Kamis, 05 Januari 2012

MAKALAH H.A.M (DEMOKRASI DAN TRANSISI POLITIK DALAM PERSPEKTIF HAM )



BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Seiring dengan perjalanan sejarah peradaban umat manusia, perkembangan di berbagai sendi-sendi kehidupan pun mulai digalakkan. Setiap orang atau setiap bangsa memacu gerak langkah menuju kemajuan. Sendi-sendi kehidupan mulai dibenahi untuk menyesuaikan antara perkembangan teknologi dan peradaban. Dalam realitanya perkembangan sistim ketatanegaraan mulai berkembang dari teori-teori para filsuf kuno yang banyak di adopsi oleh bangsa-bangsa yang ada di seluruh dunia. Perkembangan system ketatanegaraan ini memacu atau berkaitan dengan perkembangan di bidang lainnya. Setiap Negara menganut system ketatanegaraan. Salah satu contohnya adalah sistem pemerintahan demokrasi. Salah satu sistem pemerintahan klasik yang sudah ada sejak dulu kala. Sejak zaman Yunani kuno yang kemudian dikembangkan oleh para penganut aliran-aliran yang sependapat dengan pembuat sistem pemerintahan tersebut.

Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kekuasaan rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti sebagai suatu pengorganisasian Negara yang dilakukuan oleh rakyat sendiri atau atas persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Demikian juga dengan perkembangan HAM di dunia ini. Perjalanan panjang HAM yang sudah melalui banyak lika-liku yang naik turun. Perspektif sejarah dan sosial-kultural gagasan tentang HAM sebenarnya telah berlangsung selama berabad-abad. Di Eropa paling tidak kita mulai mengenal dari Dictatus Papae pada abad ke 11 yang kemudian disusul dengan Magna Charter tahun 1215; sementara di Timur sebenarnya tercatat telah ada Piagam Madinah yang disusun Negara Islam awal yang juga memuat perlindungan HAM seperti yang dikenal pada zaman modern.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun secara histories perlindungan HAM di dalam kehidupan bernegara telah dimulai sejak berabad-abad yang lampau tetapi pada umumnya dipahami bahwa wacana ini baru berkembang pesat setelah revolusi Amerika dan revolusi Perancis sebab sejak revolusi itulah upaya mengimplementasikan gagasan John Locke (1632-1704), Montesquiew (1689-1755) dan penggagas-penggagas lainnya tentang perlindungan HAM di bawah pemerintahan yang demokratis. Tonggak sejarah kedua revolusi itu bagi perlindungan HAM bisa dilacak dari Declaration of Independence pada tahun 1776 yang disusul dengan The Virgina Declaration of Rights tahun 1791 di Amerika Serikat yang selanjutnya memberi ilham bagi revolusi Prancis pada tahun 1789 dengan Declaration des de ‘Ihommeet du citoyen.
Di dalam konstitusi-konstitusi Negara-negara demokrasi modern setelah itu perlindungan HAM menjadi isi pokoknya sehingga dapat disimpulkan bahwa konstitusi sebenarnya merupakan instrument utama bagi perlindungan HAM sebab setiap pemerintahan kekuasaannya dibatas oleh konstitusi. Di dalam ilmu politik dan hokum tata Negara konstitusi memang memiliki fungsi untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak tampil secara sewenang-wenang.
Demikian juga dengan siklus demokrasi, demokratisasi bergerak dari rezim otoritarian memasuki dan melewati masa transisi baik transisi politik atau transisi demokrasi sebagai tahap awal, selanjutnya menuju dan memasuki masa konsolidasi dan diharapkan dapat berakhir dengan masa pematangan dan pendewasaan demokratisasi. Proses atau masa transisi demokrasi dapat pula berjalan sendiri terpisah dan tanpa serta saling mendahului dengan liberalisasi politik, namun dapat pula berjalanan beriringan dengan liberalisasi politik, menuju terciptanya perluasan dan perlindungan hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kewewengan negara/penguasa sebagai pengewejantahan pelaksanaan perlindungan hak-hak dasar warga negara oleh negara, perubahan struktur pemerintahan dan adanya pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat, yang dituangkan dalam satu kontrak sosial dan kontrak politik dalam suatu konstitusi.
Oleh karenanya dibutuhkan adanya perubahan atau reformasi konstitusi dari semula berkarakter represif menjadi berkarakter responsif, sehingga peraturan perundang-undangan yang dibuat pada masa otoritarian, yang menghambat proses demokratisasi dimasa transisi dicabut dan diganti dengan peraturan perundangan-undangan yang responsif.
.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hubungan antara demokrasi dan HAM di era modern khususnya di Indonesia?
2. Bagaimana HAM dalam Transisi Politik sentralistis ke sistem Politik Demokratis?
3. Suatu masa transisi dari otoritarian menuju demokrasi, juga dihadapkan pada suatu keadaan, bagaimana menyikapi masa lalu yang otoritarian yang di dalamnya sarat dengan pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) berat?.






BAB II
PEMBAHASAN

A.LANDASAN TEORI
Demokrasi adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Merupakan pengharapan baru bagi pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham demokrasi, antara lain: Yunani, Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, Uruguay, Polandia, Jerman Timur, Hongaria, Afrika Selatan, dan lain sebagainya. Untuk memajukan negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan masa lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.
Menurut Samuel P. Huntington, negara yang otoriter dulunya berubah menjadi demokrasi adalah lebih dari 40 (empat puluh) negara. Adapun perubahan tersebut dengan cara, antara lain :
-  Ada perubahan dengan cara yang signifikan;
- Penguatan kelompok reformis yang mengambil inisiatif untuk mendorong transisi;
- Negosiasi dengan kelompok oposisi; dan
- Intervensi Amerika Serikat sebagai negara adi kuasa.
Menurut Anthony Giddens fungsi pemerintah dalam hal transisi, antara lain :
- Menyediakan sarana untuk kepentingan-kepentingan yang beragam;
- Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
- Menciptakan dan melindungi ruang publik yang terbuka, dimana debat bebas mengenai isu isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;
- Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan yang kolektif;
- Mengatur pasaar menurut kepentingan publik, dan menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam;
- Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;
- Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui peran utamanya dalam sistem pendidikan;
- Menopang sistem hukum yang efektif;
- Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro – ekonomi, plus penyediaan infrastruktur;
- Membudayakan masyarakat – pemerintah merefleksikan nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya; dan
- Mendorong aliansi regional dan transnasional, serta sasaran-sasaran global.
Negara totaliter bukan sekedar hanya mengontrol kehidupan masyarakat, mempertahankan kekuasaan sebuah elit politik, juga bukan sekedar rezim seorang dictator yang haus kuasa, tetapi juga sebuah system politik yang melebihi bentuk kekuasaan Negara yang mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan masyarakat.
Ada 2 (dua) rezim totaliter yang dikenalpada abad ini, yaitu: pemerintah Nasional Sosialisme (NAZI),Adolf Hitler(1933-1945) di jerman; dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922-1953), yang kemudian menyebar ke Negara lain  si Eropa Timur, Cina, Korut, dan Indocina.
Dikarenakan adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut dengan transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut Solon adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk, langkah ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus diperhatikan.
Selanjutnya dikembangkan oleh Bronkhorst yaitu : memperbaharui tatanan sosial baru; membuat suatu propaganda yang mengatakan bahwa salah untuk menghina pihak-pihak yang dulu kaya dan sangat berkuasa dengan tujuan untuk menghindari proses balas dendam dikarenakan pihak-pihak yang dulunya berkuasa dapat dengan mudah mengambil alih kekuasaan mereka kembali. Sumber daya yang ada pada penguasa yang lama adalah sangat diperlukan untuk proses rekonstruksi sebuah negara; dan melakukan pembersihan pada setiap lini pemerintahan.
Pada masa transisi politik timbul suatu dilema dalam hal penghormatan terhadap aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan pada rezim yang menggantikan. Pertanyaan yang muncul adalah dalam hal apa yang membawa rezim masa lalu ke pengadilan. Dalam periode ini, mahkamah-mahkamah konstitusi (constitutional courts) yang baru didirikan telah memikul beban institusional yaitu bagaimana menetapkan suatu sistem hukum yang rule of law.
Bahwa ada suatu hukum yang mengatur dimana jika ada kekuasaan yang otoriter berkuasa maka masyarakat pada negara tersebut menginginkan suatu perubahan ke arah yang lebih baik. Pada masa perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokrasi disebut transisi politik.[1]
Perubahan situasi politik ke arah otoriter biasanya dilakukan dengan cara pemberontakan oleh pihak militer. Namun, hal tersebut tidak terlepas dari kekuasaan orang sipil yang menggerakkan atau bisa disebut sebagai otak dari pergerakan itu.[2]

B. JAWABAN PERMASALAHAN
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dijelaskan bahwa Negara Indonesia yang dicita-citakan dan hendak dibangun adalah Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat atau Negara demokrasi. HAM adalah salah satu tiang yang sangat penting untuk menopang terbangun tegaknya sebuah Negara demokrasi.
Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 merupakan piagam HAM pertama Indonesia yang lahir lebih dahulu disbanding pernyataan HAM se dunia oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Komitmen kuat tentan HAM sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 kemudian dijabarkan ke dalam pasal-pasal atau batang tubuh UUD 1945. Diantaranya terdapat dalam beberapa pasal yakni pasal 28A sampai pasal 28 J.
Namun dengan adanya berbagai pelanggaran HAM yang begitu banyak, maka dipandang belum cukup apabila tentang HAM hanya sebagai mana tercantum dalam piagam HAM yang ada selama ini. Untuk itu perlu adanya ketetapan MPR yang khusus memuat tentang HAM. Tap MPR yang dimaksudkan sebagai HAM terbaru itu adalah ketetapan No. XVII/MPR/1998. Selain itu juga terbentuknya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia merupakan salah satu bentuk perkembangan dari pengakuan HAM di Indonesia.
Lahirnya ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 dimaksudkan untuk memperkuat dan memantapkan komitmen bangsa akan pentingnya perlindungan HAM sebagaimana telah diatur dalam Pembukaan dan UUD 1945, oleh karena itu Tap tersebut menegaskan bahwa:
1. Menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah untuk menghormati, mengakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.
2. Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk meratifikasi berbagai instrument Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak asasi manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945.
3. Penghormatan, pengakan dan penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sebagai warga Negara dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Pelaksanaan penyuluhan, pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia, dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan oleh Undang-undang.
Bicara sisitem politik pada intinya bicara pilihan system politik. System politik dictator/otoriter/sentralisti/absolutism atau sisitem politik demokratis/populis/kerakyatan. Walaupun dalam prakteknya terdapat varian antara kedua sisitem tersebut. Dalam kedua sisitem tersebut system politik mempunyai hubungan timbale balik dengan hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM.
Dalam sistem politik dictator, hokum yang dihasilkan berwatak represif, mempertahankan status quo, mempertahankan kepentingan penguasa. Dalam sistem terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas. Pemerintahan dictator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, aparat dan pejabat Negara di bawah control/kendali penguasa. Dalam sistem tersebut, oposisi tidak diberi ruang gerak dan kalau ada lebih sebagai asesoris politik saja.
Dalam situasi demikian, sistem komando menjadi pegangan para pejabat di semua lini pemerintahan. Dengan demikian, di semua strata komando ditempati kroni dan orang-orang kepercayaannya saja. Segala bentuk aktivitas warga yang terkesan berbeda dengan garis penguasa dibatasi dan dilarang.
Sebaliknya dalam sistem politik demokratis, watak hokum yang dihasilkan bersifat responsive, akomodatif. Substansi hokum yang tertuang di dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegakan hokum. Dalam sistem tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini public lewat wakil-wakilnya, juga media massa, agamawan, cendikiawan dan LSM dengan pemerintah.
Dengan demikian, sistem hukumnya ditandai dengan konsep impartiality, consistency, opennessm predictability dan stability. Semua warga Negara mempunyai kedudukan sama di depan hokum (equality before the law). Ciri ini yang di sebut dengan rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada prosedur melupakan substansi demokrasi. Substansi demokrasi yaitu mewujudkan kehendak rakyat, yang dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR.
Dalam masyarakat tradisional dengan rata-rata tingkat pendidikan warga masyarakat yang masih rendah, mudah menjadi manipulasi politik, sehingga gampang dibawa kepada fanatisme politik yang berlebihan. Dalam kondisi demikian, budaya paternalistis/primordial dengan pola panutan yang kental akan dijadikan panutan paradigma panutan tersebut menuntut adanya sosok pemimpin/panutan yang mampu memberi contoh/teladan/baik dan bijak.
Karena itulah dalam masyarakat yan paternalistis sebagaimana tergambar di depan, peran para intelektual, budayawan, idealis, agamawan tetap diharapkan. Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran kelompok-kelompok tersebut di atas. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan penegakan hokum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan formal mampu memantapkan niat untuk mewujudkan politik hokum yang sudah ditetapkan, diikuti langkah konkret dengan mengangkat taraf hidup, kesejahteraan dan ketenteraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah yang tidak/kurang beruntung. Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk kemiskinan cultural yang harus diperagai dan tidak menambah jumlah kemiskinan structural, hal ini sangat terkait dengan penegakan HAM.
Persoalan ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah dalam arti luas, pimpinan eksekutif, legislative dan yudikatif mampu dan mau menerjemahkan kehendak rakyat, sehingga “jeritan” rakyat menjadi perhatian utama. Kemauan para pemimpin tersebut mencerminkan asas demokrasi, suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) dapat terlaksana. Kalaulah rakyat sudah mendapat perhatian wajar sebagaimana harapan di depan, maka partisipasi masyarakat akan muncul/bangkit.
Masalah partisipasi masyarakat dalam politik, menurut Jeffery M. Paige, dibedakan menjadi 4 macam, yakni:
1.      Partisipasi dengan pengetahuan/kesadaran masyarakat tinggi dan keperceyaan yang tinggi pula terhadap system politik yang berlaku. Anggota masyarakat akan dan mempunyai tanggung jawab besar dalam mengembangkan kewajiban-kewajiban yang ada demi Negara dan Bangsa.
2.      Partisipasi dan politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada system politik rendah. Situasi ini dapat mengakibatkan munculnya golongan sempalan ( dissendent ) yang dapat mengarah radikal.
3.      Partisipasi politik dengan kesadaran politik rendah dan kepercayaan tinggi terhadap politik yang ada. Dalam situasi inni masyarakat lebih pasif, hanya menerima system yang berlaku.
4.      Partisipasi politik dalam masyarakat yang rendah kesadaran politik dan kepercayaannya. Dalam masyarakat tersebut, anggota masyarakat dalam situasi tertekan dan takut atas kesewenang-wenangan penguasa.
Menurut Alfian, partisipasi pertama yang ideal dan hanya mungkin dalam sistem yang demokratis. Untuk mengarahkan kepada satu partisipasi model pertama, sekaligus mempunyai makna penegakan hokum, maka pendidikan politik yang benar dan terbuka harus dijalankan. Keterbukaan akan menumbuhkan kepercayaan anggota masyarakat kepada penguasa karena mereka merasa dipercaya dan tidak dianggap sebagai warga kelas dua.
Bidan politik yang selalu bergelimang dengan kekuasaan sering terjadi manipulasi politik. Dengan demikian sering terjadi dalam sistem politik yang dalam pelaksanaannya berbeda dengan ketentuan undang-undang yang ada, walaupun produk undang-undang tersebut hasil keputusan politik tingkat tinggi. Manipulasi politik terjadi bila mana ada usaha untuk mempergunakan peraturan permainan politik yang ada buat kepentingan perseorangan atau golongan tertentu.
Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu menghormati norma-norma hokum yang ada. Terciptanya kesadaran politik bersama-sama dengan kesadaran hokum sangat diharapkan dalam waktu yang relative bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegaran cukup tinggi, sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.
Hal ini menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis. Dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan seterusnya partisipasi politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik yang objektif, terbuka dan dialogis akan menciptakan kultur politik serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat meningkatkan rasa cinta tanah air, Negara dan kemanusiaan.
Sistem hukum dilihat dari perjuangan dinamika politik selalu bersifat kompromistis. Hukum merupakan produk politik, hasil “kompromi” dan akomodasi antarkepentingan/kekuatan politik pada lembaga politik, seterusnya disalurkan lewat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati bersama.
Ketika hukum mulai efektif, para politisi, pejabat dan seluruh warga harus tunduk kepada peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian, kompromi politik telah terjadi dalam bentuk undang-undang, tidak ada satu kelompok atau perseorangan yang berada di atas undang-undang, siapapun dengan jabatan apa pun harus tunduk kepada hukum.
Dengan demikian di masa transisi dan konsolidasi demokrasi maupun liberalisasi politik menuju demokratisasi, menjadi sangat penting konstitusi dan hukum benar-benar di tata sehingga menjadi lebih responsif, dan konstitusi harus dikawal dengan hak menguji oleh pengadila, agartidak terulang kembali otoritarian yang represif.
Seluruh permasalahan yang ditimbulkan dalam hal ini adalah tidak terlepas dari Human Rights (Hak Azasi Manusia)[3]dan bagaimana penyelesaiannya. Terdapat 2 (dua) hukum dalam menghukum para pelaku kejahatan tersebut antara lain adalah hukum yang berlaku pada zaman rezim tersebut berkuasa dan hukum yang baru dibuat pada masa transisi.[4]
Permasalahan yang timbul adalah bagaimana cara membersihkan seluruh rezim komunis dan para pejabatnya, hal ini menjadikan hal yang utama pada kalangan internasional.[5]
Pada masa perubahan/ transisi ada konsep penengah yang lain dari aturan hukum transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional menempatkan institusi-institusi dan proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestik. Dalam periode perubahan politik, hukum internasionallah yang menawarkan suatu konstruksi alternatif dari hukum yang ada, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang substansial, tetap berlangsung kekal.[6]
Hukum internasional berperan untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk menjustifikasi legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip retroaktif.[7]
Gerakan yang timbul setelah masa transisi adalah komisi kebenaran dan rekonsiliasi untuk menegakkan konsepsi keadilan transisional[8] (transisional justice). Adapun yang diadili pada Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi adalah kejahatan melawan kedamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.[9]




















BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Jadi, sesuai dengan pernyataan di atas penulis ingin menyimpulkan bahwasannya: Sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945 yang mengamanatkan hendak dibangunnya Negara demokrasi tersebut, maka UUD 1945 mengimplementasikan ke dalam pasal-pasalnya tentang hak-hak asasi manusia. Bangsa Indonesia sejak awal mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk menjunjung tinggi HAM, oleh karena itu bangsa Indonesia selalu berusaha untuk menegakkannya sejalan dan selaras dengan falsafah bangsa Pancasila dan perkembangan atau dinamika jamannya.
Suatu negara apabila kondisi politiknya berubah maka hukumnya akan berubah juga. Jadi hukum adalah suatu alat untuk melegitimasi kekuasaan. Berbagai kepentingan menjadi satu dan kepentingan nasionallah yang ada pada suatu hukum.
 Hukum pada umumnya dipahami sebagai mengikuti konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik. Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebagaimana kelompok realis menekankan pada kaitan yang erat antara hubungan hukum dan politik.
Menurut Moh. Mahfud Mahmudin, di Indonesia berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa ada intervensi antara politik terhadap hukum. Dalam realitanya, hukum tidak steril dalam pembentukannya. Politik sering berperan dalam pembuatan dan pelaksanaannya.
 Terhadap keadaan ini, transisi politik di berbagai cenderung menyelesaikannya dengan membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi (the truth and reconciliation commission) guna mencapai keadilan trasisional (transitional justice), dimana antara pelaku pelanggar HAM berat dan korban pelanggaran HAM berat difasilitasi oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan komitmen duduk sama rendah dan berdiri sama tinggi, untuk menguak masa lalu guna menatap dan merenda masa depan yang lebih baik , baik dengan disertai syarat reparasi (reparation) dan atau tanpa kewajiban bagi pelaku untuk memberikan dan hak korban untuk menuntut atau menerima restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
B. SARAN
       Seperti yang telah diulas dalam wacana di atas, mengenai hubungan antara demokrasi dan hak asasi manusia ( HAM ) sangatlah erat. Dan dapat dikatakan kedua hal tersebut memiliki yang ikatanyang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam Negara yang demokrasi perkembangan HAM telah kita liat bersama. Perjalanan kedua hal tersebut sudah dimulai sejak dulu, namun masih banyak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM ).
         Sementara sebuah Negara demokrasi hendaknya dapat dinilai dari unsur sejauh mana penegakkan atau pelaksanaan hak asasi manusia itu dapat dijalankan. Demokrasi yang bercirikan kebebasan melingkupi hak-hak mendasar tersebut. Jadi hendaknya demokrasi dan penegakkan HAM itu harus sejalan, untuk mencapai kesejahteraan manusia dan pengakuan atas hak dasar setiap orang yakni Hak Asasi Manusia ( HAM )


                                                                                                         





DAFTAR PUSTAKA
Arinanto, Satya. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta.
A. E. Priyono. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi
E-Learning. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. 2008. h. 106.
 di Indonesia.
Priyono, A. E. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di Indonesia.
Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.





[1] Satya Arinanto. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Cet. 3. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.

[2].  Ibid.

[3] HAM/ Hak Azasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh siapapun. Organisasi. Pengertian, Macam dan Jenis Hak Azasi Manusia/ HAM yang Berlaku Umum Global – Pelajaran Ilmu PPKN/ PMP Indonesia...

[4] Satya Arinanto. Loc cit. hal. 241 – 243. 

[5] Loc cit. hal. 130
[6] Ibid
[7] Ibid
[8]. A. E. Priyono. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di Indonesia.
[9] .  E-Learning. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi


SEPERTI BIASA SAYA MENYEDIAKAN LINK DIMANA ANDA BISA MENDONLOAD NYA 
DOWNLOAD DI SINI KLIK