K O N V E R S I
HAK – HAK ATAS TANAH
- Pengertian dan Prinsip Konversi
Kata ‘konversi’ berasal
dari bahasa latin convertera yang berarti membalikan atau mengubah nama dengan
pemberian nama baru atau sifat baru sehingga mempunyai isi dan makna yang baru.
Sedangkan pengertian konversi dalam hukum agraria adalah perubahan hak lama
atas tanah menjadi hak baru. Yang dimaksud dengan hak-hak lama adalah hak-hak
atas tanah sebelum berlakunya UUPA, dan yang dimaksud dengan hak-hak baru
adalah hak-hak yang memuat UUPA khususnya Pasal 16 ayat 1, c.q Hak Milik, Hak
Guna Bangunan, Hak Guna Usaha dan Hak Pakai.[1]
Adapun istilah ‘konversi’
menurut Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama ialah pengalihan,
perubahan (omzetting) dari suatu hak tertentu kepada suatu hak lain.[2]
Sedangkan menurut pandangan yang dikemukakan oleh Dr. A.P.
Parlindungan, S.H. bahwa konversi secara umum dapat dikatakan penyesuaian
atau perubahan dari hak-hak yang diatur oleh peraturan lama disesuaikan dengan
hak-hak baru.[3]
Dengan diundangkannya UU
No. 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, maka hapuslah
dualisme di dalam hukum pertanahan dan terselenggaralah suatu unifikasi di
bidang hukum agraria sekaligus terciptanya unifikasi hak-hak atas tanah yang
diatur atau tunduk pada hukum agraria lama (hukum barat maupun hukum adat)
dikonversikan menjadi salah satu hak menurut ketentuan UUPA (pasal 16). Pada
dasarnya hak-hak atas tanah menurut peraturan perundang-undangan yang lama akan
dikonversikan menjadi hak-hak yang baru menurut UUPA dengan memberi wewenang
yang sama sebagaimana dimaksud dalam ketentuan konversi dalam bagian kedua
yaitu dari Pasal I sampai dengan Pasal IX.
Defenisi
konversi hak atas tanah tidak ditemukan didalam UUPA. Jauh sebelum UUPA
ditetapkan sudah dikenal konversi hak atas tanah, seperti hak milik adat
menjadi hak yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat (BW) yang disebut agrarische
eigendom dan hak penguasaan menjadi hak pakai atau hak pengelolaan.
Konversi
hak atas tanah dapat dipahamkan sebagai pengubahan dan penyesuaian dari hak-hak
lama atas tanah yaitu hak adapt maupun hak perdata barat (BW) menjadi hak-hak
atas tanah berdasarkan system UUPA.
Penjelasan pasal 55 UUPA:
“Hak-hak
yang ada sekarang ini menurut ketentuan konversi ini semuanya menjadi hak-hak
baru menurut Undang-Undang Pokok Agraria”
Pasal 1 Per. Menteri Agraria No. 9 Tahun
1965:
“Hak
penguasaan atas tanah Negara sebagai maksud dalam peraturan pemerintah no. 8
Tahun 1953, yang diberikan kepada Departemen-departemen, Direktorat-direktorat
dan Daerah-daerah Swatantra sebelum berlakunya peraturan ini sepanjang
tanah-tanah tersebut hanya dipergunakan untuk kepentingan instansi-instansi itu
sendiri dikonversi menjadi hak pakai sebagai dimaksud dalam Undang-Undang Pokok
Agraria, yang berlangsung selama tanah tersebut dipergunakan untuk keperluan
itu oleh instansi yang bersangkutan”.
Dr.
A.P Perlindungan dalam bukunya Konversi Hak-hak Atas Tanah (1994:6) menyatakan
:
“Untuk
mengetahui sikap dan filosofi dari konversi ini maka kita mempunyai 5 prinsip
yang mendasarinya sehingga dapat kita telaah bagaimana tujuannya dan bagaimana
penyelesaiannya :
1.
Prinsip Nasionalitas
2.
Prinsip pengakuan hak terdahulu
3.
Kepentingan hukum
4.
Penyesuaian kepada ketentian konversi,
5.
Status quo hak-hak tanah terdahulu”.
Status
quo hak-hak tanah terdahulu dimaksudkan bahwa dengan berlakunya UUPA tidak
dibenarkan lagi menerbitkan hak-hak atas tanah baik berdasarkan Hukum Adat
apalagi Hukum Perdata Barat. Jika hak-hak yang demikian yang dimohonkan
konversi, maka permohonannya harus ditolak.[4]
B.
Dasar Hukum
Konversi
Menurut
ketentuan-ketentuan konversi Pasal I sampai dengan Pasal VII UUPA pada dasarnya
menggantikan ‘mengubah’ hak-hak atas tanah yang dikuasai oleh hukum adat dan
KUH Perdata agar disesuaikan dengan ketentuan-ketentuan UUPA (Pasal I sampai
dengan Pasal 58). Pengertian konversi menurut UUPA dijadikan dasar untuk
perubahan hak atas tanah dari pada yang satu kepada yang lain atau kepada suatu
hak yang ditentukan oleh peraturan yang berlaku.
C.
Tujuan
Konversi
Tujuan daripada konversi
adalah usaha-usaha untuk penataan kembali hak-hak atas tanah yang berasal dari
hak-hak adat maupun hak-hak barat dan untuk mengembalikan fungsi sosial atas
pengusahaan tanah sesuai dengan Pancasila dan UUD 45 serta melenyapkan sistem
barat.
D.
Terjadinya
Konversi
Pada prinsipnya konversi
hak-hak lama menjadi hak baru sesuai dengan ketentuan UUPA, menurut
ketentuan-ketentuan konversi terjadinya konversi karena tiga kemungkinan,
yaitu:
- Konversi yang terjadi
dengan sendirinya karena hukum. Konversi seperti ini terjadi dengan
sendirinya tanpa diperlukan tindakan dari suatu instansi baik yang
bersifat konstitutif maupun deklaratoir. Misalnya, hak erfpacht untuk
Perusahaan Kebun Besar.
- Konversi yang terjadi
setelah diperoleh suatu tindakan yang bersifat deklaratoir dari instansi
yang berwenang. Konversi jenis ini juga terjadi karena hukum, tetapi
karena disertai syarat-syarat tertentu maka diperlukan suatu tindakan
penegasan yang bersifat deklaratoir. Misalnya, konversi hak eigendom
menjadi hak milik yang disertai syarat-syarat bahwa yang mempunyai pada
tanggal 24 september 1960 harus memenuhi syarat sebagai pemilik.
- Konversi yang terjadi
melalui suatu tindakan yang bersifat konstitutif. Pada jenis konversi
ini, perubahan atas sesuatu hak yang baru bukan terjadi karena hukum
melainkan memerlukan suatu tindakan khusus yang bersifat konstitutif.
Maksudnya ialah kemungkinan untuk mengubah hak konsesi dan sewa untuk
Perusahaan Kebun Besar menjadi HGU.
Bagi tanah-tanah yang
tunduk pada hukum adat atau yang dikenal dengan istilah bekas hak adat, setelah
berlakunya UUPA harus dikonversikan menjadi salah satu hak baru sesuai dengan
yang diatur dalam UUPA. Maka dalam hal ini diperlukan suatu tindakan penegasan
hak atas tanah itu sebelum tahun 1960.[5]
E.
Pelaksanaan
Konversi
Pelaksanaan konversi hak
atas tanah secara garis besar diuraikan sebagai berikut:
- Hak eigendom.
a.
Hak eigendom dikonversikan menjadi hak milik, kecuali
jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat yang tersebut dalam ketentuan Pasal
21 UUPA.
b.
Hak eigendom kepunyaan pemerintah asing yang digunakan
untuk rumah kediaman kepada perwakilan dan gedung kedutaan menjadi hak pakai
(Pasal 41 (1) UUPA), yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan itu.
c.
Hak eigendom kepunyaan orang asing, orang yang
bekerwaganegaraan rangkap dan badan-badan hukum yang tidak ditunjuk oleh
pemerintah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 21 (2) UUPA, menjadi hak
guna bangunan sesuai ketentuan Pasal 35 (1) UUPA dengan jangka waktu 20 tahun.
d.
Jika hak eigendom dibebani dengan hak opstal dan hak
erfpacht, maka hak opstal dan hak erfpacht itu menjadi hak guna bangunan (Pasal
35 (1), membebani hak milik yang bersangkutan selama sisa waktu hak opstal atau
erfpacht tetapi selama-lamanya 20 tahun.
e.
Hak-hak hypotheek, servitut, vruchtgebruik dan hak-hak
lain yang membebani hak eigendom tetap membebani hak milik dan hak guna
bangunan.
- Hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud Pasal 20 (1), yaitu hak agrarisch eigendom, milik yasan, andarbeni menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyai tidak memenuhi syarat.
- Hak erfpacht untuk perusahaan kebun besar dan pertanian kecil dikonversikan menjadi hak guna usaha diatur dalam Pasal 28 (1) yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun dan bahwa hak erfpacht untuk pertanian kecil hapus.
- Hak consessi dan sewa untuk kebun besar, dalam jangka waktu satu tahun harus mengajukan permintaan kepada menteri agraria agar haknya dikonversikan menjadi hak guna usaha.
- Hak opstal dan hak erfpacht untuk perumahan dikonversikan menjadi hak guna bangunan yang berlangsung selama sisa waktu hak opstal dan hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.
- Hak-hak atas tanah memberi wewenang sebagaimana hak yang dimaksud dalam Pasal 41 (1) seperti hak gebruik, gran controleur, anggaduh, bengkok, lunguh, pituwas menjadi hak pakai sebagaimana dalam Pasal 41 (1), yang berwenang berkewajiban sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ini.
- Hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap dan tidak tetap. Untuk hak gogolan, pekulen atau sanggan yang bersifat tetap dikonversikan menjadi hak milik, sedangkan yang bersifat tidak tetap menjadi hak pakai. Bahwa dalam hal ada keraguan mengenai sifat tetap atau tidak tetap akan diputuskan oleh Menteri Agraria.
- Konversi Hak Perdata Barat
Hak-hak
Perdata Barat (BW) atas tanah yang dikonvesi menjadi hak-hak tertentu
berdasarkan system UUPA sangat ditentukan oleh kewarga-negaraan sipemegang
hak/Azas kebangsaan (prinsip nasionalis)diletakkan sebegai prinsip utama dalam
pelaksanaan konversi hak tersebut, sekalipun ada pengkhususan.
Pasal
1 ayat 1 Ketentuan Konversi UUPA:
”Hak eigendom atas tanah yang ada pada
mulai berlakunya undang-undang ini (UUPA, tanggal 24 September 1960 – pen)
sejak saat tersebut menjadi hak milik, kecuali jika yang mempunyainya tidak
memenuhi syarat sebagai yang tersebut dalam pasal 21”.
Pasal
21 UUPA menegaskan :
Bahwa yang dapat mempunyak hak milik atas
tanah adalah hanya Warga Negara Indonesia (WNI) tunggal dan/atau badan hukum
Indonesia tertentu sesuia dengan Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 1963
Pasal
I ayat 2 Ketentuan Konversi UUPA :
”Hak eigendom kepunyaan Pemerintah negara
asing yang dipergunakan untuk keperluan rumah kediamana kepala perwakilan dan
gedung kedutaan sejak mulai berlakunya undang-undang ini (UUPA, tanggal 24
September 1960 – pen) menjadi hak pakat tersebut dalam pasal 41 ayat 1 (hak
pakai publik/khusus – pen) yang akan berlangsung selama tanahnya dipergunakan
untuk keperluan tersebut di atas”.
- Konversinya Menjadi Hak Pakai Publik
Sebagai ciri pokok dari hak pakai
publik/khusus tersebut memiliki right of disposal, dalam pengertian tidak dapat
dialihkan, beralih dan dijadikan obyek hak tanggungan dan subyeknya berupa
badan-badan hukum Indonesia (lembaga Pemerintah, keagamaan, sosial dan
lain-lain) dan badan-badan hukum asing/internasional serta waktunya tidak
tertentu, berlangsung terus asalkan penggunaannya tetap sesuai dengan
peruntukan haknya.
Surat
Edaran Menteri Agraria No. Ka 12/5/36 tanggal 10 November 1961 menegaskan bahwa
yang dimaksud dengan istilah kepala perwakilan adalah mencakup kepala
perwakilan diplomatik, duata besar luar biasa berkuasa penuh dan konsul-konsul
di luar Jakarta yang berkedudukan kepala perwakilan dari Sesuatu Negara yang
ditempatkan pada Pemerintah Daerah (A.P. Parlindungan, 1994:28).
Pasal
I ayat 3 Ketentuan Konversi UUPA :
”Hak-hak eigendom kepunyaan orang asing,
seorang warganegara yang disamping kewarganegaraan Indonesianya mempunyai
kewarganegaraan asing dan badan-badan hukum yang tidak ditunjuk oleh pemerintah
sebagai maksud dalam pasal 21 ayat 2 (badan hukum Indonesia berdasarkan PP No.
38/1963 – pen) sejak mulai berlakunya undang-undang ini (UUPA tanggal 24
September 1960 – pen) menjadi hak guna bangunan tersebut dalam pasal 35 ayat 1
(tentang right to use dan waktunya – pen) dengan jangka waktu 20 tahun”
(berlaku bagi subyek hak guna bangunan yang memenuhi syarat – pen).
- Konversi Gak Opstal/Erfpacht.
Menteri Agraria telah memberi
pedoman/penetapan yang membinggungkan jika dilihat ketentuan pasal 1 ayat 1
Peraturab Menteri Agraria No. 7 tahun 1965 diatas karena hak eigendom yang
dibebani oleh hak postal dan erfpacht yang disebut pada pasal 1 ayat 3
Ketentuan Konversi UUPA harus dikonversi menjadi hak guna bangunan. Sementara
hak opstal dan hak erfpacht yang membebaninya dikonversi menjadi hak guna
bangunan pula. Menurut sistem UUPA tidak dimungkinkan diatas hak guna bangunan
dibebani dengan hak guna bangunan juga. Kecuali pengkonversian itu dilakukan
secara berurutan yaitu setelah hak eigendom itu dikonevrsi menjadi hak guna
bangunan yang keumudan hapus baik karena pelepasan hak atay berakhirnya tenggang
waktu 1 tahun (pasal VIII ketentuan Konversi UUPA) baru diberi hak guna
bangunan kepada pemegang hak opstal dan hak erfpahct yang telah memenuhi
syarat.
Pasal I ayat 6 ketentuan konversi UUPA :
”Hak-hak hypotheek, servituut,
vruchgebruik dan hak-hak lain yeng membebani hak eigendom tetap membebani hak
milik da hak guna bangunan tersebut dalam ayat 1 dan 3 pasal ini, sedang
hak-hak tersebut menjadi suatu hak menurut undang-undang ini”.
- Ketidaktegasan Azas Kebangsaan
Subyek yang kurang tegas apakah warganegara
Indonesia tunggal/badan hukum Indonesia atau bukan atas:
a) tanah-tanah hak erfacht dan hak opstal
yang membebani hak eigendom yang subyeknya sudah tegas sebagai warganegara
Indonesia tungal/badan hukum indonesia tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah
No. 38 Tahun 1963 (Pasal 1 ayat 4 ketentuan konversi UUPA)
b) Tanah hak erfpacht dan hak opstal yang
membebani hak eigendom yang subjeknya telah tegas bukan warganegara Indonesia
tunggal/badan hukum Indonesia tertentu berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 38
Tahun 1963 (Pasal III ayat 1 ayat 5 ketentuan Konversi UUPA)
c) Tanah hak erfpacht untuk perusahaan kebun
besar dan untuk pertanian kecil (pasal III ayat 1 dan 2 Ketentuan Konversi
UUPA), dan
d) Tanah hak opstal dan hak erfpacht untuk
perumahan (pasal V ketentuan Konversi UUPA) mengakibatkan penerapan azas
kebangsaan (prinsip nasionalitas) yang sangat poko dalam UUPA menjadi kabur.
Oleh karena itu Ketentuan Konversi pasal
VIII UUPA harus diartikan bahwa hasil konversi itu harus dibedakan antara yang
subyeknya orang atau badan hukum yang memenuhi syarat (terutama azas
kebangsaan) dan yang tidak memenuhi syarat (terutama warga negara asing dan
badan hukum asing).
- Konversi Hak Adat
Hak-hak atas tanaj yang sebelumnya tunduk
kepada hukum adat dengan sebutan nama yang berbeda-beda sesuai dengan daerahnya
masing-masing dikonversi menjadi hak-hak yang sesuai dengan sistem UUPA.
Pengkonversian hak-hak tersebut masih tetap dibuka tidak sebagaimana hak-hak
atas tanah yang tunduk kepada Hukum Perdata Barat (BW) yang sudah berakhir
tanggal 24 Sepetmber 1980. oleh karena itu unifikasi Hukum Agraria dalam arti
menyeluruh menjadi terkendali akibat hak-hak atas tanah adat itu belum
dikonversi seluruhnya.
Pasal VI Ketentuan Konversi UUPA:
”Hak-hak atas tanah yang memberi wewenang
sebagaimana atau mirip dengan hak yang dimaksud dalam pasal 41 ayat 1 (hak
pakai dengan ciri-cirinya – pen) seperti yang disebut dengan nama sebagai di
bawah, yang ada pada mulai berlakunya undang-undang ini (UUPA tanggal 24
September 1960 – pen) yaitu ganggang bauntuik, angaduh, bengkok, lungguh,
pituwas dan hak-hak lain dengan nama apapun juga yang akan ditegaskan lebih
lanjut oleh Menteri Agraria, sejak mulai berlakunya undang-undang ini menjadi
hak pakai tersebut dalam pasal 41 ayat 1 yang memberi wewenang dan kewajiban
sebagaimana yang dipunyai oleh pemegang haknya pada mulai berlakunya
undang-undang ini, sepanjag tidak bertentangan dengan jiwa dan
ketentuan-ketentuan undang-undang ini”.
A.P Perlindungan dan bukunya konversi
hak-hak atas tanah (1994 : 62-63) berpendapat bahwa pelaksanaan konversi utama
terhadap tanah-tanah adat disamping harus sesuai dengan penyesuaiannya juga
dengan kesaksian dari Lembaga Kesaksian Hak Adat setempat. Kesaksian dari
lembaga tersebut adalah bersifat deklaratif bukan konstitutif, sehingga hal itu
sesuai dengan prinsip-prinsip dari ketentuan konversi UUPA.
- Kajian Pokok
a. Pelaksanaan Konversi hak atas tanah
terutama atas tanah-tanah adat sangat berhubungan upaya pendaftaran tanah-tanah
di Indonesia agar tercapai kepastian hukum atas hak dan perlindungannya.
b. Pemberlakukan azas pengakuan terhadap
hak-hak adat azas tanah dan tanpa batas waktu yang tertentu untuk pelaksanaan
konversinya akan berakibat terkendalanya pendaftaran tanah secara meneyeluruh
di Indonesia.
Oleh karena itu perlu
ditetapkan batas waktu konversi hak-hak adat atas tanah ke masa depan sekaligus
memberikan kemudahan yang seluas-luasnya bahakan bila perlu bagi golongan
ekonomi lemah dibebeaskan dari pembeyaran biaya konversi hak dan
pendaftarannya.[6]