanggar ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan ini, dapat dikenakan ketentuan pidana ekonomi. Baik produk
makanan, maupun obat diwajibkan mencantumkan label pada wadah atau
pembungkusnya. Ketentuan tentang tindakan perlindungan kesehatan manusia tidak
hanya berlaku terhadap produk impor, namun juga terhadap produk pangan lokal,
sehingga setiap orang dilarang mengadakan kegiatan atau proses produksi,
penyimpanan, pengangkutan, dan/atau peredaran pangan dalam keadaan yang tidak
memenuhi persyaratan sanitasi.
Keterangan
yang harus dimuat pada label/etiket tersebut ditetapkan (Pasal 7 ayat (1) dan
(2) terdiri atas:
-
Nama makanan dan/atau merk dagang,
-
Komposisi, kecuali makanan yang cukup
diketahui komposisinya secara umum,
-
Isi netto,
-
Nama dan alamat perusahaan yang
memproduksi atau mengedarkan,
-
Nomor pendaftaran,
-
Kode produksi,
-
Untuk jenis makanan tertentu yang
ditetapkan oleh menteri kesehatan, harus dicantumkan tanggal kadaluarsa, nilai
gizi, petunjuk penggunaan dan cara penyimpanannnya.
Masa
daluwarsa suatu produk (tanggal, bulan dan tahun) dicantumkan pada label
makanan dimaksudkan agar konsumen mendapat informasi yang jelas mengenai produk
yang dibelinya atau dikonsumsinya. Akan tetapi tanggal yang biasanya tercantum
pada label produk tersebut tidak hanya masa daluwarsa, namun tanggal-tanggal
lain. Beberapa jenis tanggal pada label adalah:
a. Diproduksi
atau dikemas tanggal.. (manufacturing or packing date),
b. Dijual
paling lama tanggal.. (sell by date),
c. Digunakan
paling lama tanggal.. (use by date),
d. Sebaiknya
digunakan sebelum tanggal.. (date of minimum durability) atau (best
before).
Berkaitan
dengan pencantuman tanggal daluwarsa pada label suatu produk, perlu mendapat
perhatian agar tidak terjadi salah pengertian, karena tanggal daluwarsa
tersebut bukan merupakan batas mutlak suatu produk dapat digunakan atau
dikonsumsi, karena tanggal daluwarsa tersebut hanya merupakan perkiraan
produsen berdasarkan studi atau pengamatannya, sehingga barang yang sudah
dilewati masa daluwarsa pun masih dapat dikonsumsi sepanjang dalam kenyataanya
produk tersebut masih aman untuk dikonsumsi, sebaliknya, suatu produk dapat
menjadi rusak atau berbahaya untuk dikonsumsi sebelum tanggal daluwarsa yang
tercantum pada label tersebut.
Perbuatan
mengedarkan makanan tanpa label sebagaimana dimaksudkan dalam peraturan Menteri
Kesehatan tersebut dinyatakan dilarang dan dapat diancam dengan sanksi-sanksi
sebgaimana termuat dalam KUHP dan/atau tindakan administrative berupa penarikan
nomor daftar produk itu dan/atau tindakan lain berdasarkan perundang-undangan
yang berlaku. Perbuatan mengedarkan makanan tanpa label dinyatakan sebagai
tindak pidana pelanggaran dengan ancaman pidana kurungan maksimum satu tahun
dan/atau denda maksimum Rp. 15.000.000,00 (Pasal 84 jo. Pasal 85).
c. Hal-Hal
yang Berkaitan dengan Perikatan
Sistem
hukum perdata mengenal asas kebebasan berkontrak, sebagaimana dianut di dalam
KUHPerdata. Asas ini disebut dengan freedom of contract atau laissez
faire, yang di dalam Pasal 1338 KUHPerdata dinyatakan, semua perjanjian
yang dibuat secara sah, berlaku halnya sebagai undang-undang bagi mereka yang
membuatnya.
Perjanjian
mempunyai kekuatan mengikat, sama kekuatannya dengan undang-undang, bagi mereka
yang melakukan perjanjian. Dalam KUHPerdata Buku ke-III, tentang Perikatan,
termuat ketentuan-ketentuan tentang subjek-subjek hukum dari perikatan,
syarat-syarat perikatan, tentang resiko-resiko jenis perikatan tertentu,
syarat-syarat pembatalannya, dan berbagai bentuk perikatan yang dapat diadakan
(Pasal 1233). Perjanjian berlaku bagi pihak yang melakukan perjanjian itu,
mempunyai konsekuensi bahwa hanya kepada pihak yang ikut melakukan perjanjian
itulah berlaku perjanjian itu.
Dengan
demikian, pihak ketiga atau pihak luar tidak dapat menuntut suatu hak berdasarkan
perjanjian yang dilakukan pihak-pihak yang melakukan perjanjian tersebut.
Berlakunya perjanjian hanya kepada pihak-pihak yang melakukan suatu perjanjian
disebut dengan privities of contract. Dapat diartikan kira-kira bahwa
perjanjian tersebut hanya merupakan kepentingan ptivat atau ptibadi dari
pihak-pihak pembuat perjanjian itu saja. Perikatan yang terjadi karena
undang-undang, baik karena undang-undang maupun
sebagai akibat perbuatan seseorang.
Namun
kendati asas kebebasan berkontrak dijamin di dalam hukum perdata, suatu
perjanjian dapat dibatasi oleh kaidah-kaidah tertentu, sebagaimana dapat
dilihat di dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Dikatakan pasal ini bahwa sahnya suatu
perjanjian, apabila didasarkan kepada:[10]
1. Kesepakatan
dari mereka yang mengikat diri (agreement),
2. Kecakapan
dari pihak-pihak (capacity),
3. Mengenai
hal tertentu (certainty of terms),
4. Suatu
sebab yang halal (consideration).
Dalam
perikatan yang timbul karena perjanjian, tidak dipenuhi atau dilanggarnya
butir-butir perjanjian itu, setelah dipenuhinya syarat tertentu, dapat
mengakibatkan terjadinya cedera janji (wanprestatie). Perbuatan cedera
janji ini memberikan hak pada pihak yang dicederai janji untuk menggugat ganti
rugi berupa biaya, kerugian, dan bunga (Pasal 1236 dalam hal perjanjian
memberikan sesuatu, Pasal 1239, dan Pasal 1242 dalam hal perjanjian berbuat
atau tidak berbuat sesuatu, Pasal 1234, 1244, 1246) dan seterusnya.
Kerugian-kerugian itu selain dari biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah
dikeluarkan, kerugian yang telah dialami, juga termasuk keuntungan
(winstderving) yang diharapkan yang tidak diterima karena perbuatan ingkar
janji tertentu.
Apabila
seseorang dirugikan karena perbuatan seseorang lain, sedang diantara mereka itu
terdapat sesuatu perjanjian (hubungan hukum perjanjian), maka berdasarkan
undang-undang dapat juga timbul atau terjadi hubungan hukum antara prang
tersebut dan orang yang menimbulkan kerugian itu. Pasal 1365 KUHPerdata
berbunyi:
“setiap
perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian pada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian itu.”
Kesepakatan
yang dibuat secara semu atau tidak murni harus dianggap batal secara yuridis.
Pasal 1321 KUHPerdata menentukan persetujuan, yang bersifat semu atau tidak
murni ialah persetujuan yang dibuat karena adanya kesilapan (dwaling, mistake),
adanya paksaan (dwang, duress), dan adanya penipuan (bedrog,
misrepresentation).
B. ASPEK
PRODUCT LIABILITY
Ø Pengertian
Product Liability
Istilah
dan defenisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah
peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering
diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung
jawab produsen. Mengenai pengertiannya, para pakar memberikan penekanan dan
lingkup yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai definisi di
bawah ini.
NE
Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai
berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya,
misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau
keamanan produk.
Agnes
m Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang
dibawanya ke dalam peradaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang
melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai barang, baik
yang bergerak maupun tidak bergerak.
Endang
Saefullah memperluas cakupan dari yang disebut dengan pengertiannya sebagai
berikut:
“product
liability adalah tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan
yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.”
Menurut
Johannes Gunawan tujuan utama dari dunia hukum memperkenalkan product
liability adalah:
a. Memberikan
perlindungan kepada konsumen
b. Agar
terdapat pembebanan risiko yang adil antara produsen dan konsumen.
Ø Dari
Kewajiban kepada Tanggungjawab
a. Kewajiban
karena UU
Berbicara
tentang tanggung jawab pelaku usaha, maka terlabih dahulu harus dibicarakan
mengenai kewajibannya. Dari kewajiban (duty, obligation) akan lahir
tanggung jawab. Tanggung jawab timbul karena seseorang atau suatu pihak
mempunyai suatu kewajiban, termasuk kewajiban karena undang-undang dan hukum.
Dalam
kaitan UUPK, produsen berkewajiban untuk beritikad baik dalam aktivitas
produksinya (Pasal 7 butir a UUPK). Rumusnya mengandung suatu keharusan atau
kewajiban yang tidak boleh tidak harus dilaksanakan. Dari sudut hukum
perikatan, terdapat suatu unsur kewajiban yang harus dipenuhi untuk
melaksanakan suatu prestasi. Pasal 1234 KUHPerdata menetukan, tiap-tiap
perikatan bertujuan:
1. Memberikan
sesuatu,
2. Berbuat
sesuatu,
3. Tidak
bernuat sesuatu.
Prestasi
dalam tiga bentuk di atas, merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan
penyandang perjanjian. Kewajiban melaksanakan macam-macam prestasi di atas,
tidak hanya karena adanya perikatan bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian.
Lebih dari itu, perikatan juga lahir dari undang-undang atau hukum (Pasal 1233
KUHPerdata). Setiap orang yang mengalami kerugian, berhak mengajukan tuntutan
kompensasi/ganti rugi kepada pihak yang melakukan perbuatan itu. Kompensasi
tersebut, menurut pasal 19 ayat 2 meliputi:
-
Pengembalian sejumlah uang,
-
Penggantian barang atau jasa yang sejenis
atau yang setara,
-
Perawatan kesehatan,
-
Pemberina santunan sesuai ketentuan
perundang-undangan.
b. Kewajiban
Produk
Merujuk
UUPK, jika suatu produk merugikan konsumen, maka produsen bertanggung jawab
untuk mengganti kerugian yang diderita konsumen. Kewajiban itu tetap melekat
pada produsen meskipun antara pelaku dan korban tidak terdapat perserujuan
terlebih dahulu.
Penjual
berkewajiban menenggung penderitaan korban berdasarkan perbuatan melawan hukum,
sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHPerdata. Kewajiban lebih
merupakan rumusan abstarak yang melahirkan tanggung jawab sementara tanggung
jawab merupakan sikap konkret. Harus diingat pula, tidak selamanya rumusan
tentang kewajiban dan tanggung jawab secara eksplisit menggunakan kata
kewajiban ataupun tanggung jawab.
Ø Kewajiban
mengenai Persyaratan Produk
Dalam
UUPK aturan mengenai hak dan kewajiban konsumen dan hak produsen selaku pelaku
usaha dirumuskan dalam Bab III, butir-butir kewajiban pelaku usaha yang
tercantum dalam Pasal 7 di atas mengatur kewajiban produk dari pelaku usaha.
Sebelum UUPK berlaku, sudah dibuat beberapa ketentuan mengenai kewajiban pelaku
usaha untuk mentaati persyaratan atas produk-produk (barang dan jasa) yang
dibuatnya. Hal itu bisa kita lihat dalam UU No 2 Tahun 1966 tentang Hygiene, UU
No 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No 7 Tahun 1996 tentang Pangan atau
dalam PP No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan.
C. ASPEK
HUKUM PUBLIK
Dengan
hukum public dimaksudkan hukum yang mengatur gubungan antara Negara dan
alat-alat perlengkapannya atau hubungan Negara dengan perorangan. Termasuk
hukum public dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan
konsumen, adalah hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara perdata,
dan/atau acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata
internasional.
1. Hukum
Pidana
Pengaturan
hukum positif dalam lapangan hukum pidana secara umum terdapat dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana. Kriminalisasi di bidang konsumen sebelum berlakunya
UUPK No 8 Tahun 1999 sudah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan.
Indonesia merdeka, melalui Undang-Undang No. 1 Tahun 1946, kitab undang-undang
itu lalu diadopsi secara total. Karena perkembangan politik, adopsi
undang-undang ang semula bertujuan untuk unifikasi itu, tidak mencapai
tujuannya.
Hukum
pidana sendiri termasuk dalam kategori hukum publik. Dalam kategori ini
termasuk pula hukum adminitrasi Negara, hukum acara, dan hukum internasional.
di antara semua aspek hukum publik itu, yang paling banyak menyangkut
perlindungan konsumen adalah hukum pidana dan hukum administrasi Negara.
Dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak disebut kata “konsumen”. Secara implicit
dapat ditarik beberapa pasal yang memberikan perlindungan hukum bagi konsumen,
antara lain:
1. Pasal
204: Barang siapa menjual, menawarkan, menyerahkan atau membagi-bagikan barang,
yang diketahui bahwa membahayakan nyawa atau kesehatan orang, padahal sifat
berbahaya itu tidak diberitahukan, diancam, dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun.
Jika
perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidan penjara
seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu paling lama dua puluh
tahun.
2. Pasal
205: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan bahwa barang-barang yang
berbahaya bagi nyawa atau kesehatan orang dijual, diserahkan atau
dibagi-bagikan, tanpa diketahui sifat berbahayanya oleh yang membeli atau yang
memperoleh, diancam dengan pidana paling lama Sembilan bulan atau kurungan
paling lama enam bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
Jika
perbuatan mengakibatkan matinya orang, yang bersalah dikenakan pidana paling
lama satu tahun empat bulan atau kurungan paling lama satu tahun. Barang-barang
itu dapat disita.
3. Pasal
382: Barang siapa menjual, menawarkan atau menyerahkan makanan, minuman atau
obat-obatan yang diketahui bahwa itu palsu, dan menyembunyikan hal itu, diancam
dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
Bahan
makanan, minuman atau obat-obatan itu palsu, jika nilainya atau faedahnya
menjadi kurang karena dicampur dengan sesuatu bahan lain.
4. Pasal
359: Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam
dengan pidan penjara paling lama tahun atau kurungan paling lama satu tahun (LN
1906 No. 1).
5. Pasal
383: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang
penjual yang berbuat curang terhadap pembeli: (1) karena sengaja menyerahkan
barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli, (2) mengenai jenis keadaan
atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.
Di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
terdapat banyak sekali ketentuan pidana yang beraspekkan perlindungan konsumen.
Lapangan pengaturan yang paling luas kaitannya dengan hukum perlindungan
konsumen terdapat pada bidang kesehatan. Termasuk dalam kelompok ini dalah
Undang-Undang No. 7 Tahun 1996 tentang Pangan, yang berlaku sejak 4 November
1996. Selain itu juga dalam pengaturan hak-hak atas kekayaan intelektual (intellectual
property rights), seperti hak cipta, paten, dan hak atas merek, dewasa
ini diberi perhatian yang cukup besar,
khusunya dari sudut penerapan sanksi pidananya. Tindak pidan berupa pembajakan
hak cipta, misalnya sekarng diubah dari delik aduan menjadi delik biasa.
Kecenderungan seperti yang terjadi dalam
hukum bidang hak atas kekayaan intelektual ini seharusnya mulai diantisipasi.
Seandainya tidak tertampung dalam undang-undang yang bersifat khusus dan
sektoral seperti di atas, dapat diakamodasikan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang menurut rencana akan segera diperbarui.
2. Hukum
Administrasi Negara
Seperti
halnya hukum pidana, hukum administrasi adalah instrument publik yang paling
penting dalam perlindungan konsumen. Sanksi-sanksi hukum secara perdata dan
pidana seringkali kurang efektif jika tidak disertai sanksi administrative.
Sanksi administratif tidak ditujukan pada konsumen pada umumnya, tetapi justru
kepada pengusaha, baik itu produsen maupun para penyalur hasil-hasil produknya.
Sanksi administratif berkaitan dengan perizinan yang diberikan. Pemerintah RI
kepada pengusaha/penyalur tersebut. Jika terjadi pelanggaran, izin-izin itu
dapat dicabut secara sepihak oleh Pemerintah.
Pencabutan
izin hanya bertujuan menghentikan proses produksi dari produsen/penyalur.
Produksi disini harus diartikan secara luas, dapat berupa barang atau jasa.
Dengan demikian, dampaknya secara tidak langsung berarti melindungi konsumen
pula, yakni mencegah jatuhnya lebihn banyak korban. Campur tangan administrator
Negara idealnya harus dilatarbelakangi itikad melindungi masyarakat luas dari
bahaya. Pengertian bahaya di sini terutama berkenaan dengan kesehatan dan jiwa.
Itulah sebabnya, sejak prakemerdekaan, peraturan-peraturan tentang produk
makanan, obat-obatan, dan zat-zat kimia, diawasi secara ketat. Syarat-syarat
pendirian perusahaan yang bergerak di bidang tersebut dan pengawasan terhadap
proses produksinya dilakukan ekstra hati-hati. Sanksi administratif ini
seringkali efektif dibandingkan dengan sanksi perdata atau pidana. Ada beberapa
alas an yang mendukung pernyataan ini:
1. Sanksi
administrative dapat diterapkan secara langsung dan sepihak. Dikatakan demikian
karena penguasa sebagai pihak sebagai pihak member izin tidak perlu meminta
persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun. Persetujuan kalaupun itu
dibutuhkan, mungkin dari instansi-instansi Pemerintah terkait.
2. Sanksi
perdata dan/atau pidana acapkali tidak membawa efek “jera” bagi pelakunya.
Nilai ganti rugi dan pidana yang dijatuhkan mungkin tidak seberapa dibandingkan
dengan keuntungan yang diraih dari perbuatan negative produsen.
Walaupun
secara teoretis instrument hukum administarsi Negara ini cukup efektif, tetap
ada kendala penerapannya. Contohnya adalah ketentuan yang tercantum dalam
Undang-Undang no. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Sanksi
administratif terhadap perusahaan-perusahaan yang mencemari lingkungan masih
teramat jarang dilakukan. Ketentuan hukum administrasi, misalnya menetukan
bahwa: Pemerintah melakukan pengaturan dan pembinaan rumah susun dan pengawasan
terhadap pelaksanaan undang-undang.
Selanjutnya
dalam Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang No, 23 Tahun 1992, Pasal 72
ditentukan:
Pemerintah
melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan yang berkaitan dengan
penyelenggaraan upaya kesehatan.
Dari
perundang-undangan di atas terlihat beberapa department dan/atau lembaga
pemerintah tertentu yang menjalankan tindakan administrative berupa pengawasan
dan pembinaan terhadap pelaku usaha dengan perilaku tertentu dalam melaksanakan
perundang-undangan tersebut.
3. Hukum
Transnasional
Sebutan “hukum transnasional” mempunyai
dua kontasi. Pertama, hukum transnasional yang berdimensi perdata, yang lazim
disebut hukum perdata internasional. Kedua, hukum internasional yang berdimensi
publik, yang biasanya dikenal sebagai hukum internasional publik. Hukum
internasional (publik) sering dinilai sebagai intrumen yang “mandul” dalam
menangani banyak kasus hukum yang berdimensi lintas Negara. Kepentingan
nasional masing-masing Negara kerapkali membuatnya harus menjadi “macan kertas”
yang dengan sendirinya tidak bergigi dan tidak mempunyai kekuatan memaksa.
Salah satu resolusi yang pernah
dicetuskan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah tentang Perlindungan Konsumen
Terakhir, masalah ini dimuat dalam Resolusi No. 39/248 tahun 1985. Di dalam Guidelines
for Consumer Pontection (Bagian II tentang Prinsip-Prinsip Umum) dinyatakn
hal-hal apa saja yang dimaksud dengan kepentingan konsumen itu:
1. Perlindungan
konsumen dari bahaya-bahaya terhadap kesehatan dan keamanannya.
2. Promosi
dan perlindungan dari kepentingan sosial ekonomi konsumen.
3. Tersedianya
informasi yang memadai bagi konsumen untuk memberikan mereka kemampuan
melakukan pilihan yang tepat sesuai kehendak dan kebetuhan pribadi.
4. Pendidikan
konsumen
5. Tersedianya
upaya ganti rugi yang efektif
6. Kebebasan
untuk membentuk organisasi konsumen atau organisasi lainnya yang relevan dan
memberikan kesempatan dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka.
Organisasi
yang membawa misi perlindungan hak-hak konsumen secara bijak menyadari betapa
kondisi suatu Negara tidak selalu mampu menampung kepentingan konsumen itu ke
dalam perangkat hukum positifnya. Kendati demikian, jika prinsip-prinsip umum
Resolusi No. 39/248 Tahun 1985 itu di hormati, paling tidak hak-hak konsumen di
Negara yang bersangkutan akan memperoleh pehatian secara memadai.
BAB
III
PENUTUP
1. Kesimpulan
A. Yang
dimaksudkan hukum perdata yakni dalam arti luas, termasuk hukum perdata, hukum
dagang serta kaidah-kaidah keperdataan yang termuat dalam berbagai peraturan
perundang-undangan lainnya. Kesemuanya itu baik hukum perdata tertulis maupun
hukum perdata tidak tertulis (hukum adat). Kaidah-kaidah hukum yang mengatur
hubungan dan masalah hukum antara pelaku usaha penyedia barang dan/atau
penyelenggara jasa dengan konsumennya masing-masing termuat dalam:
1. KUH
Perdata, terutama dalam Buku kedua, ketiga, dan keempat,
2. KUHD,
Buku kesatu dan Buku kedua,
3. Berbagai
peraturan perundang-undangan lain yang memuat kaidah-kaidah hukum bersifat
perdata tentang subjek-subjek hukum, hubungan hukum dan masalah antara penyedia
barang atau penyelenggara jasa tertentu dan konsumen.
Beberapa
hal yang dinilai penting dalam hubungan konsumen dan penyedia barang dan/atau
penyelenggara jasa (pelaku usaha) antara lain sebagai berikut:
a. Hal-Hal
yang Berkaitan dengan Informasi
b. Beberapa
Bentuk Informasi
B. Istilah
dan defenisi product liability di kalangan para pakar dan sejumlah
peraturan diartikan secara berbeda-beda. Product liability sering
diistilahkan dengan tanggung gugat produk, tanggung jawab produk, atau tanggung
jawab produsen. Mengenai pengertiannya, para pakar memberikan penekanan dan
lingkup yang bervariasi sebagaimana dapat dilihat dalam berbagai definisi di
bawah ini.
NE
Algra & HR HWR Gokkel memberikan definisi product liability sebagai
berikut: tanggung jawab pemilik pabrik untuk barang-barang yang dihasilkannya,
misalnya yang berhubungan dengan kesehatan pembeli, pemakai (konsumen) atau
keamanan produk.
Agnes
m Toar mengartikannya sebagai tanggung jawab produsen untuk produk yang
dibawanya ke dalam peradaran, yang menimbulkan kerugian karena cacat yang
melekat pada produk tersebut. Agnes menafsirkan produk sebagai barang, baik
yang bergerak maupun tidak bergerak.
Endang
Saefullah memperluas cakupan dari yang disebut dengan pengertiannya sebagai
berikut:
“product
liability adalah tanggung jawab secara hukum dari orang atau badan yang
menghasilkan suatu produk (producer, manufacture) atau dari orang atau badan
yang menghasilkan suatu produk atau dari orang atau badan yang menjual atau
mendistribusikan produk tersebut.”
C. Dengan
hukum publik dimaksudkan hukum yang mengatur gubungan antara Negara dan
alat-alat perlengkapannya atau hubungan Negara dengan perorangan. Termasuk
hukum public dalam kerangka hukum konsumen dan/atau hukum perlindungan
konsumen, adalah hukum administrasi Negara, hukum pidana, hukum acara perdata,
dan/atau acara pidana dan hukum internasional khususnya hukum perdata
internasional.
2. Saran
A. Perlindungan
hukum bagi konsumen di Indonesia, walaupun telah mengalami kemajuan, terutama
setelah lahirnya UUPK, namun masih perlu adanya langkah peningkatan, terutama
aspek-aspek yang diatur secara tegas dalam UUPK, sehingga akan semakin
mendekati berbagai perinsip yang memberikan perlindungan konsumen di Negara
maju.
B. Demikian
pula kekurangan-kekurangan dalam UUPK agar segera direvisi, dengan tetap
mengacu pada tiga prinsip perlindungan hukum bagi konsumen di Indonesia, serta
melengkapi peraturan-peraturan pelaksanaan dari UUPK, agar konsumen betul-betul
dapat menikmati perlindungan hukum sebagaimana yang diharapkan.
C. Untuk
menghindari adanya tuntutan dari Negara anggota WTO lainnya, maka perlu untuk
menyesuaikan ketentuan perundang-undangan yang menyimpang dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam WTO, tidak hanya mengubah peraturan
perundang-undangan yang ada.
DAFTAR
PUSTAKA
Kristiyanti,
Cellina Tri Siwi. Hukum Perlindungan Konsumen, Sinar Grafika, Jakarta.
2009
Miru,
Ahmadi. Prinsip-prinsip Perlindungan Bagi Konsumen Di Indonesia, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta. 2011
Siahaan,
N.H.T. Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen Dan Tanggung Jawab Produk,
Penerbit Panta Rei, Jakarta. 2005
UU
No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen
[1]
Celina Tri Siwi Kristiyanti, SH, M.Hum, Hukum Perlindungan Konsumen,
Sinar Grafika, Jakarta, 2009, hlm 22
[2]
Yayasan Lembaga Konsumen, Perlindungan Konsumen Indonesia, Suatu Sumbangan
Pemikiran tentang Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, Jakarta:
Yayasan lembaga Konsumen, 1981, hlm 2.
[3]
Prof. Dr. Ahmadi Miru, SH, MH, Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi
Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 20
[4]
UUPK No.8 Tahun 1999 pasal 1 ayat 2.
[5]
Pasal 1 ayat 3 UUPK.
[6] UU
LPM PUTS
[7]
Peraturan Menteri Kesehatan No. 329 Tahun 1976 pasal 1 butir 13
[8]
Undang-undang No 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran
[9]
Undang-Undang Pangan adalah Undang-Undang nomor 7 tahun 1996, yang diundangkan
pada tanggal 4 November 1996, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996
Nomor 99. (Prof. Dr. Ahmadi Miru SH, MH., Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum
Bagi Konsumen Di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakrta, 2011
[10]
N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen Perlindungan Konsumen dan Tanggung Jawab
Produk, Panta Rei, Jakarta, 2005, hlm 100
UNTUK MENDOWNLOAD MAKALAH INI SILAKAN KLIK LINK DI BAWAH KARNA SUDAH DALAM BENTUK .doc
Link file download nya bisa di KLIK di SINI
PASSWORD : ripank
Jika berkenan Silakan Baca Artikel yang lain nya.
PASSWORD : ripank
Jika berkenan Silakan Baca Artikel yang lain nya.