Rabu, 16 Mei 2012

Prinsip Hukum Perlindungan Konsumen (Makalah hukum konsumen)


BAB 1
A.LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Masalah perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hak konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air, baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung.
Jika tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang dikonsumsinya.
Perkembangan perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam variasi produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan, sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi.
 Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen. Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang tersebut dengan baik.
Tujuan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka mempunyai hak yang  dilindungi oleh undang-undang perlindungan konsumen sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan upaya perlindungan konsumen di indonesia dapat lebih diperhatikan.
Pada penulisan makalah ini kita akan membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap konsumen serta apa saja hak dan kewajiban konsumen. Dalam makalah ini kami  juga akan menjelaskan tentang prinsip ,asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen yang mungkin akan berguna bagi pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang.
1.Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh masyarakat.
Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi     masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya     kepastian hukum bagi konsumen
Sedikit tambahan Pengerian atau Definisi  Konsumen dan Pengusaha / Pelaku Usaha, “Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” (pasal 1 angka 2).
Jadi, konsumen di sini merupakan “pemanfaat atau pengguna barang atau jasa, baik untuk diri-sendiri ataupun untuk orang lain. ”Dengan demikian distributor, toko, agen dan sejenisnya yang membeli barang atau jasa untuk dijual kembali kepada pihak lain tidak termasuk konsumen.
Penjelasan pasal 1 angka 2 UU No. 8 / 1999 ini menjelaskan:  
“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau pemanfaat akhir dari suatu produk,sedangkan konsumen antara adalah konsumen yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
” (pasal 1 angka 3). Artinya, pelaku usaha yang diikat oleh undang-undang ini adalah para pengusaha yang berada di Indonesia, melakukan usaha di Indonesia.
Penjelasaan pasal 1 angka 3 UU No. 8 / 1999 menjelaskan: “Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain- lain.”



B.PERMASALAHAN .
1. Bagaimana Pengetahuan Konsumen Terhadap  Perlindungan Hukum bagi Konsumen.di Indonesia?
2.Bagaimana  Pertanggung jawaban Pemerintah Terhadap Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia ?
3.Bagaimana Prinsip tanggung jawab Hukum konsumen terhadap konsumen di Indonesia ?










BAB 2.
A.TINJAUAN PUSTAKA
1. Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)[1]. Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi     masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya     kepastian hukum bagi konsumen.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
1.      Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2.      Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3.      Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,[2]
4.      Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi,
5.      Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha,
6.      Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
 2.Hak-hak Konsumen
Dimana Hak ini merupakan Perlindungan terhadap konsumen sebagai Prinsip Perlindungan konsumen , yang mana Perinsip ini memandang hak konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah [3]:
1.      Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2.      Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
3.      Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4.      Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5.      Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6.      Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
7.      Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8.      Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9.      Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.

Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa, dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak maupun  yang  tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam pengertian  produk yang cacat (defective product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam defect:
a. Production/manufacturing defects, apabila suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk tersebut tidak aman bagi konsumen.
b. Design  defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
c.  Warning or instruction defects, apabila buku pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman .
3.Prinsip Pertanggungjawaban
Terdapat lima prinsip Pertanggungjawaban dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:[4]
1.      Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
Kalau yang digugat tidak terbukti maka yang tergugat bebas, harus dapat dibuktikan oleh yang mendalilkan kesalahan tergugat,
Pasal 1365 KUHper (perbuatan melawan hokum); Unsur-unsurnya
1.adanya perbuatan
2.Adanya unsure kesalahan
3.adanya kerugian yang diderita
4.adanya hub kausalitas antara kesalahan dan kerugian
2.      Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Pembuktian terbalik)
Tergugat selalu dianggap bertanggung jawab ,sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada si tergugat
3.      Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
Hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense dapat dibenarkan contoh pada hokum pengangkutan pada bagasi/kabin tangan, yang didalam pengawasan konsumen sendiri
4.      Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
Biasanya prinsip ini diterapkan karena
(1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks,
(2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,missal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability
Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:
 (1) melanggar jaminan, missal khasiat tidak sesuai janji,
(2) Ada unsure kelalaian (negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik, (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Contoh dalam hal cuci cetak film , “bila film yang dicuci hilang maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian nya sebesar sepeluh kali harga.
Vicarious Liability,majikan bertanggung jawab atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada di bawah pengawasannya

5.      Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Tanggung jawab mutlak (strict liability) adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip strick liability ini disebut juga dengan liability without fault. (Agnes M.Toar, 1989)

            Biasanya prinsip ini diterapkan karena
(1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks,
(2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya,
(3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability
Product liability dapat dilakukan berdasarkan tiga hal:
 (1) melanggar jaminan, misal khasiat tidak sesuai janji,
 (2) Ada unsur kelalaian (negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik,
(3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict liability)
Tanggung jawab produk adalah istilah hukum berasal dari alih bahasa istilah product liability, yakni tanggung jawab produk disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain). Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang dipasarkan oleh produsen. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability) atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya tanggung jawab mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga tidak dapat dipersalahkan padanya.  Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah untuk:
a.       Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau
b.      Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat dihindari.
Dalam hukum, setiap tuntutan pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.
Secara teoritis pertanggungjawaban yang terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat dibedakan menjadi:
a.       Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan, yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
b.      Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan usahanya.
Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan, yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum.
Pertanggungjawaban mutlak ini tentunya dapat melindungi konsumen dari pelaku usaha yang lalai dalam memasarkan produknya. Pelaku usaha dipaksa untuk mematuhi aturan dalam memasarkan produk seperti yang tercantum dalam Pasal-pasal pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen. Barang yang dipasarkan harus dalam keadaan baik dan tidak boleh melanggar sesuai dengan yang tercantum jelas dalam Pasal 8 UUPK. Jika produk yang digunakan konsumen cacat dan menimbulkan kerugian bagi konsumen, maka pelaku usaha wajib mengganti kerugian tanpa perlu adanya pembuktian adanya kesalahan.
Setelah mengetahui prinsip-prinsip pertanggungjawaban ini, konsumen dapat menggugat pelaku usaha tanpa perlu pembuktian adanya kesalahan. Hal ini dapat membuat konsumen merasa terlindungi dari pelaku usaha yang ‘nakal’ dan tidak memiliki itikad baik.


Kewajiban Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
•          Membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
•          Beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
•          Membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
•          Mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.

4.prinsip bertanggung jawab berdasarkan kelalaian

Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen, tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan bukti-bukti, yaitu :
·         Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
·         Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
·         Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
  Dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
a.      Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen. Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan dalam mengajukan gugatan kepada  produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak diketahui.
b.     Kelalaian Dengan Beberapa Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum dengan produsen.
c.    Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
d.    Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian Terbaik
Tahap pekembangan trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung jawab mutlak.

Selain mengajukan gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
·         Pembatasan waktu gugatan.
·         Persyaratan pemberitahuan.
·         Kemungkinan adanya bantahan.
·         Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal maupun vertikal.

Asas tanggung jawab ini dikenal dengan nama product liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran. Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya. Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di pihak produsen.
Alasan-alasan mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
·         Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak, beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
Dengan menempatkan / mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak demikian dia harus bertanggung jawab




BAB 4
KESIMPULAN

            Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
            Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta  pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Dalam Prinsip tanggung jawab Hukum konsumen Terdapat lima prinsip Pertanggungjawaban dalam Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:
1.         Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
2.         Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Pembuktian terbalik)
3.         Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
4.         Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
5.         Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Biasanya prinsip ini diterapkan karena
(1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi yang kompleks,
(2) diasumsikan produsen lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya,
(3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan konsumen/ product liability
           
SARAN
Perlindungna hokum bagi konsumen di Indonesia , walaupun telah mengalami kemajuan ,terutama Setelah lahirnya UUPK , namun masih perlu adanya Langkah peningkatan , terutama Mengenai Prinsip-Prinsip  yang di atur secara tegas dalam UUPK, Sehingga akan Semakin mendekati berbagai prinsip yang memberikan perlindungan konsumen di Negara maju , demikian pula kekurangan kekurangan dalam UUPK agar segera Direvisi, dengan Tetap mengacu pada tiga Prinsip Perlindungan hokum bagi konsumen di Indonesia, serta segera melengkapi Peraturan – Peraturan Pelaksanaan dari UUPK, agar  konsumen betul betul dapat menikmati perlindungan hokum sebagai mana yang di harapkan .














PENUTUP

            Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberi penjelasan dan dapat mengingatkan para pembaca bahwa kita sebagai konsumen memiliki hak-hak serta kewajiban yang harus kita laksanakan, dan kita juga memiliki perlindungan penuh atas hukum dan UU yang berlaku yang bisa digunakan kapan saja ketika diri kita mendapat perlakuakuan yang tidak sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan bagi konsumen sesuai dengan Prinsip Prinsip Perlindungan konsumen.
            Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi para mahasiswa/mahasiswi, dan bisa dijadikan referensi dalam melakukan kajian-kajian ilmiah tentang hukum perlindungan konsumen.








DAFTAR PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Abbas, Nurhayati , Hukum Perlindungan konsumen dan beberapa Aspek ,Makalah,Elips Project, UjungPandang: 1996.
http://www.pankga.blogspot.com



[1] Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.


 [3] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: P.T. Gramedia Pustaka Utama, 2000) hal. 39.
[4] http://www.docstoc.com/docs/57807057/Perlindungan-Konsumen?ref=nf

LINK DOWNLOAD MAKALAH / ARTIKEL DALAM bentuk klik ini >>> DOC