BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan perbankan syariah
di Indonesia telah menjadi tolak ukur keberhasilan eksistensi ekonomi syariah.
Bank muamalat sebagai bank syariah pertama dan menjadi pioneer bagi bank
syariah lainnya telah lebih dahulu menerapkan system ini ditengah menjamurnya
bank-bank konvensional. Terbukti, krisis 1998 telah menenggelamkan bank-bank
konvensional dan banyak yang dilikuidasi karena kegagalan system bunganya.
Berbanding terbalik dengan bank muamalat yang justru mampu bertahan dari badai
krisis tersebut dan menunjukan kinerja yang meningkat.
Hal inilah yang mendorong
mulai dilirik system ekonomi syariah sebagai salah satu alternative bagi system
ekonomi Indonesia. Bahkan apabila ekonomi syariah diterapkan secara maksimal didukung
oleh instrumen keuangan dan produk- produk hukum yang memayungi, akan mampu
membawa Indonesia menjadi negara kuat secara ekonomi yang berbasis kerakyatan.
Untuk itu sangat dibutuhkan peran serta seluruh elemen masyarakat mulai dari
pemerintah maupun masyarakat sebagai pelaku dan user.
Dukungan pemerintah dalam hal
ini ditandai dengan adanya UU No 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah
Nasional dan UU No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, adanya Deputi
Gubernur Bank Indonesia bidang Perbankan Syariah, dan juga adanya Forum
komunikasi Ekonomi Syariah, Masyarakat ekonomi syariah dan penyelenggaraan
berbagai festival ekonomi syariah. yang diselenggarakan oleh Bank Indonesia
sebagai otoritas moneter di Indonesia.
Tumbuhnya bank-bank syariah atau
unit usaha syariah merupakan upaya yang dilakukan oleh bank plat merah maupun
swasta untuk mendukung perkembangan system ini. Pertumbuhan asset yang dimiliki
oleh perbankan syariah sampai dengan Juli 2008 hingga Maret 2009 tercatat 5
bank umum syariah (BUS), 26 unit usaha syariah (UUS) , dan 133 bank perkreditan
rakyat syariah (BPRS) dengan Total kantor BUS dan UUS telah mencapai 888
kantor.
Kemudahan dan pelayanan
menjadi ujung tombak untuk mengajak masyarakat turut serta mengembangkannya.
Seperti Bank Muamalat yang bekerjasama dengan kantor pos untuk produk shar-e,
dan atm dengan bank BCA yang notabene mempunyai ATM terbanyak dan tersebar
diseluruh penjuru Indonesia.
Tentunya, tak dapat dipungkiri
keinginan untuk menumbuh-kembangkan ekonomi syariah harus sejalan dengan
kemampuan sumber daya insani yang saat ini masih relative belum banyak memiliki
kemampuan dalam bidang ekonomi syariah dan sebagian besar dari mereka yang
bekerja pada bank syariah berasal dari bank konvensional. Penyerapan sumber
daya insani berdasarkan data Bank Indonesia per Maret 2009 terdapat 7000 orang
yang bekerja pada Bank umum Syariah, 2.178 orang pada Unit usaha Syariah dan
2.644 orang di BPRS.
Didukung penduduknya yang
sebagian besar muslim bahkan terbesar didunia dan pemenuhan perangkat yang
dibutuhkan, diharapkan perkembangan ekonomi syariah lebih maju seperti halnya
negara sahabat Malaysia dan Singapore yang terlihat lebih agresif. Dan pastinya di
dalam akad-akad kegiatan yang dilakukan oleh bank syariah menerapkan
perjanjian, dimana perjanjian tersebut harus berlandaskan syariah.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Hukum Perjanjian Syariah
Hukum
perjanjian atau hukum kontrak di Negara kita, setidak-tidaknya sebagaimana
terdapat dalam buku ketiga kitab undang-undang hukum perdata, di bangun di atas
fondasi atas kebebasan berkontrak. Setiap orang bebas memperjanjikan apapun
dengan orang lain, asalkan tidak bertentangan dengan undang-undang serta
kesusilaan. Dan setiap perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat para pihak
bagaikan undang-undang.
Sejauh manakah validitas asas
kebebasan berkontrak saat ini, satu setengah abad setelah berlakunya kitab
Undang-Undang Hukum Perdata di Negara asalnya.
Pada tahun 1974 seorang gurubesar
Amerika, Grant Gilmore, menulis buku berjudul “The Death of Contract”.
Asas kebebasan berkontrak belumlah
mati dalm arti sebenarnya. Namun memasuki dasawarsa delapanpuluhan makin banyak
penulis yang mensinyalir bahwa asas itu
telah semakin digerogoti.
Asas
kebebasan berkontrak kini setidak-tidaknya tidak lagi tanpil dalam
bentuknya yang utuh.
Pertama-tama karena pengaruh ajaran
tentang iktikad baik. Iktikad abik tidak hanya di syaratkan pada saat
dilaksanakannya perjanjian sebagaimana dia atur dalam pasal 1338 ayat 3 B.W.
yang berbunyi “suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Iktikad
baik itu harus sudah ada pada saat
dibuatnya perjanjian. Bahkan ia disyaratkan sebelum adanya perjanjian. Masa
yang kini dikenal sebagai masa pra-kontrak.(pre-contractuele fase).
Kedua,
karena pengaruh ajaran tentang penyalahgunaan keadaan, misbruik van omstandigheden ataupun undue influence.
Ketiga,
semakin banyaknya jumlah perjanjian yang dibuat dalam bentuk baku . Kontrak-kontrak standart yang
disodorkan oleh pihak kreditur atas dasar “take it or leave it”. Di tiada
kesempatan bagi pihak kreditur untuk menentukan syarat-syaratnya. “ bargaining position” dipegang pihak kreditur.
Keempat,
semakin bertambahnya peraturan-peraturan di bidang hukum ekonomi yang merupakan
“manatory rules of a public law nature “. Peraturan-peraturan ini bahkan memuat
ancaman kebatalan dialuar adanya paksaan, kesesatan, ataupun penipuan yang
selam ini kita kenal menurut dktrin hukum perjanjian.
Keseluruhan
pembatasan tadi bermuara asas yang oleh seorang gurubesar hukum perdata
belanda, Prof.Mr.J.M. Van Dunne, dinamakan sebagai asas kecermatan dalam
berkontrak.
Ketiga
tulisan berikut ini mencoba membahas masalah-masalah baru dalam perkembangan
perjanjian, khususnya membatasi asas kebebasan berkontrak tadi. Tulisan
pertama, yang di beri judul Undue Influence membahas perihal penyalahgunaan
keadaan. Sedangkan pengaruh peraturan-peraturan di bidang hukum ekonomi
terhadap hukum perjanjian dibahas dalam tulisan kedua dengan judul ; Tinjauan
Hukum Indonesia
dalm perselisihan Pinjaman Luar Negeri. Tulisan ketiga dan terakhir mambahas
perihal aspek-aspek hukum perjanjian kredit antara bank dengan nasabahnya,
khususnya perihal kontrak baku .
Hukum
perjanjian syari’ah Merupakan suatu perjanjian atau perikatan yang sengaja
dibuat secara tertulis, sehingga dapat digunakan sebagai alat bukti bagi para
pihak yang berkepentingan.
Dalam
fiqh muamalah, pengertian kontrak pejanjian masuk dalam bab pembahasan tentang
akad. Pengertian akad (al-‘aqd) secara bahasa dapat diartikan sebagai perikatan
atau perjanjian.
Jadi,
yang dimaksud dengan Hukum kontrak syariah adalah hokum yang mengatur
perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis berdasarkan
prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang berkepentingan
Hukum
perdata juga berlaku karena ditentukan oleh perjanjian. Artinya perjanjian yang
dibuat oleh para pihak menetapkan diterimanya kewajiban hukum untuk
dilaksanakan oleh para pihak. Perjanjian mengikat pihak yang membuatnya.
Perjanjian harus sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuatnya.
Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikat baik (pasal 1338 KUHPdt).
Perjanjian menciptakan hubungan hukum antara pihak–pihak yang membuatnya. Hubungan
hukum mengandung kewajiban dan hak yang bertimbal balik antara para pihak.
Hubungan hukum terjadi karena peristiwa hukum yang berupa perbuatan perjanjian
misalnya, Jual beli, sewa menyewa, hutang piutang. Ada 2 macam perjanjian yaitu :
1.
Perjajian harta kekayaan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan
hak yang bertimbal balik mengenai harta kekayaan. Ada 2 jenis :
perjanjian yang bersifat obligator artinya baru dalam taraf melahirkan
kewajiban dan hak;q
q
perjanjian yang bersifat zakelijk ( kebendaan ) artinya dalam taraf memindahkan
hak sebagai realisasi perjajian obligator.
2.
Perjanjian perkawinan yaitu perjanjian yang menimbulkan kewajiban dan hak suami
isteri secara bertimbal balik dalam hubungan perkawinan. Perjanjian terletak
dalam bidang moral dan kesusilaan.
Supaya penerimaan
kewajiban dan hak yang bertimbal balik lebih mantap maka pada perjanjian
tertentu pembuatannya dilakukan secara tertulis di depan Notaris.
2. Pelaksanaan Hukum Perjanjian Syariah dalam Perbankan Syari’ah
Bank Syariah di Indonesia didirikan pada tahun 1992,
pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang berkaitan
dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur dalam UU
No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun 1992
tentang Perbankan.
Dalam pasal 1 angka 3 :
Disebutkan pengertian bank umum adalah “bank yang
melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran”.
Sedangkan, yang dimaksud dengan prinsip syariah, disebutkan yaitu :
Dalam pasal 1 angka 13 :
“Aturan
perjanjian berdasarkan Hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan
dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan
sesuai dengan syariah”. Di Indonesia berlaku dua sistem perbankan, yaitu sistem
konvensional yang menggunakan sistem bunga dan sistem syariah yang berlandaskan
pada ketentuan Islam.
Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah
diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004.
Kegiatan-kegiatan itu antara lain sebagai berikut:
a. Penghimpunan
Dana
© Giro berdasarkan prinsip
wadi’ah :
Giro adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat diambil
sewaktu-waktu dengan menggunakan cek atau alat sejenis lainnya. Pada dasarnya,
wadi’ah merupakan akad titipan yang tidak memberikan wewenang kepada penerima
titipan untuk menggunakan benda yang dititipkan. Penerima titipan berhak untuk
mendapatkan upah untuk itu. Bagi bank yang menjadi pihak yang menerima titipan
dengan seijin nasabahnya sebagai pihak yang menitipkan, bank dapat menggunakan
dana milik nasabah dengan menjamin, bahwa bank akan mengembalikan dana itu
secara utuh. Bank memiliki tanggung jawab atas segala resiko yang terjadi pada
dana tersebut. Dalam kondisi titipan seperti ini, titipannya disebut dengan wadi’ah
yad adh-dhamanah. Sedangkan untuk titipan yang penerima titipan tidak
berhak untuk menggunakan benda titipan disebut dengan wadi’ah yad al-amanah.
Dari proses wadi’ah yad adh-dhamanah ini, tentunya bank tidak memperoleh
upah dari nasabah atas jasa titipannya, tetapi ia berhak mendapatkan semua
keuntungan yang diperoleh dari hasil penggunaan dana nasabah tersebut.
Sedangkan bagi nasabah, selain ia mendapatkan jaminan keamanan terhadap
dananya, biasanya ia memperoleh intensif dari bank. Pemberian intensif oleh
bank tidak diperjanjikan diawal akad dan jumlahnya tidak ditetapkan terlebih
dulu.
© Tabungan berdasarkan prinsip
wadi’ah dan atau mudharabah :
Tabungan adalah simpanan dana nasabah di bank yang dapat
diambil sewaktu-waktu oleh nasabah dengan menggunakan buku tabungan atau alat
lainnya tetapi tidak menggunakan cek. Prinsip wadi’ah pada tabungan digunakan
sama halnya dengan produk giro yang telah diuraikan diatas.
Prinsip mudharabah pada tabungan adalah antara nasabah dan
bank mengadakan akad mudharabah, yaitu nasabah menyimpan sejumlah dana kepada
bank untuk dikelola oleh bank. Dalam hal ini, hasil yang diperoleh dari
pengelolaan dananya akan dibagikan kepada nasabah sebagai pemilik dana
(shahibul maal) dan bank sebagai pengelola dana (mudharib). Besar bagi hasil
(nisbah) tersebut telah disepakati di awal akad.
© Deposito berjangka berdasarkan
prinsip mudharabah :
Deposito berjangka merupakan penyimpanan dana oleh nasabah
kepada bank dengan ketentuan waktu penarikan dana adalah dalam jangka waktu
tertentu sejak penyetoran dananya, seperti 30 hari, 90 hari, dan sebagainya.
Dalam hal ini, perikatan yang digunakan adalah mudharabah. Nasabah sebagai
shahibul maal dan bank sebagai mudharib saling terikat untuk melakukan bagi
hasil sesuai dengan nisbah yang telah ditentukan di awal akad.
b. Penyaluran Dana
1) Prinsip Jual Beli
§ Murabahah
Yaitu jual-beli dengan adanya tambahan dari harga asal.
Nasabah yang memiliki kebutuhan benda tertentu dapat mengajukan permohonan
kepada Bank Syariah untuk membeli benda tersebut. Benda yang telah dibeli oleh
bank, kemudian akan dijual kembali kepada nasabah dengan harga yang lebih
tinggi dari harga asal. Kelebihan harga ini tentunya didasarkan pada
kesepakatan diantara keduanya. Pembayaran yang dilakukan oleh nasabah biasanya
dalam bentuk angsuran, meskipun tidak dilarang untuk membayar secara tunai.
Sistem ini biasanya dilakukan untuk pembiayaan barang-barang investasi seperti
melalui letter of credit (L/C) dan pembiayaan persediaan sebagai modal
kerja.
§ Istishna
Bank sebagai penjual (shani’) mendapat pesanan dari nasabah
sebagai pembeli (mustashni’) dengan cara pembayaran dimuka, secara angsuran,
atau ditangguhkan pada waktu tertentu. Barang yang dibutuhkan oleh nasabah
tidak seketika itu ada, tetapi harus dilakukan proses pembuatannya terlebih
dahulu. Bank akan melakukan pemesanan kembali kepada perusahaan industri untuk
memperoleh barang yang dibutuhkan oleh nasabah. Dalam hal jual beli yang kedua
ini disebut juga dengan istishna parallel. Keuntungan yang diperoleh oleh bank
adalah berupa selisih harga dari nasabah dengan harga jual kepada pembeli.
Model perikatan istishna bisa dilakukan pada pembiayaan persediaan (inventory
financing) sebagai modal kerja.
§ Salam
Salam hampir sama dengan istishna. Pembayaran harga pada
salam dilakukan pada saat akad dilakukan. Sifat akad dari salam adalah mengikat
secara asli (thabi’i), yaitu mengikat semua pihak sejak awal. Pada perikatan
salam, nasabah berkedudukan sebagai pembeli (muslam), sedangkan bank sebagai
penjual (muslam ilaih). Bank juga dapat melakukan salam paralel dengan
produsen. Pada salam paralel bank adalah muslam dan produsen adalah muslam
alaih.
2) Prinsip Bagi Hasil
ª Mudharabah
Bank dan nasabah dapat melakukan kerjasama dalam mengadakan
suatu usaha. Dalam mudharabah, bank sebagai pemilik dana (shahibul maal)
menyediakan sejumlah dana untuk suatu usaha yang akan dikelola oleh nasabah
(mudharib). Pada awal akad, keduanya telah menyepakati nisbah yang akan
dibagikan dari hasil keuntungan yang diperoleh dari usahanya. Jenis mudharabah yang
dapat digunakan adalah mudharabah mutlaqah dan mudharabah muqayyadah. Dalam
mudharabah mutlaqah, pihak pemodal tidak berhak mengelola persekutuan secara
mutlak. Namun pihak mudharib lah yang berhak mengelola, sebab mudharabah
merupakan percampuran antara badan pengelola (pekerja) dengan modal, tetapi
bukan pemilik modal. Sehingga pemodal layaknya pihak yang berada di luar
persekutuan.
Mudharabah muqayyadah adalah akad syirkah yang mengharuskan
pekerja (mudharib) untuk mengikuti ketentuaan maupun pengarahan yang ditetapkan
oleh pemilik modal (shahibul maal) dalam mengelola usaha. Dengan demikian,
dalam persekutuan mudharabah ini, kewenangan yang diberikan kepada pihak
mudharib bersifat terbatas.
ª Musyarakah
Syirkah yaitu akad perjanjian antara orang-orang yang
berserikat dalam hal modal dan keuntungan. Dalam kerjasama ini
masing-masing pihak (bank dan nasabah) memberikan kontribusi dana untuk suatu
usaha tertentu dengan keuntungan dan resiko yang terjadi akan ditanggung bersama.
Aplikasinya dalam perbankan, musyarakah dapat dipergunakan untuk pembiayaan
proyek dan juga pemiayaan modal ventura .
3) Prinsip Sewa menyewa
Ø
Ijarah
Ijarah adalah pengambilan manfaat suatu benda, jadi dalam hal
ini bendanya tidak berkurang sama sekali, dengan perkataan lain dengan
terjadinya peristiwa sewa-menyewa, yang berpindah hanyalah manfaat dari benda
yang disewakan tersebut, dalam hal ini dapat berupa manfaat barang seperti
kendaraan, rumah, dan manfaat karya seperti pemusik, bahkan dapat juga berupa
karya pribadi seperti pekerja.
Dalam praktik, biasanya disebut dengan operational lease,
yaitu bank menyewakan barang yang dibutuhkan nasabah dalam rangka pemenuhan
kebutuhan usahanya. Nasabah memiliki kewajiban membayar harga sewa kepada bank.
Ø
Ijarah Muntahiya bi Tamlik (IMBT)
Sering kali barang yang disewakan kepada nasabah akan
merepotkan bank dalam hal pemeliharaanya. Oleh karena itu, bank dapat
memberikan opsi kepada nasabah untuk menjadi pemilik atas barang setelah masa
sewa telah berakhir. Hal ini yang diaplikasikan dalam bentuk financial lease
with purchase option, baik dalam bentuk pembiayaan produktif berupa
investasi maupun pembiayaan konsumtif.
4) Prinsip Pinjam-meminjam berdasarkan akad qardh
Utang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang,
dengan perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. Misalnya menghutang
uang Rp50.000,- akan dibayar Rp50.000,- pula. Perikatan jenis ini
bertujuan untuk menolong, bukan sebagai perikatan yang mencari untung
(komersil). Oleh karena itu, bank hanya akan mendapatkan kembali sejumlah modal
yang diberikan kepada nasabah. Bank syariah dapat menyediakan fasilitas ini
dalam bentuk sebagai berikut:
·
Sebagai dana talangan untuk jangka waktu
singkat, maka nasabah akan mengembalikannya dengan cepat, seperti compensating
balance dan factoring (anjak piutang).
·
Sebagai fasilitas untuk memperoleh dana cepat
karena nasabah tidak bisa menarik dananya, misalnya karena tersimpan dalam
deposito.
·
Sebagai fasilitas membantu usaha kecil atau
sosial.
5) Jasa Pelayanan
v
Wakalah
Berwakil ialah menyerahkan pekerjaan yang dikerjakan kepada
yang lain, agar dikerjakannya (wakil) semasa hidupnya (yang berwakil). Perwakilan merupakan
bentuk pemberian kuasa kepada pihak lain untuk melakukan suatu pekerjaan
tertentu. Dalam pasal 1792 KUH Perdata, yang dimaksud pemberian kuasa adalah
suatu perjanjian dengan mana seseorang memberikan kekuasaan kepada seseorang
lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Bank syariah disini sebagai wakil dari nasabah sebagai
pemberi kuasa (muwakil) untuk melakukan sesuatu (taukil). Dalam hal ini bank
akan mendapatkan upah atau biaya administrasi atas jasanya tersebut. Sebagai
contoh, bank dapat menjadi wakil untuk melakukan pembayaran tagihan listrik
atau telepon kepada perusahaan listrik atau telepon. Contoh lainnya adalah bank
mewakili sekolah atau universitas sebagai penerima biaya pembayaran SPP dari
para pelajar atau mahasiswa untuk biaya studi.
v
Hawalah
Hiwalah ialah memindahkan hutang dari tanggungan seseorang
kepada tanggungan yang lain. Hiwalah disyari’atkan
untuk memberikan kemudahan bagi hamba-hambaNya dalam kehidupan muamalah.
Melalui akad hiwalah, memungkinkan seseorang yang mengalami kesulitan untuk
mengalihkan sesuatu yang masih menjadi tanggungannya (hutang) kepada pihak
lain.
a) Factoring atau anjak piutang, dimana para nasabah
yang memiliki piutang kepada pihak ketiga memindahkan piutang itu kepada bank,
bank lalu membayar piutang tersebut dan bank menagihnya dari pihak ketiga itu.
b) Post dated check, di mana bank bertindak
sebagai juru tagih, tanpa membayarkan dulu piutang tersebut.
c) Bill discounting. Secara prinsip, bill
discounting serupa dengan hawalah. Hanya saja, dalam bill discounting,
nasabah harus membayar fee, sedangkan pembahasan fee tidak
didapati dalam kontrak hawalah.
v
Kafalah
Menurut Pasal 612 HUH Perdata Islam hak jaminan (kafalah)
adalah suatu bentuk penambahan kewajiban kepada suatu tanggungan yang berkaitan
dengan adanya permintaan atas barang tertentu; artinya seseorang menggabungkan
dan mengikatkan dirinya kepada orang lain, dengan sesuatu yang berkaitan dengan
adanya penambahan kewajiban bagi orang lain tersebut.
Pada perikatan ini, bank berkedudukan sebagai pemberi jaminan
(kafiil) atas nasabahnya (makful), kemudian nasabah akan
mendapatkan upah atas jasanya tersebut selain harus mengembalikan dana yang
telah dikeluarkan oleh bank kepada penerima jaminan. Contohnya, kafalah
dapat dilaksanakan pada performance bonds atau jaminan prestasi.
v
Rahn
Perjanjian gadai adalah merupakan perjanjian dua pihak, yaitu
orang yang berhutang (debitur), pemberi gadai, yaitu orang yang menyerahkan
benda yang dijadikan objek perjanjian gadai serta orang yang berpiutang atau
pemegang gadai (kreditur).
Rahn merupakan perikatan pemberian jaminan yang diberikan
oleh nasabah atas pinjamannya dari bank. Dalam bank syari’ah, rahn dapat
digunakan sebagai produk pelengkap dan produk tersendiri. Produk pelengkap itu
yaitu pada saat nasabah melakukan perikatan dalam bentuk lain (seperti
mudharabah, murabahah, dan lainnya), maka bank dapat meminta nasabah untuk
menyerahkan jaminan. Sebagai produk tersendiri, yaitu sering kali dikenal
dengan istilah gadai. Nasabah yang membutuhkan biaya dapat menggadaikan barang
miliknya. Barang ini kemudian dapat dinilai harganya, sehingga bank dapat
memberikan pinjaman kepada nasabah sesuai dengan nilai barang gadai tersebut.
Dalam hal ini, bank akan memperoleh keuntungan berupa biaya penitipan dan
pemeliharaan atas barang gadai tersebut. Apabila pinjaman telah lunas, maka
barang gadai akan dikembalikan kepada nasabah yang bersangkutan.
3. Konsep Dan Sumber Periktan Dalam Hukum
Barat.
1.
Perikatan dalam perbedaan hukum objektif
salah
satu perbedaan hukum objektif paling tua dan berasal dari hukum Romawi adalah
perbedaan antara hukum public dan hukum privat. Yang terakhir ini meliputi
hukum privat internasional, hukum acara perdata dan hukum privat materiil.
Menurut ilmu hukum belanda, hukum privat materiil (matereel privatrecht) di bedakan menadi hukum perdata (husrgelijk recht). Dan hukum dagang (handels recht). Hukum perdata pada
gilirannya dibedakan lagi menjadi hukum orang dan keluarga (personent-en
familie recht), hukum badan hukum (recht personent recht) dan hukum harta
kekayaan (vermogent recht). Kemudian hukum harta kekayaan , masih dibedakan
lagi mejadi dua bagian, yaitu hukum benda (goederent recht) dan hukum perikatan
(verbintenis sen recht).
Dilihat
dari segi sumbernya, perikatan itu ada yang lahir dari undang-undang dan ada
yang lahi rdari perjajian serta sumber-sumbr lain yang ditunjuk oleh undang-undang. Lazimnya
bagian hukum yang mengatur berbagai perikatan yang lahir dari berbagai macam
sumbernya itu dinamakan hukum perikatan (het verbintenis sen recht). Sedangkan
hukum perjanjian (het overenkomst recht) adalah salah satu dari bagian hukum
perikatan, yaitu bagian hukum yang mengatur perikatan-perikatan yang lahir dari
perjanjian saja.
Di
Indonesia, perikatan-perikatan (dalam lapangan hukum harta kekayaan) diatur
dalam buku III KUHPerdata. Sepanjang
menyangkut terminologi, di Indonesia umumnya digunakan istilah “perikatan”
sebagai padanan dalam istilah Belanda
verbintenis dan “perjanjian” sebagai padanan istilah Belanda
overentskomst. Dan dalam hal ini diidentikan dengan “persetujuan”, bahkan
dengan “kontrak”.
2.
Konsep perikatan
Apabila
dua orang atau dua pihak saling berjanji untuk misalnya, melakukan atau
memberikan sesautu berarti masing-masing orang atau pihak mengikatkan diri
kepada yang lain untuk melakukan atau memberikan sesuatu yang mereka
perjanjikan. Dengan kata lain antara keduanya tercipta suatu ikatan yang timbul
dari tindakan mereka membuat janji. Ikatan tersebut berwujud adanya hak dan
kewajiban yang harus dipenuhi masing-masing pihak misalnya mempunyai kewajiban
memberi nafkah yang harus diberikan dalam kapasitasnya sebagai suami dan
istrinya mempunyai hak atas nakah itu terhadapnya yang harus ia tunaikan. Dua
pihak tersebut dalam istilah ukum disebut perikatan dan bagian hukum hukum yang
mengaturnya disebut hukum perikatan.
BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Hukum kontrak syariah adalah hokum yang
mengatur perjanjian atau perikatan yang sengaja dibuat secara tertulis
berdasarkan prinsip-prinsip syariah, sebagai alat bukti bagi para pihak yang
berkepentingan.
Bank Syariah di Indonesia didirikan pada
tahun 1992, pemerintah telah membuat sejumlah peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan perbankan syariah. Kini, kegiatan perbankan syariah diatur
dalam UU No.10 tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan. Kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah
diatur dalam pasal 36 Peraturan Bank Indonesia No. 6/24/PBI/2004.
Kegiatan-kegiatan usaha yang dapat
dilakukan oleh bank syari’ah itu antara lain sebagai berikut: Deposito
berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, transaksi giro berdasarkan prinsip
wadi’ah, deposito berjangka berdasarkan prinsip mudharabah, murabahah,
istishna, salam, mudharabah, musyarakah (syirkah), ijarah, Ijarah Muntahiya bi
Tamlik (IMBT), qardh, wakalah, hawalah, kafalah, dan rahn (gadai). Dimana
kegiatan-kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh bank syariah itu memiliki
pelaksanaan yang berbeda.