A.LATAR BELAKANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Masalah
perlindungan konsumen semakin gencar dibicarakan. Permasalahan ini tidak akan
pernah habis dan akan selalu menjadi bahan perbincangan di masyarakat. Selama
masih banyak konsumen yang dirugikan, masalahnya tidak akan pernah tuntas. Oleh
karena itu, masalah perlindungan konsumen perlu diperhatikan.
Hak
konsumen yang diabaikan oleh pelaku usaha perlu dicermati secara seksama. Pada
era globalisasi dan perdagangan bebas saat ini, banyak bermunculan berbagai
macam produk barang/pelayanan jasa yang dipasarkankepada konsumen di tanah air,
baik melalui promosi, iklan, maupun penawaran barang secara langsung.
Jika
tidak berhati-hati dalam memilih produk barang/jasa yang diinginkan, konsumen
hanya akan menjadi objek eksploitas dari pelaku usaha yang tidak bertanggung
jawab. Tanpa disadari, konsumen menerima begitu saja barang/jasa yang
dikonsumsinya.
Perkembangan
perekonomian, perdagangan, dan perindustrian yang kian hari kian meningkat
telah memberikan kemanjaan yang luar biasa kepada konsumen karena ada beragam
variasi produk barang dan jasa yang bias dikonsumsi. Perkembangan globalisasi
dan perdagangan besar didukung oleh teknologi informasi dan telekomunikasi yang
memberikan ruang gerak yang sangat bebas dalam setiap transaksi perdagangan,
sehingga barang/jasa yang dipasarkan bisa dengan mudah dikonsumsi.
Permasalahan yang dihadapi konsumen tidak
hanya sekedar bagaimana memilih barang, tetapi jauh lebih kompleks dari itu
yang menyangkut pada kesadaran semua pihak, baik pengusaha, pemerintah maupun
konsumen itu sendiri tentang pentingnya perlindungan konsumen. Pengusaha
menyadari bahwa mereka harus menghargai hak-hak konsumen, memproduksi barang
dan jasa yang berkualitas, aman untuk digunakan atau dikonsumsi, mengikuti
standar yang berlaku, dengan harga yang sesuai. Pemerintah menyadari bahwa
diperlukan undang-undang serta peraturan-peraturan disegala sektor yang
berkaitan dengan berpindahnya barang dan jasa dari pengusaha ke konsumen.
Pemerintah juga bertugas untuk mengawasi berjalannya peraturan serta undang-undang
tersebut dengan baik.
Tujuan penyelenggaraan,
pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen yang direncanakan adalah
untuk meningakatkan martabat dan kesadaran konsumen, dan secara tidak langsung
mendorong pelaku usaha dalam menyelenggarakan kegiatan usahanya dengan penuh
rasa tanggung jawab. Yang perlu disadari oleh konsumen adalah mereka mempunyai
hak yang dilindungi oleh undang-undang
perlindungan konsumen sehingga dapat melakukan sasial kontrol terhadap
perbuatan dan perilaku pengusaha dan pemerintah. Dengan lahirnya undang-undang
No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen diharapkan upaya perlindungan
konsumen di indonesia dapat lebih diperhatikan.
Pada penulisan makalah
ini kita akan membahas mengenai bagaimana perlindungan terhadap konsumen serta
apa saja hak dan kewajiban konsumen. Dalam makalah ini kami juga akan menjelaskan tentang prinsip
,asas-asas dan tujuan perlindungan konsumen yang mungkin akan berguna bagi
pembaca khususnya mahasiswa/I dimasa yang akan datang.
1.Dasar Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya,
terdapat dua instrumen hukum penting yang menjadi landasan kebijakan
perlindungan konsumen di Indonesia, yakni:
Pertama,
Undang-Undang Dasar 1945, sebagai sumber dari segala sumber hukum di Indonesia,
mengamanatkan bahwa pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan masyarakat
adil dan makmur. Tujuan pembangunan nasional diwujudkan melalui sistem
pembangunan ekonomi yang demokratis sehingga mampu menumbuhkan dan
mengembangkan dunia yang memproduksi barang dan jasa yang layak dikonsumsi oleh
masyarakat.
Kedua,
Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya
Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat
Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi
suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian
hukum bagi konsumen
Sedikit
tambahan Pengerian atau Definisi Konsumen dan Pengusaha / Pelaku Usaha,
“Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam
masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun
makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.” (pasal 1 angka 2).
Jadi, konsumen di sini merupakan “pemanfaat
atau pengguna barang atau jasa, baik untuk diri-sendiri ataupun untuk orang
lain. ”Dengan demikian distributor, toko, agen dan sejenisnya yang membeli
barang atau jasa untuk dijual kembali kepada pihak lain tidak termasuk
konsumen.
Penjelasan pasal 1 angka 2 UU No. 8 / 1999 ini
menjelaskan:
“Di dalam kepustakaan ekonomi dikenal istilah
konsumen akhir dan konsumen antara. Konsumen akhir adalah pengguna atau
pemanfaat akhir dari suatu produk,sedangkan konsumen antara adalah konsumen
yang menggunakan suatu produk sebagai bagian dari proses produksi suatu produk
lainnya. Pengertian konsumen dalam Undang-undang ini adalah konsumen akhir.”
“Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan
atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang
didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara
Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian
menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai
bidang ekonomi.
” (pasal 1 angka 3). Artinya, pelaku usaha
yang diikat oleh undang-undang ini adalah para pengusaha yang berada di
Indonesia, melakukan usaha di Indonesia.
Penjelasaan pasal 1 angka 3 UU No. 8 / 1999
menjelaskan: “Pelaku usaha yang termasuk dalam pengertian ini adalah
perusahaan, korporasi, BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan
lain- lain.”
B.PERMASALAHAN
.
1. Bagaimana Pengetahuan Konsumen
Terhadap Perlindungan Hukum bagi
Konsumen.di Indonesia?
2.Bagaimana Pertanggung jawaban Pemerintah Terhadap
Perlindungan Bagi Konsumen di Indonesia ?
3.Bagaimana Prinsip tanggung jawab Hukum
konsumen terhadap konsumen di Indonesia ?
BAB 2.
A.TINJAUAN
PUSTAKA
1. Dasar
Hukum Perlindungan Konsumen
Pada hakekatnya, terdapat dua instrumen hukum
penting yang menjadi landasan kebijakan perlindungan konsumen di Indonesia,
yakni:
Pertama, Undang-Undang Dasar 1945, sebagai
sumber dari segala sumber hukum di Indonesia, Kedua, Undang-Undang No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK)[1].
Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh
perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa.
UUPK menjamin adanya kepastian hukum
bagi konsumen.
Tujuan Perlindungan Konsumen
Sesuai dengan pasal 3 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, tujuan dari Perlindungan Konsumen adalah
1. Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan
kemandirian konsumen untuk melindungi diri,
2. Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan
cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa,
3. Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam
memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen,[2]
4. Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang
mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk
mendapatkan informasi,
5. Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai
pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan
bertanggungjawab dalam berusaha,
6. Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa
yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,
kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
2.Hak-hak Konsumen
Dimana Hak ini merupakan Perlindungan terhadap
konsumen sebagai Prinsip Perlindungan konsumen , yang mana Perinsip ini
memandang hak konsumen
Sesuai dengan Pasal 5 Undang-undang
Perlindungan Konsumen, Hak-hak Konsumen adalah [3]:
1. Hak atas kenyamanan, keamanan dan keselamatan
dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
2. Hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta
mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi
serta jaminan yang dijanjikan;
3. Hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur
mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
4. Hak untuk didengar pendapat dan keluhannya
atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
5. Hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan
dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
6. Hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan
konsumen;
7. Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara
benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
8. Hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti
rugi/penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai
dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
9. Hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya.
Sesuai dengan hukum positif yang berlaku di
Indonesia, seorang konsumen bila dirugikan dalam mengkonsumsi barang atau jasa,
dapat menggugat pihak yang menimbulkan kerugian itu. Pihak tersebut di sini
bisa berarti produsen/pabrik, supplier, pedagang besar, pedagang eceran/penjual
ataupun pihak yang memasarkan produk, bergantung dari siapa yang melakukan atau
tidak melakukan perbuatan yang menimbulkan kerugian bagi konsumen.
Produk secara umum diartikan sebagai barang
yang secara nyata dapat dilihat, dipegang (Tangible goods), baik yang bergerak
maupun yang tidak bergerak. Namun dalam kaitan dengan
masalah tanggung jawab produsen terhadap produk bukan hanya berupa tangible
goods tapi juga termasuk yang bersifat intangible. Dan yang termasuk dalam
pengertian produk di sini tidak semata-mata suatu produk yang sudah jadi secara
keseluruhan, tapi juga termasuk komponen suku cadang.
Berkenaan dengan masalah cacat (defect) dalam
pengertian produk yang cacat (defective
product) yang menyebabkan produsen harus bertanggung jawab dikenal tiga macam
defect:
a. Production/manufacturing defects, apabila
suatu produk dibuat tidak sesuai dengan persyaratan sehingga akibatnya produk
tersebut tidak aman bagi konsumen.
b. Design
defects, apabila bahaya dari produk tersebut lebih besar daripada
manfaat yang diharapkan oleh konsumen biasa atau bila keuntungan dari disain
produk tersebut lebih kecil dari risikonya.
c. Warning or instruction defects, apabila buku
pedoman, buku panduan, pengemasan, etiket (labels), atau plakat tidak cukup
memberikan peringatan tentang bahaya yang mungkin timbul dari produk tersebut
atau petunjuk tentang penggunaannya yang aman .
3.Prinsip
Pertanggungjawaban
Terdapat lima prinsip Pertanggungjawaban dalam
Hukum Perlindungan Konsumen, yaitu:[4]
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
Kalau yang digugat tidak terbukti maka yang
tergugat bebas, harus dapat dibuktikan oleh yang mendalilkan kesalahan
tergugat,
Pasal 1365 KUHper (perbuatan melawan hokum);
Unsur-unsurnya
1.adanya perbuatan
2.Adanya unsure kesalahan
3.adanya kerugian yang diderita
4.adanya hub kausalitas antara kesalahan dan
kerugian
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab
(Pembuktian terbalik)
Tergugat selalu dianggap bertanggung jawab
,sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi beban pembuktian ada pada
si tergugat
3. Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
Hanya dikenal dalam lingkup transaksi konsumen
yang sangat terbatas, dan pembatasan demikian biasanya secara common sense
dapat dibenarkan contoh pada hokum pengangkutan pada bagasi/kabin tangan, yang
didalam pengawasan konsumen sendiri
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict
liability)
Biasanya prinsip ini diterapkan karena
(1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan
untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi
yang kompleks,
(2) diasumsikan produsen lebih dapat
mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,missal dengan
asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya, (3) Asas
ini dapat memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat
pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan
konsumen/ product liability
Product liability dapat dilakukan berdasarkan
tiga hal:
(1)
melanggar jaminan, missal khasiat tidak sesuai janji,
(2) Ada unsure kelalaian (negligence), lalai
memenuhi standar pembuatan obat yang baik, (3) Menerapkan tanggung jawab mutlak
(strict liability)
Prinsip tanggung jawab dengan pembatasan
Contoh dalam hal cuci cetak film , “bila film
yang dicuci hilang maka konsumen hanya dibatasi ganti kerugian nya sebesar
sepeluh kali harga.
Vicarious Liability,majikan bertanggung jawab
atas kerugian pihak lain yang ditimbulkan oleh orang-orang/karyawan yang berada
di bawah pengawasannya
5. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict
Liability)
Tanggung jawab mutlak (strict liability)
adalah bentuk khusus dari trot (perbuatan melawan hukum), yaitu prinsip
pertanggung jawaban dalam perbuatan melawan hukum yang tidak didasarkan kepada
kesalahan. tetapi prinsip ini mewajibkan pelaku langsung bertanggung jawab atas
kerugian yang timbul karena perbuatan melawan hukum itu. Karenanya, prinsip
strick liability ini disebut juga dengan liability without fault. (Agnes
M.Toar, 1989)
Biasanya prinsip ini diterapkan karena
(1), Konsumen tidak dalam posisi menguntungkan
untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses produksi dan distribusi
yang kompleks,
(2) diasumsikan produsen lebih dapat
mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas kesalahannya,misal dengan
asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada harga produknya,
(3) Asas ini dapat memaksa produsen lebih
berhati-hati.
Prinsip ini biasa digunakan untuk menjerat
pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan produknya yang merugikan
konsumen/ product liability
Product liability dapat dilakukan berdasarkan
tiga hal:
(1)
melanggar jaminan, misal khasiat tidak sesuai janji,
(2) Ada
unsur kelalaian (negligence), lalai memenuhi standar pembuatan obat yang baik,
(3) Menerapkan tanggung jawab mutlak (strict
liability)
Tanggung jawab produk adalah istilah hukum
berasal dari alih bahasa istilah product liability, yakni tanggung jawab produk
disebabkan oleh keadaan tertentu produk (cacat atau membahayakan orang lain).
Dengan kata lain tanggung jawab produk timbul sebagai akibat dari “product
schade” yaitu kerugian yang disebabkan oleh barang-barang produk, yang
dipasarkan oleh produsen. Tanggung jawab ini sifatnya mutlak (strict-liability)
atau semua kerugian yang diderita seorang pemakai produk cacat atau
membahayakan (diri sendiri dan orang lain) merupakan tanggung jawab mutlak dari
pembuat produk atau mereka yang dipersamakan dengannya. Dengan diterapkannya
tanggung jawab mutlak itu, produsen telah dianggap bersalah atas terjadinya
kerugian pada konsumen akibat produk cacat yang bersangkutan (tanggung jawab
tanpa kesalahan “liability without fault”), kecuali apabila ia dapat
membuktikan sebaliknya bahwa kerugian itu bukan disebabkan produsen sehingga
tidak dapat dipersalahkan padanya.
Tujuan peraturan perundang-undangan tentang tanggung jawab produk adalah
untuk:
a.
Menekan tingkat kecelakaan karena produk cacat; atau
b.
Menyediakan saran ganti rugi bagi (korban) produk cacat yang tak dapat
dihindari.
Dalam hukum, setiap tuntutan
pertanggungjawaban harus mempunyai dasar, yaitu hal yang menyebabkan seseorang
harus (wajib) bertanggung jawab. Dasar pertanggungjawaban itu menurut hukum
perdata adalah kesalahan dan risiko yang ada dalam setiap peristiwa hukum.
Secara teoritis pertanggungjawaban yang
terkait dengan hubungan hukum yang timbul antara pihak yang menuntut
pertanggungjawaban dengan pihak yang dituntut untuk bertanggung jawab dapat
dibedakan menjadi:
a. Pertanggungjawaban atas dasar kesalahan,
yang dapat lahir karena terjadinya wanprestasi, timbulnya perbuatan melawan
hukum, tindakan yang kurang hati-hati.
b.
Pertanggungjawaban atas dasar risiko, yaitu tanggung jawab yang harus
dipikul sebagai risiko yang harus diambil oleh seorang pengusaha atas kegiatan
usahanya.
Sedangkan tuntutan ganti rugi atas kerugian
yang dialami oleh konsumen sebagai akibat penggunaan produk, baik yang berupa
kerugian materi, fisik maupun jiwa, dapat didasarkan pada beberapa ketentuan,
yang secara garis besar hanya ada dua kategori, yaitu tuntutan ganti kerugian
yang berdasarkan wanprestasi dan tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan
melanggar hukum.
Pertanggungjawaban mutlak ini tentunya dapat
melindungi konsumen dari pelaku usaha yang lalai dalam memasarkan produknya.
Pelaku usaha dipaksa untuk mematuhi aturan dalam memasarkan produk seperti yang
tercantum dalam Pasal-pasal pada Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 Tentang
Perlindungan Konsumen. Barang yang dipasarkan harus dalam keadaan baik dan
tidak boleh melanggar sesuai dengan yang tercantum jelas dalam Pasal 8 UUPK.
Jika produk yang digunakan konsumen cacat dan menimbulkan kerugian bagi
konsumen, maka pelaku usaha wajib mengganti kerugian tanpa perlu adanya
pembuktian adanya kesalahan.
Setelah mengetahui prinsip-prinsip
pertanggungjawaban ini, konsumen dapat menggugat pelaku usaha tanpa perlu
pembuktian adanya kesalahan. Hal ini dapat membuat konsumen merasa terlindungi
dari pelaku usaha yang ‘nakal’ dan tidak memiliki itikad baik.
Kewajiban
Konsumen
Kewajiban Konsumen Sesuai dengan Pasal 5
Undang-undang Perlindungan Konsumen, Kewajiban Konsumen adalah :
• Membaca
atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan
barang dan/atau jasa, demi keamanan dan keselamatan;
• Beritikad
baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
• Membayar
sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
• Mengikuti
upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut.
4.prinsip
bertanggung jawab berdasarkan kelalaian
Tanggung jawab berdasrkan kelalaian adalah suatu prinsip tanggung jawab
yang bersifat subjektif, yaitu suatu tanggung jawabysng ditentuksn oleh
perilaku produsen. Sifat subjektifitas muncul pada kategori bahwa seseorang
yang bersikap hati-hati mencegah timbulnya kerugian pada konsumen. Berdasarkan
teori tersebut, kelalaian produsen yang berakibat pada munculnya kerugian
konsumen merupakan faktor penentu adanya hak konsumen untuk mengajukan tuntutan
kerugian kepada produsen. Di samping faktor kesalahan dan kelalaian produsen,
tuntutan ganti kerugian berdasarkan kelalaian produsen diajukan dengan
bukti-bukti, yaitu :
·
Pihak tergugat merupakan produsen yang benar-benar mempunyai kewajiban
untuk melakukan tindakan yang dapat menghindari terjadinya kerugian konsumen.
·
Produsen tidak melaksanakan kewajiban untuk menjamin kualitas produknya
sesuai dengan standar yang aman untuk di konsumsi atau digunakan.
·
Konsumen penderita kerugian.
Kelalaian produsen
merupakan faktor yang mengakibatkan adanya kerugian pada konsumen (hubungan
sebab akibat antara kelalaian dan kerugian konsumen)
Dalam prinsip tanggung jawab
berdasarkan kelalaian juga mengalami perkembangan dengan tingkat
responsibilitas yang berbeda terhadap kepentingan konsumen, yaitu:
a.
Tanggung Jawab atas Kelalaian dengan Persyaratan Hubungan Kontrak
Teori murni prinsip tanggung jawab berdasarkan
kelalaian adalah suatu tanggung jawab yang didasarkan pada adanya unsur
kesalahan dan hubungan kontrak. Teori ini sangat merugikan konsumen karena
gugatan baru dapat diajukan jika telah memenuhi dua syarat, yaitu adanya unsur
kesalahan atu kelalaian dan hubungan kontrak antara produsen dan konsumen.
Teori tanggung jawab produk brdasrkan kelalaian tidak memberikan perlindungan
yang maksimal kepada konsumen, karena konsumen dihadapkan pada dua kesulitan
dalam mengajukan gugatan kepada
produsen, yaitu, pertama, tuntutan adanya hubungan kontrak antara
konsumen sebagai penggugat dengan produsen sebagai tergugat. Kedua, argumentasi
produsen bahwa kerugian konsumen diakibatkan oleh kerusakan barang yang tidak
diketahui.
b.
Kelalaian Dengan Beberapa
Pengecualian Terhadap Persyaratan Hubungan Kontrak
Perkembangan tahap kedua teori tanggung jawab
berdasarkan kelalaian adalah prinsip tanggung jawab yang tetap berdasarkan
kelalaian namun untuk beberapa kasus terdapat pengecualian terhadap persyaratan
hubungan kontrak. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, bahwa persyaratan
hubungan kontrak merupakan salah satu hambatan konsumen untuk mengajukan ganti
kerugian kepada produsen. Prinsip ini tidak memeihak kepada kepentingan
konsumen, karena pada kenyataanya konsumen yang sering mengalami kerugian atas
pemakaian suatu produk adalah konsumen yang tidak memiliki kepentingan hukum
dengan produsen.
c.
Kelalaian Tanpa Persyaratan Hubungan Kontrak
Setelah prisip tanggung jawab atas dasar kelalaian
dengan beberapa pengecualian terhadap hubungan kontrak sebagai tahap kedua
dalam perkembangan substansi hukum tanggung jawab produk, maka tahap berikutnya
adalah tahap ketiga yaitu sistem tanggung jawab yang tetep berdasarkan
kelalaian, tetapi sudah tidak mensyaratkan adanya hubungan kontrak.
d.
Prinsip Paduga Lalai dan Prinsip Bertanggung Jawab dengan Pembuktian
Terbaik
Tahap pekembangan
trakhir dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan kelalaian adalah dalam bentuk
modifikasi terhadap prisip tanggung jawab berdasarkan kesalahan. Modifikasi ini
bermakna, adanya keringanan-keringanan bagi konsumen dalam penerapan tanggung
jawab berdasarkan kelalaian, namun prinsip tanggung jawab ini masih berdasarkan
kesalahan. Modifikasi ini merupakan masa transisi menuju pembentukan tanggung
jawab mutlak.
Selain mengajukan
gugatan terhadap kelalaian produsen, ajaran hukum juga memperkenalkan konsumen
untuk mengajukan gugatan atas wanprestasi. Tanggung jawab produsen yang dikenal
dengan wanprestasi adalah tanggung jawab berdasarkan kontrak. Ketika suatu
produk rusak dan mengakibatkan kerugian, konsumen biasanya melihat isi kontrak
atau perjanjian atau jaminan yang merupakan bagian dari kontrak, baik tertulis
maupun lisan. Keuntungab bagi konsumen dalam gugatan berdasarkan teori ini
adalah penerapan kewajiban yang sifatnya mutlak, yaitu suatu kewajiban yang
tidak didasarkan pada upaya yang telah dilakukan penjual untuk memenuhi
janjinya. Itu berati apabila produsen telah berupaya memenuhi janjinya tetapi
konsumen tetap menderita kerugian, maka produsen tetap dibebani tanggung jawab
untuk mengganti kerugian. Akan tetapi, dalam prinsip tanggung jawab berdasarkan
wanprestasi terdapat beberapa kelemahan yang dapat mengurangi bentuk
perlindungan hukum terdapat kepentingan konsumen, yaitu :
·
Pembatasan waktu gugatan.
·
Persyaratan pemberitahuan.
·
Kemungkinan adanya bantahan.
·
Persyaratan hubungan kontrak, baik hubungaan kontrak secara horizontal
maupun vertikal.
Asas tanggung jawab
ini dikenal dengan nama product
liability. Menurut prinsip ini, produsen wajib bertanggung jawab atas
kerugian yang diderita konsumen atas penggunaan produk yang beredar dipasaran.
Tanggung jawab mutlak strict liability, yakni
unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar ganti
kerugian, ketentuan ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang melanggar
hukum pada umumnya. Penggugat (konsumen) hanya perlu membuktikan adanya
hubungan klausalitas antara perbuatan produsen dan kerugian yang dideritanya.
Dengan diterapkannya prinsip tanggung jawab ini, maka setiap konsumen yang
merasa dirugikan akibat produk barang yang cacat atau tidak aman dapat menuntut
konpensasi tanpa harus mempermasalahkan ada atau tidanya unsur kesalahan di
pihak produsen.
Alasan-alasan
mengapa prinsip tanggung jawab mutlak diterapkan dalam hukum tentang product liability adalah :
·
Diantara korban / konsumen di satu pihak ada produsen di lain pihak,
beban kerugian seharusnya ditanggung oleh pihak yang memproduksi.
Dengan menempatkan /
mengedarkan barang-barang dipasaran, berarti produsen menjamin bahwa
barang-barang tersebut aman dan pantas untuk digunakan, bilamana terbukti tidak
demikian dia harus bertanggung jawab
BAB 4
KESIMPULAN
Kesadaran konsumen bahwa mereka memiliki hak,kewajiban
serta perlindungan hukum atas mereka harus diberdayakan dengan meningkatkan
kualitas pendidikan yang layak atas mereka, mengingat faktor utama perlakuan
yang semena-mena oleh produsen kepada konsumen adalah kurangnya kesadaran serta
pengetahuan konsumen akan hak-hak serta kewajiban mereka.
Pemerintah sebagai perancang,pelaksana serta pengawas atas jalannya hukum dan UU tentang
perlindungan konsumen harus benar-benar memperhatikan fenomena-fenomena yang
terjadi pada kegiatan produksi dan konsumsi dewasa ini agar tujuan para
produsen untuk mencari laba berjalan dengan lancar tanpa ada pihak yang
dirugikan, demikian juga dengan konsumen yang memiliki tujuan untuk
memaksimalkan kepuasan jangan sampai mereka dirugikan karena kesalahan yang
diaibatkan dari proses produksi yang tidak sesuai dengan setandar berproduksi
yang sudah tertera dalam hukum dan UU yang telah dibuat oleh pemerintah.
Dalam Prinsip tanggung
jawab Hukum konsumen Terdapat lima prinsip Pertanggungjawaban dalam Hukum
Perlindungan Konsumen, yaitu:
1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan
2. Prinsip praduga untuk selalu bertanggung jawab (Pembuktian
terbalik)
3. Prinsip untuk selalu tidak bertanggung jawab
4. Prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
5. Prinsip Tanggung Jawab Mutlak (Strict Liability)
Biasanya prinsip ini
diterapkan karena
(1), Konsumen tidak dalam
posisi menguntungkan untuk membuktikan adanya kesalahan dalam suatu proses
produksi dan distribusi yang kompleks,
(2) diasumsikan produsen
lebih dapat mengantisipasi jika sewaktu-waktu ada gugatan atas
kesalahannya,misal dengan asuransi atau menambah komponen biaya tertentu pada
harga produknya,
(3) Asas ini dapat
memaksa produsen lebih berhati-hati.
Prinsip ini biasa
digunakan untuk menjerat pelaku usaha (produsen barang) yang memasarkan
produknya yang merugikan konsumen/ product liability
SARAN
Perlindungna hokum bagi konsumen di Indonesia
, walaupun telah mengalami kemajuan ,terutama Setelah lahirnya UUPK , namun
masih perlu adanya Langkah peningkatan , terutama Mengenai Prinsip-Prinsip yang di atur secara tegas dalam UUPK,
Sehingga akan Semakin mendekati berbagai prinsip yang memberikan perlindungan
konsumen di Negara maju , demikian pula kekurangan kekurangan dalam UUPK agar
segera Direvisi, dengan Tetap mengacu pada tiga Prinsip Perlindungan hokum bagi
konsumen di Indonesia, serta segera melengkapi Peraturan – Peraturan
Pelaksanaan dari UUPK, agar konsumen
betul betul dapat menikmati perlindungan hokum sebagai mana yang di harapkan .
PENUTUP
Semoga makalah yang kami buat ini dapat memberi
penjelasan dan dapat mengingatkan para pembaca bahwa kita sebagai konsumen
memiliki hak-hak serta kewajiban yang harus kita laksanakan, dan kita juga
memiliki perlindungan penuh atas hukum dan UU yang berlaku yang bisa digunakan
kapan saja ketika diri kita mendapat perlakuakuan yang tidak sesuai dengan
apa-apa yang telah ditetapkan bagi konsumen sesuai dengan Prinsip Prinsip
Perlindungan konsumen.
Semoga makalah yang kami buat ini bermanfaat bagi para
mahasiswa/mahasiswi, dan bisa dijadikan referensi dalam melakukan kajian-kajian
ilmiah tentang hukum perlindungan konsumen.
DAFTAR
PUSTAKA
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN
1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN
Abbas, Nurhayati , Hukum Perlindungan konsumen dan beberapa Aspek ,Makalah,Elips
Project, UjungPandang: 1996.
http://www.pankga.blogspot.com