BAB I
PENDAHULUAN
A.LATAR
BELAKANG
Seiring dengan perjalanan
sejarah peradaban umat manusia, perkembangan
di berbagai sendi-sendi kehidupan pun mulai digalakkan. Setiap orang atau
setiap bangsa memacu gerak langkah menuju kemajuan. Sendi-sendi kehidupan mulai
dibenahi untuk menyesuaikan antara perkembangan teknologi dan peradaban. Dalam
realitanya perkembangan sistim ketatanegaraan mulai berkembang dari teori-teori
para filsuf kuno yang banyak di adopsi oleh bangsa-bangsa yang ada di seluruh
dunia. Perkembangan system ketatanegaraan ini memacu atau berkaitan dengan
perkembangan di bidang lainnya. Setiap Negara menganut system ketatanegaraan.
Salah satu contohnya adalah sistem pemerintahan demokrasi. Salah satu sistem
pemerintahan klasik yang sudah ada sejak dulu kala. Sejak zaman Yunani kuno yang
kemudian dikembangkan oleh para penganut aliran-aliran yang sependapat dengan
pembuat sistem pemerintahan tersebut.
Demokrasi sebagai dasar hidup bernegara pada umumnya
memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat memberikan ketentuan
dalam masalah-masalah pokok yang mengenai kehidupannya, termasuk dalam menilai
kebijaksanaan tersebut menentukan kehidupan rakyat. Dengan demikian Negara
demokrasi adalah Negara yang diselenggarakan berdasarkan kehendak dan kekuasaan
rakyat atau jika ditinjau dari sudut organisasi ia berarti sebagai suatu
pengorganisasian Negara yang dilakukuan oleh rakyat sendiri atau atas
persetujuan rakyat karena kedaulatan berada di tangan rakyat.
Demikian juga dengan perkembangan HAM di dunia ini.
Perjalanan panjang HAM yang sudah melalui banyak lika-liku yang naik turun.
Perspektif sejarah dan sosial-kultural gagasan tentang HAM sebenarnya telah
berlangsung selama berabad-abad. Di Eropa paling tidak kita mulai mengenal dari
Dictatus Papae pada abad ke 11 yang kemudian disusul dengan Magna
Charter tahun 1215; sementara di Timur sebenarnya tercatat telah ada Piagam
Madinah yang disusun Negara Islam awal yang juga memuat perlindungan HAM
seperti yang dikenal pada zaman modern.
Namun tidak dapat dipungkiri bahwa meskipun secara histories
perlindungan HAM di dalam kehidupan bernegara telah dimulai sejak berabad-abad
yang lampau tetapi pada umumnya dipahami bahwa wacana ini baru berkembang pesat
setelah revolusi Amerika dan revolusi Perancis sebab sejak revolusi itulah
upaya mengimplementasikan gagasan John Locke (1632-1704), Montesquiew
(1689-1755) dan penggagas-penggagas lainnya tentang perlindungan HAM di bawah
pemerintahan yang demokratis. Tonggak sejarah kedua revolusi itu bagi
perlindungan HAM bisa dilacak dari Declaration of Independence pada
tahun 1776 yang disusul dengan The Virgina Declaration of Rights tahun
1791 di Amerika Serikat yang selanjutnya memberi ilham bagi revolusi Prancis
pada tahun 1789 dengan Declaration des de ‘Ihommeet du citoyen.
Di dalam konstitusi-konstitusi Negara-negara demokrasi
modern setelah itu perlindungan HAM menjadi isi pokoknya sehingga dapat
disimpulkan bahwa konstitusi sebenarnya merupakan instrument utama bagi
perlindungan HAM sebab setiap pemerintahan kekuasaannya dibatas oleh konstitusi.
Di dalam ilmu politik dan hokum tata Negara konstitusi memang memiliki fungsi
untuk membatasi kekuasaan pemerintah agar tidak tampil secara sewenang-wenang.
Demikian juga
dengan siklus demokrasi, demokratisasi bergerak dari rezim otoritarian memasuki
dan melewati masa transisi baik transisi politik atau transisi demokrasi
sebagai tahap awal, selanjutnya menuju dan memasuki masa konsolidasi dan
diharapkan dapat berakhir dengan masa pematangan dan pendewasaan demokratisasi.
Proses atau masa transisi demokrasi dapat pula berjalan sendiri terpisah dan
tanpa serta saling mendahului dengan liberalisasi politik, namun dapat pula
berjalanan beriringan dengan liberalisasi politik, menuju terciptanya perluasan
dan perlindungan hak-hak dan kebebasan individu maupun kelompok dari kewewengan
negara/penguasa sebagai pengewejantahan pelaksanaan perlindungan hak-hak dasar
warga negara oleh negara, perubahan struktur pemerintahan dan adanya
pertanggungjawaban penguasa kepada rakyat, yang dituangkan dalam satu kontrak
sosial dan kontrak politik dalam suatu konstitusi.
Oleh karenanya
dibutuhkan adanya perubahan atau reformasi konstitusi dari semula berkarakter
represif menjadi berkarakter responsif, sehingga peraturan perundang-undangan
yang dibuat pada masa otoritarian, yang menghambat proses demokratisasi dimasa
transisi dicabut dan diganti dengan peraturan perundangan-undangan yang
responsif.
.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana hubungan antara
demokrasi dan HAM di era modern khususnya di Indonesia?
2. Bagaimana HAM dalam Transisi
Politik sentralistis ke sistem Politik Demokratis?
3. Suatu masa
transisi dari otoritarian menuju demokrasi, juga dihadapkan pada suatu keadaan,
bagaimana menyikapi masa lalu yang otoritarian yang di dalamnya sarat dengan
pelanggaran berat hak asasi manusia (HAM) berat?.
BAB II
PEMBAHASAN
A.LANDASAN
TEORI
Demokrasi
adalah suatu ideologi negara yang berasal, dari, dan untuk rakyat. Merupakan
pengharapan baru bagi pemimpin-pemimpin negara yang memakai paham demokrasi,
antara lain: Yunani, Spanyol, Argentina, Chile, Brazil, Uruguay, Polandia,
Jerman Timur, Hongaria, Afrika Selatan, dan lain sebagainya. Untuk memajukan
negara yang sudah demokrasi maka tidak terlepas dari rekonsiliasi dengan masa
lampau negaranya yang berupa pelanggaran HAM.
Menurut
Samuel P. Huntington, negara yang otoriter dulunya berubah menjadi demokrasi
adalah lebih dari 40 (empat puluh) negara. Adapun perubahan tersebut dengan
cara, antara lain :
- Ada
perubahan dengan cara yang signifikan;
- Penguatan kelompok reformis yang mengambil
inisiatif untuk mendorong transisi;
- Negosiasi dengan kelompok oposisi; dan
- Intervensi Amerika Serikat sebagai negara adi
kuasa.
Menurut
Anthony Giddens fungsi pemerintah dalam hal transisi, antara lain :
- Menyediakan sarana untuk kepentingan-kepentingan
yang beragam;
- Menawarkan sebuah forum untuk rekonsiliasi
kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
- Menciptakan dan melindungi ruang publik yang
terbuka, dimana debat bebas mengenai isu isu kebijakan bisa terus dilanjutkan;
- Menyediakan beragam hal untuk memenuhi kebutuhan
warga negara, termasuk bentuk-bentuk keamanan dan kesejahteraan yang kolektif;
- Mengatur pasaar menurut kepentingan publik, dan
menjaga persaingan pasar ketika monopoli mengancam;
- Menjaga keamanan sosial melalui kontrol sarana
kekerasan dan melalui penetapan kebijakan;
- Mendukung perkembangan sumber daya manusia melalui
peran utamanya dalam sistem pendidikan;
- Menopang sistem hukum yang efektif;
- Memainkan peran ekonomis secara langsung, sebagai
pemberi kerja dalam intervensi makro maupun mikro – ekonomi, plus penyediaan
infrastruktur;
- Membudayakan masyarakat – pemerintah merefleksikan
nilai dan norma yang berlaku secara luas, tetapi juga bisa membantu membentuk
nilai dan norma tersebut, dalam sistem pendidikan dan sistem-sistem lainnya;
dan
- Mendorong aliansi regional dan transnasional,
serta sasaran-sasaran global.
Negara
totaliter bukan sekedar hanya mengontrol kehidupan masyarakat, mempertahankan
kekuasaan sebuah elit politik, juga bukan sekedar rezim seorang dictator yang
haus kuasa, tetapi juga sebuah system politik yang melebihi bentuk kekuasaan
Negara yang mengontrol, menguasai, dan memobilisasi segala segi kehidupan
masyarakat.
Ada
2 (dua) rezim totaliter yang dikenalpada abad ini, yaitu: pemerintah Nasional Sosialisme
(NAZI),Adolf Hitler(1933-1945) di jerman; dan kekuasaan Bolshevisme Soviet di
bawah kepemimpinan Jossif W. Stalin (1922-1953), yang kemudian menyebar ke
Negara lain si Eropa Timur, Cina, Korut,
dan Indocina.
Dikarenakan
adanya perubahan politik dari totaliter ke demokrasi yang disebut dengan
transisi politik maka diperlukan kebijakan-kebijakan baru, yang menurut Solon
adalah memberikan perlindungan yang besar terhadap populasi penduduk, langkah
ini disebut dengan kekuasaan hukum termasuk di dalamnya adalah
instrumen-instrumen demokratis dari majelis rakyat dan pemeriksaan pengadilan
yang adil, disamping itu juga perlindungan kepada hak-hak anak juga harus
diperhatikan.
Selanjutnya
dikembangkan oleh Bronkhorst yaitu : memperbaharui tatanan sosial baru; membuat
suatu propaganda yang mengatakan bahwa salah untuk menghina pihak-pihak yang
dulu kaya dan sangat berkuasa dengan tujuan untuk menghindari proses balas
dendam dikarenakan pihak-pihak yang dulunya berkuasa dapat dengan mudah mengambil
alih kekuasaan mereka kembali. Sumber daya yang ada pada penguasa yang lama
adalah sangat diperlukan untuk proses rekonstruksi sebuah negara; dan melakukan
pembersihan pada setiap lini pemerintahan.
Pada
masa transisi politik timbul suatu dilema dalam hal penghormatan terhadap
aturan-aturan hukum, dimana hal ini berkaitan dengan permasalahan keadilan pada
rezim yang menggantikan. Pertanyaan yang muncul adalah dalam hal apa yang
membawa rezim masa lalu ke pengadilan. Dalam periode ini, mahkamah-mahkamah
konstitusi (constitutional courts) yang baru didirikan telah memikul
beban institusional yaitu bagaimana menetapkan suatu sistem hukum yang rule
of law.
Bahwa
ada suatu hukum yang mengatur dimana jika ada kekuasaan yang otoriter berkuasa
maka masyarakat pada negara tersebut menginginkan suatu perubahan ke arah yang
lebih baik. Pada masa perubahan dari rezim otoriter ke rezim demokrasi disebut
transisi politik.[1]
Perubahan
situasi politik ke arah otoriter biasanya dilakukan dengan cara pemberontakan
oleh pihak militer. Namun, hal tersebut tidak terlepas dari kekuasaan orang
sipil yang menggerakkan atau bisa disebut sebagai otak dari pergerakan itu.[2]
B.
JAWABAN PERMASALAHAN
Dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat, dijelaskan bahwa
Negara Indonesia yang dicita-citakan dan hendak dibangun adalah Negara Republik
Indonesia yang berkedaulatan rakyat atau Negara demokrasi. HAM adalah salah
satu tiang yang sangat penting untuk menopang terbangun tegaknya sebuah Negara
demokrasi.
Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan pada tanggal 18 Agustus
1945 merupakan piagam HAM pertama Indonesia yang lahir lebih dahulu disbanding
pernyataan HAM se dunia oleh PBB pada tanggal 10 Desember 1948. Komitmen kuat
tentan HAM sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 kemudian dijabarkan ke
dalam pasal-pasal atau batang tubuh UUD 1945. Diantaranya terdapat dalam
beberapa pasal yakni pasal 28A sampai pasal 28 J.
Namun dengan adanya berbagai pelanggaran HAM yang begitu
banyak, maka dipandang belum cukup apabila tentang HAM hanya sebagai mana
tercantum dalam piagam HAM yang ada selama ini. Untuk itu perlu adanya
ketetapan MPR yang khusus memuat tentang HAM. Tap MPR yang dimaksudkan sebagai
HAM terbaru itu adalah ketetapan No. XVII/MPR/1998. Selain itu juga
terbentuknya UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi manusia merupakan salah
satu bentuk perkembangan dari pengakuan HAM di Indonesia.
Lahirnya ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 dimaksudkan untuk
memperkuat dan memantapkan komitmen bangsa akan pentingnya perlindungan HAM
sebagaimana telah diatur dalam Pembukaan dan UUD 1945, oleh karena itu Tap
tersebut menegaskan bahwa:
1. Menugaskan kepada Lembaga-lembaga
Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah untuk menghormati, mengakkan dan
menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat.
2. Menugaskan kepada Presiden
Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
meratifikasi berbagai instrument Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hak asasi
manusia sepanjang tidak bertentangan dengan Pancasila dan Undang-undang Dasar
1945.
3. Penghormatan, pengakan dan
penyebarluasan hak asasi manusia oleh masyarakat dilaksanakan melalui gerakan
kemasyarakatan atas dasar kesadaran dan tanggungjawab sebagai warga Negara
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
4. Pelaksanaan penyuluhan,
pengkajian, pemantauan, penelitian dan mediasi tentang hak asasi manusia,
dilakukan oleh komisi nasional hak asasi manusia yang ditetapkan oleh
Undang-undang.
Bicara sisitem politik
pada intinya bicara pilihan system politik. System politik
dictator/otoriter/sentralisti/absolutism atau sisitem politik demokratis/populis/kerakyatan.
Walaupun dalam prakteknya terdapat varian antara kedua sisitem tersebut. Dalam
kedua sisitem tersebut system politik mempunyai hubungan timbale balik dengan
hukum serta berdampak langsung terhadap penegakan dan pengakuan terhadap HAM.
Dalam sistem politik dictator, hokum yang dihasilkan
berwatak represif, mempertahankan status quo, mempertahankan kepentingan
penguasa. Dalam sistem terutama HAM tidak pernah mendapat prioritas.
Pemerintahan dictator memiliki kekuasaan mutlak dan sentralistis, aparat dan
pejabat Negara di bawah control/kendali penguasa. Dalam sistem tersebut,
oposisi tidak diberi ruang gerak dan kalau ada lebih sebagai asesoris politik
saja.
Dalam situasi demikian, sistem komando menjadi pegangan para
pejabat di semua lini pemerintahan. Dengan demikian, di semua strata komando
ditempati kroni dan orang-orang kepercayaannya saja. Segala bentuk aktivitas
warga yang terkesan berbeda dengan garis penguasa dibatasi dan dilarang.
Sebaliknya dalam sistem politik demokratis, watak hokum yang
dihasilkan bersifat responsive, akomodatif. Substansi hokum yang tertuang di
dalam beragam peraturan perundangan yang ada menghormati dan menjunjung tinggi
hak asasi manusia. HAM menjadi salah satu ukuran penegakan hokum. Dalam sistem
tersebut terjalin komunikasi serasi antara opini public lewat wakil-wakilnya,
juga media massa, agamawan, cendikiawan dan LSM dengan pemerintah.
Dengan demikian, sistem hukumnya ditandai dengan konsep
impartiality, consistency, opennessm predictability dan stability. Semua warga
Negara mempunyai kedudukan sama di depan hokum (equality before the law). Ciri
ini yang di sebut dengan rule of law. Untuk tujuan tersebut, demokrasi
dikatakan gagal kalau hanya menekankan pada prosedur melupakan substansi
demokrasi. Substansi demokrasi yaitu mewujudkan kehendak rakyat, yang
dibuktikan dari perjuangan wakil-wakilnya di DPR.
Dalam masyarakat tradisional dengan rata-rata tingkat pendidikan
warga masyarakat yang masih rendah, mudah menjadi manipulasi politik, sehingga
gampang dibawa kepada fanatisme politik yang berlebihan. Dalam kondisi
demikian, budaya paternalistis/primordial dengan pola panutan yang kental akan
dijadikan panutan paradigma panutan tersebut menuntut adanya sosok
pemimpin/panutan yang mampu memberi contoh/teladan/baik dan bijak.
Karena itulah dalam masyarakat yan paternalistis sebagaimana
tergambar di depan, peran para intelektual, budayawan, idealis, agamawan tetap
diharapkan. Dengan demikian, perubahan politik memerlukan pula pemikiran
kelompok-kelompok tersebut di atas. Selain itu, salah satu kunci mempertahankan
penegakan hokum dan stabilitas politik lebih lanjut, selain para pimpinan
formal mampu memantapkan niat untuk mewujudkan politik hokum yang sudah
ditetapkan, diikuti langkah konkret dengan mengangkat taraf hidup,
kesejahteraan dan ketenteraman semua anggota masyarakat, terutama lapisan bawah
yang tidak/kurang beruntung. Lebih-lebih kalau keterpurukan tersebut berbentuk
kemiskinan cultural yang harus diperagai dan tidak menambah jumlah kemiskinan
structural, hal ini sangat terkait dengan penegakan HAM.
Persoalan ini hendaknya mendapat perhatian pemerintah dalam
arti luas, pimpinan eksekutif, legislative dan yudikatif mampu dan mau
menerjemahkan kehendak rakyat, sehingga “jeritan” rakyat menjadi perhatian
utama. Kemauan para pemimpin tersebut mencerminkan asas demokrasi, suara rakyat
adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) dapat terlaksana. Kalaulah rakyat sudah
mendapat perhatian wajar sebagaimana harapan di depan, maka partisipasi
masyarakat akan muncul/bangkit.
Masalah partisipasi masyarakat dalam politik, menurut
Jeffery M. Paige, dibedakan menjadi 4 macam, yakni:
1.
Partisipasi
dengan pengetahuan/kesadaran masyarakat tinggi dan keperceyaan yang tinggi pula
terhadap system politik yang berlaku. Anggota masyarakat akan dan mempunyai
tanggung jawab besar dalam mengembangkan kewajiban-kewajiban yang ada demi
Negara dan Bangsa.
2.
Partisipasi
dan politik tinggi, tetapi kepercayaan kepada system politik rendah. Situasi
ini dapat mengakibatkan munculnya golongan sempalan ( dissendent ) yang dapat
mengarah radikal.
3.
Partisipasi
politik dengan kesadaran politik rendah dan kepercayaan tinggi terhadap politik
yang ada. Dalam situasi inni masyarakat lebih pasif, hanya menerima system yang
berlaku.
4.
Partisipasi
politik dalam masyarakat yang rendah kesadaran politik dan kepercayaannya.
Dalam masyarakat tersebut, anggota masyarakat dalam situasi tertekan dan takut
atas kesewenang-wenangan penguasa.
Menurut Alfian, partisipasi pertama yang ideal dan hanya
mungkin dalam sistem yang demokratis. Untuk mengarahkan kepada satu partisipasi
model pertama, sekaligus mempunyai makna penegakan hokum, maka pendidikan
politik yang benar dan terbuka harus dijalankan. Keterbukaan akan menumbuhkan
kepercayaan anggota masyarakat kepada penguasa karena mereka merasa dipercaya
dan tidak dianggap sebagai warga kelas dua.
Bidan politik yang selalu bergelimang dengan kekuasaan
sering terjadi manipulasi politik. Dengan demikian sering terjadi dalam sistem
politik yang dalam pelaksanaannya berbeda dengan ketentuan undang-undang yang
ada, walaupun produk undang-undang tersebut hasil keputusan politik tingkat
tinggi. Manipulasi politik terjadi bila mana ada usaha untuk mempergunakan
peraturan permainan politik yang ada buat kepentingan perseorangan atau
golongan tertentu.
Sehubungan dengan itu, seorang politikus hendaknya juga
seorang negarawan yang mempunyai kemantapan wawasan yang luas dan selalu
menghormati norma-norma hokum yang ada. Terciptanya kesadaran politik
bersama-sama dengan kesadaran hokum sangat diharapkan dalam waktu yang relative
bersamaan. Kesadaran politik tinggi berarti kesadaran bernegaran cukup tinggi,
sehingga pada saatnya kesadaran hukumnya akan mengiringi pula.
Hal ini menunjang sistem politik yang sehat dan demokratis.
Dari sinilah perlu dikembangkan pendidikan politik dan seterusnya partisipasi
politik bagi seluruh warga negaranya. Lewat pendidikan politik yang objektif,
terbuka dan dialogis akan menciptakan kultur politik serta kepercayaan
masyarakat terhadap sistem politik yang ada, dan pada akhirnya dapat
meningkatkan rasa cinta tanah air, Negara dan kemanusiaan.
Sistem hukum dilihat dari perjuangan dinamika politik selalu
bersifat kompromistis. Hukum merupakan produk politik, hasil “kompromi” dan
akomodasi antarkepentingan/kekuatan politik pada lembaga politik, seterusnya
disalurkan lewat peraturan perundang-undangan yang harus ditaati bersama.
Ketika hukum mulai efektif, para politisi, pejabat dan
seluruh warga harus tunduk kepada peraturan perundangan yang berlaku. Dengan
demikian, kompromi politik telah terjadi dalam bentuk undang-undang, tidak ada
satu kelompok atau perseorangan yang berada di atas undang-undang, siapapun
dengan jabatan apa pun harus tunduk kepada hukum.
Dengan
demikian di masa transisi dan konsolidasi demokrasi maupun liberalisasi politik
menuju demokratisasi, menjadi sangat penting konstitusi dan hukum benar-benar
di tata sehingga menjadi lebih responsif, dan konstitusi harus dikawal dengan
hak menguji oleh pengadila, agartidak terulang kembali otoritarian yang
represif.
Seluruh
permasalahan yang ditimbulkan dalam hal ini adalah tidak terlepas dari Human
Rights (Hak Azasi Manusia)[3]dan
bagaimana penyelesaiannya. Terdapat 2 (dua) hukum dalam menghukum para pelaku
kejahatan tersebut antara lain adalah hukum yang berlaku pada zaman rezim
tersebut berkuasa dan hukum yang baru dibuat pada masa transisi.[4]
Permasalahan
yang timbul adalah bagaimana cara membersihkan seluruh rezim komunis dan para
pejabatnya, hal ini menjadikan hal yang utama pada kalangan internasional.[5]
Pada
masa perubahan/ transisi ada konsep penengah yang lain dari aturan hukum
transisional adalah hukum internasional. Hukum internasional menempatkan institusi-institusi
dan proses-proses yang melampaui hukum dan politik domestik. Dalam periode
perubahan politik, hukum internasionallah yang menawarkan suatu konstruksi
alternatif dari hukum yang ada, walaupun terdapat suatu perubahan politik yang
substansial, tetap berlangsung kekal.[6]
Hukum
internasional berperan untuk mengurangi dilema dari aturan hukum yang
dilontarkan oleh keadilan pengganti dalam waktu transisi dan untuk
menjustifikasi legalitas berkaitan dengan perdebatan mengenai prinsip
retroaktif.[7]
Gerakan
yang timbul setelah masa transisi adalah komisi kebenaran dan rekonsiliasi
untuk menegakkan konsepsi keadilan transisional[8]
(transisional justice). Adapun yang diadili pada Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi adalah kejahatan melawan kedamaian, kejahatan perang, dan
kejahatan terhadap kemanusiaan.[9]
BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Jadi, sesuai dengan pernyataan di atas penulis ingin
menyimpulkan bahwasannya: Sesuai dengan jiwa dan semangat Pembukaan UUD 1945
yang mengamanatkan hendak dibangunnya Negara demokrasi tersebut, maka UUD 1945
mengimplementasikan ke dalam pasal-pasalnya tentang hak-hak asasi manusia.
Bangsa Indonesia sejak awal mempunyai komitmen yang sangat kuat untuk
menjunjung tinggi HAM, oleh karena itu bangsa Indonesia selalu berusaha untuk
menegakkannya sejalan dan selaras dengan falsafah bangsa Pancasila dan
perkembangan atau dinamika jamannya.
Suatu negara
apabila kondisi politiknya berubah maka hukumnya akan berubah juga. Jadi hukum
adalah suatu alat untuk melegitimasi kekuasaan. Berbagai kepentingan menjadi
satu dan kepentingan nasionallah yang ada pada suatu hukum.
Hukum pada umumnya dipahami sebagai mengikuti
konsepsi idealis bahwa ia secara luas tidak dipengaruhi oleh konteks politik.
Sedangkan dalam konteks penyusunan teori hukum kritis, sebagaimana kelompok
realis menekankan pada kaitan yang erat antara hubungan hukum dan politik.
Menurut
Moh. Mahfud Mahmudin, di Indonesia berdasarkan penelitiannya menyimpulkan bahwa
ada intervensi antara politik terhadap hukum. Dalam realitanya, hukum tidak
steril dalam pembentukannya. Politik sering berperan dalam pembuatan dan
pelaksanaannya.
Terhadap
keadaan ini, transisi politik di berbagai cenderung menyelesaikannya dengan
membentuk komisi kebenaran dan rekonsiliasi (the truth and reconciliation
commission) guna mencapai keadilan trasisional (transitional justice), dimana
antara pelaku pelanggar HAM berat dan korban pelanggaran HAM berat difasilitasi
oleh komisi kebenaran dan rekonsiliasi, dengan komitmen duduk sama rendah dan
berdiri sama tinggi, untuk menguak masa lalu guna menatap dan merenda masa
depan yang lebih baik , baik dengan disertai syarat reparasi (reparation) dan
atau tanpa kewajiban bagi pelaku untuk memberikan dan hak korban untuk menuntut
atau menerima restitusi, kompensasi dan rehabilitasi.
B. SARAN
Seperti yang
telah diulas dalam wacana di atas, mengenai hubungan antara demokrasi dan hak
asasi manusia ( HAM ) sangatlah erat. Dan dapat dikatakan kedua hal tersebut
memiliki yang ikatanyang tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Dalam Negara
yang demokrasi perkembangan HAM telah kita liat bersama. Perjalanan kedua hal
tersebut sudah dimulai sejak dulu, namun masih banyak terjadi pelanggaran
terhadap Hak Asasi Manusia ( HAM ).
Sementara
sebuah Negara demokrasi hendaknya dapat dinilai dari unsur sejauh mana
penegakkan atau pelaksanaan hak asasi manusia itu dapat dijalankan. Demokrasi
yang bercirikan kebebasan melingkupi hak-hak mendasar tersebut. Jadi hendaknya
demokrasi dan penegakkan HAM itu harus sejalan, untuk mencapai kesejahteraan
manusia dan pengakuan atas hak dasar setiap orang yakni Hak Asasi Manusia ( HAM
)
DAFTAR
PUSTAKA
Arinanto, Satya. Hak Azasi
Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Jakarta.
A.
E. Priyono. Demiliterisasi
dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi
E-Learning.
Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi. 2008. h. 106.
di
Indonesia.
Priyono,
A. E. Demiliterisasi dan
Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di Indonesia.
Pusat
Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia. 2008.
[1]
Satya Arinanto. Hak Azasi Manusia dalam Transisi Politik di
Indonesia. Cet. 3. Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum
Universitas Indonesia. 2008.
[3]
HAM/ Hak Azasi Manusia adalah hak yang melekat pada diri setiap manusia sejak
awal dilahirkan yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat oleh
siapapun. Organisasi. Pengertian,
Macam dan Jenis Hak Azasi Manusia/ HAM yang Berlaku Umum Global – Pelajaran
Ilmu PPKN/ PMP Indonesia...
[4]
Satya Arinanto. Loc cit. hal. 241 – 243.
[5]
Loc cit. hal. 130
[6]
Ibid
[7]
Ibid
[8].
A. E. Priyono. Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam
Proses Demokratisasi di Indonesia.