BAB I
PENDAHULUAN
Program reformasi pertanahan ini
pada mulanya dilatar belakangi oleh konsentrasi hak atas tanah pada tuan tanah,
raja, bangsawan dan gereja di Yunani kuno, Romawi dan Cina. Lambat laun keadaan
ini menimbulkan keresahan bagi para petani yang tak mempunyai tanah yang
berakibat merugikan kehidupan ekonomi negara. Setelah Perang Dunia I, pada saat
telah banyak negara memperoleh kemerdekaanya, di sebagaian besar negara-negara
itu, golongan-golong-an yang telah disebutkan di atas masih memiliki dan
menguasai tanah tanpa kendali. Keadaan inilah yang menyebabkan sehingga di
seluruh Eropa diadakan reformasi pertanahan dengan pengertian membagi-bagi
kembali tanah yang disita atau dibeli dari tuan tanah, raja, bangsawan, dan
gereja kepada para petani yang tak mempunyai tanah yang kehidupannya dikuasai
oleh golongan-golongan tersebut. Tujuan reformasi pertanahan pada waktu itu
adalah bersifat politik sosial.
Setelah program ini dilaksanakan
maka dapat dikatakan bahwa tujuannya berhasil dicapai, dengan pengertian bahwa
keresahan sosial mereda, namun tidak berlangsung lama. Para petani pemilik baru
ini meminjam kembali uang dari bekas pemilik tanah. Para pemilik baru kembali
tercekik dengan utang, sehingga tanahnya akhirnya dikuasai kembali oleh para
tuan tanah. Keadaan ini terjadi oleh karena tidak diimbangi dengan fasilitas
yang memungkinkan para petani pemilik baru dapat mengolah tanahnya dengan
sebaik-baiknya untuk membawa hasil yang sebesar-besarnya. Keadaan ini
dimanfaatkan oleh golongan komunis dengan mendukung tuntutan petani, untuk
mendapatkan tanah. Terjadilah penggulingan kekuasaan dengan bersenja-takan
reformasi pertanahan di Aljazair dan Meksiko. Untuk menangkal pengaruh golongan
komunis yang begitu besar yang memanfaatkan reformasi pertanahan sebagai
senjata, maka Amerika juga tampil dengan suatu konsepsi baru tentang reformasi
pertanahan. Amerika menganjurkan untuk menggunakan reformasi pertanahan, tidak
hanya pembagian tanah, tetapi juga usaha memperbaiki kehidupan petani dengan
fasilitas kredit, koperasi, pendidikan, latihan dan sebagainya. Inilah yang
dimaksud dengan reformasi agraria, atau reformasi pertanahan dalam arti yang
luas. Istilah reformasi agraria ini kemudian digunakan bersama atau
berganti-ganti dalam arti konsepsi baru Amerika (Soetiknjo 1988:13.11).
Pelaksanaan reformasi agraria
dilakukan, baik di negara-negara kapitalistis, maupun di negara komunistis. Di
negara kapitalistis sifat pelaksanaannya ialah mengatur hubungan peker-ja
dengan penggarap tanpa mengubah kedudukan tuan tanah. Di negara komunistis ia
ditujukan pada persamaan pendapatan dan penghasilan dengan menghilangkan hak
milik perseorangan atas tanah dengan kata lain tuan tanah dihilangkan.
Dibandingkan dengan di Indonesia, maka hak milik perorangan dan hak-hak lainnya
tetap diakui, hanya saja pemilikan dan penguasaan tanah dibatasi untuk mencegah
pemerasan di bidang penguasaan dan pengusahaan tanah (Blitanagy
1984:71).
PERMASALAHAN.
1. Apa yang menjadi Landasan Landreform di Indonesia ?
2. Apa yang menjadi tujuan Landreform
di Indonesia ?
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian
Landreform terdiri atas dua suku
kata yaitu land dan reform.Land berarti tanah,sedangkan reform
berarti perbaikan atau pembaharuan.
Budi Harsono menyatakan bahwa
landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasan tanah serta
hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Ini berarti bahwa
nampaknya selama belum dilaksanakannya landreform keadaan pemilikan dan
penguasaan tanah di Indonesia dipandang perlu dirubah strukturnya.
Sejak
beberapa tahun terakhir ini kata reformasi, kembali populer disuarakan oleh
anggota masyarakat. Di kalangan ilmuan hukum agraria, kata reformasi sebagai
terjemahan kata Inggeris reform bukanlah merupakan istilah yang baru.
Istilah ini bahkan telah dikenal beberapa puluh tahun yang silam dengan
menggandengkannya dengan masalah pertanahan dan/atau agraria, sehingga
timbullah istilah landreform yang selanjutnya penulis sebutkan dengan
reformasi pertanahan dan agrarian reform, yang untuk selanjutnya penulis
sebutkan dengan reformasi agraria.
Tujuan Landreform Indonesia.
Di Indonesia pelaksanaan landreform
berlandaskan kepada Pancasila dan UUD 1945 yang terwujud di dalam satu
rangkaian kegiatan di bidang pertanahan.[1]
Kemudian dikatakan bahwa Landreform bertujuan untuk memperkuat dan memperluas
pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum tani.
Secara
umum tujuan landreform adalah untuk mewujudkan penguasaan dan pemilikan tanah
secara adil dan merata guna meningkatkan kesejahteraan rakyat khususnya petani.
Departemen
penerangan R.I. dalam Pertanahan di Era Pembangunan Nasional (1982 : 43)
menegaskan bahwa di lihat dari berbagi aspek, pelaksanaan landreform di
Indonesia meliputi :
Tujuan
social ekonomi :
a. Memperbaiki
keadaan social ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi fungsi
social politik,
b. Memperbaiki
produksi nasional khususnya sector pertanian guna mempertinggi penghasilan dan
taraf hidip rakyat,
Tujuan social poitik :
a. Mengakhiri
system tuan tanah dan menghapuskan pemilikan yang luas.
b. Mengadakan
pembagian yang adil atas sumber-sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah
dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula.
Tujuan mental psikologis :
a. Meningkatkan
kegairahan bekerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian
hak mengenai kepemilikan tanah.
b. Memperbaiki
hubungan kerja antara kepemilikan tanah dengan penggarapnya.
Di samping itu ada beberapa hal
lagi yang menjadi tujuan Landreform itu, secara terperinci tujuan Landreform di
Indonesia adalah :
1. Untuk
mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa
tanah, dengan maksud agar ada pembagian hasil yang adil pula, dengan mengubah
struktur pertanahan secara revolusioner, guna merealisasi keadilan social.
2. Untuk
menjalankan prinsip tanah untuk tani, agar tidak terjadi lagi tanah sebagai
alat pemerasan.
3. Untuk
memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga Negara
Indonesia, baik laki-laki maupun perempuan, yang berfungsi social.
4. Untuk
mengakhiri system tuan tanah dan menghapuskan dan penguasaan tanah secara
besar-besaran denagn tak terbatas, dengan menyelenggarakan batas maksimum dan
batas minimum untuk tiap keluarga. Sebagai seorang kepala keluarga baik
laki-laki maupun wanita. Dengan demikian mengikis pula system liberalisme dan
kapitalisme atas tanah dan memberikan perlindungan terhadap golongan ekonomi
rendah.
5. Untuk
mempertinggi produksi nasional dan terselenggaranya pertanian yang intensif
secara gotong royong dalam bentuk koperasi dan bentuk gotong royong lainnya,
untuk mencapai kesejahteraan yang yang merata dan adil di sertai dengan system
perkreditan yang khusus ditujukan kepada golongan lemah.[2]
Landasan
landreform di Indonesia.
Landasan Ideal
landreform di Indonesia adalah Pancasila karena pancasila merupakan ideology,
cara pandang bangsa dan rakyat Indonesia.
Landasan
Konstitusional uang merupakan hokum dasar bangsa Indonesia dalam menajamin dan
member hak-hak rakyatnya dalam hal ini mengenai agrarian yaitu yang terdapat
dalam Pasal 33 ayat UUD 1945.
Landasan Operasional pelaksaan
Landreform di Indonesia
1. Pasal 7 yang mengatakan : Untuk
tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan ;
2. Pasal 10 (1) Setiap orang dan
badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan
mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif dengan mencegah cara-cara
pemerasan; (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam ayat (1) Pasal ini akan
diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan ;
3. Pasal 17 (1) Dengan mengingat
ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan dalam Pasal 2 (3) diatur
luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak
tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau badan hukum ; (2) Penetapan
batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini dilakukan dengan peraturan
perundangan di dalam waktu yang singkat ; (3) tanah-tanah yang merupakan
kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh
pemerintah dengan ganti rugi,untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang
membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam peraturan pemerintah. (4)
tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat (1) ini yang akan ditetapkan
dengan peraturan perundang-an,dilaksanakan secara berangsur-angsur.
Penetapan
ceiling tanah pertanahan.
Untuk
merealisir amanat pasal 17 ayat (2) UUPA maka lahirlah Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) No.56 Tahun 1960 tanggal 26 Desember 1960.
Bwedasarkan ketentuan pasal 22 UUD 1945 dan melalui Undang-Undang NO. 56 Prp
Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian.
Pasal 8 Undang-Undang N0. 56 Prp
Tahub 1960 :
“ pemerintah mnenggadakan
usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian
minimal 2 hektar”.
Penjelasan umum (4) Undang-Undang
No.56 Prp tahun 1960.
“……memandang perlu pula diadakannya
penetapan luas minimum dengan tujuan supaya tiap keluarga petani mempunyai
tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf penghidupan yang layak. Berhubung
dengan berbagai factor yang belum memungkinkan berbagai factor yang belum
memungkinkan di capainya batas minimum itu sekaligus dalam waktu singkat, maka
penetapannya aka ndi laksanakan berangsur-angsur… artinya akan di selenggarakan
bertahap.
Penulis berpendapat bahwa sudah
saatnya batas minimum tanah pertanian itu di tnjau kembali agar di tetapkan
lebih rendah di bawah 2 hektar karena jimlah petani semakin besar, teknologi
pertanian yang di tetapkan semakin modern yang mengakibatkan peningkatan
produksi yang berlipat-lipat sementara luas tanah di Indonesia tetap.
Ceiling tanah tidak
sama untuk semua daerah atau semua tempat hal ini di karenakan ceiling tanah
bersipat pariatif, maka dari itu ceiling tanah ceiling tanah di tiap-tiap
Daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) di Indonesia variatif (beraneka ragam).
Pasal 7 UUPA menetapkan untuk tidak
merugikan kepentimgan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui
batas tidak di perkenannkan. Pasal ini di maksudkan untuk mencegah bertumpuknya
tanah di golongan orang tertentu saja.
Oleh karena itu setiap orang atau
keluarga hanya di perbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri,
kepunyaan orang lain ataupun miliknya sendiri bersama kepunyaan orang lain,
yang jumlahnya tidak melebihi batas maksimum.[3]
Pasal 1 ayat (2) dari daftar lampiran Undang-Undang
No. 56 Prp Tahun 1960 menetapkan :
[1]
Tampil Anshari Siregar Undang-Undang Pokok Agraria dalam Bagan hal 78
[2]
Arie S. Hutagalung SH., MLI Asas-asas Hukum Agraria hal 58
[3]
Ibid hal 59
Kepadatan penduduk (org/km)
|
Golongan daerah (Kab/Kodya)
|
Ceiling (Ha)
Sawah atau tanah kering
|
0 sampai
50
|
Tidak padat
|
15 20
|
51 sampai
25
|
Kurang padat
|
10 12
|
251 sampai 400
|
Cukup padat
|
7,5 9
|
400 keatas
|
Sangat padat
|
5 6
|
Jika masyarakat
mempunyai tanah surplus(kelebihan dari batas tanah maksimum atau ceiling tanah
pertanian) maka pemerintah akan mengambil tanah-tanah tersebut dengan membayar
ganti rugi dan selanjutnya tanah tersebut akan di redistribusikan (di
bagi-bagikan) kepada petani byang berhak di atur di dalam Peraturan Pemerintah No
224 tahun 1961 yang telah di ubah dan di tambah dengan Peraturan Pemerintah
No.4 tahun 1977.
Azas
Larangan Absentate.
Pokok pikiran dalam
terdapat dalam Pasl 10UUPA asdalah larangan tanah pertanian secara absentee
(guntai) yaitu seseorang tidak berada (absent) di atas lahanya untuk dapat
mengolahnya sendiri secara aktif, di sebabkan berbagai hal anatara lain karena
jarak tertentu, beda kecamatan dan lain sebagainya. Setiap Negara merumuskan
patokan dasar penrtapan larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee
tersebut.
Khusus di Indonesia
pengertian larangan pemilikan tanah absentee tersebut adalah di larang
seseorang memiliki tanah pertanian di luar kecamatan tempat tinggal, tetapi ada
beberapa pengecualian.
Dalam
Pasal 10 ayat (1) UUPA menyatakan bahwa setiap orang dan badan hukum yang
mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan
atau mengusahakannya sendiri secara aktif,dengan mencegah cara-cara pemerasan.
Dengan pengertian “mempunyai sesuatu hak atas tanah” bukan hanya terbatas pada
hak milik tetapi termasuk di dalamnya hak-hak lainnya yang ada dalam kekuasaan
seseorang tersebut,wajib mengerjakannya sendiri secara aktif dengan pengertian
turut serta secara langsung dalam proses proses produksi.
Sebagai
langkah awal dari kewajiban mengerjakan secara aktif tersebut, maka ditentukan
penghapusan tanah pertanian absentee yaitu pemilikan tanah yang letaknya diluar
kecamatan tempat tinggal yang empunya,sebagaimana diatur dalam Pasal 3 PP
no.224 tahun 1960 dan Pasal 1 PP no.41 tahun 1964.[1]
Jadi
baik itu tanah surplus ataupun tanah absentee di berikan kepada pemerintah yang
selanjutnya akan di redistribusikan kepada para petani masyarakat yang berhak,
hal ini di karenakan untuk meningkatkan taraf hidup para petani yang selama ini
hanya megerjakan tanah milik orang lain. Selain untuk meningkatkan taraf hidup
petani program ini juga meningkatkan produktifitas hasil pertanian itu guna
kepentingan nasional.
UUPA
Pro Golongan Ekonomi Lemah.
UUPA
sangat berpihak terhadap kepentinagan ekonomi lemah. Berbagai ketentuan dan
upaya yang di amanatkan di dalamnya secara tegas di tujukan untuk mengangkat
taraf hidup rakyat golongan ekonomi lemah tersebut. Demikian juga tentang
kewajiban-kewajiban ndari setiap subyek hak atas tanah.
Pasal
11 ayat 2 UUPA menyebutkan “ perbedaan dalam keadaan masyarakat dan keperluan
hokum golongan rakyat dimana perlu dan tidak bertentangan dengan kepentingan
nasional di perhatikan dengan menjamin perlindungan terhadap kepentingan
golongan ekonomi lemah.[2]
BAB III
A. KESIMPULAN
Landasan Landreform di indonesia
adalah:
Pasal 7 yang mengatakan : Untuk
tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang
melampaui batas tidak diperkenankan ;
2. Pasal
10 (1) Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai hak atas tanah pertanian
pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif
dengan mencegah cara-cara pemerasan; (2) Pelaksanaan daripada ketentuan dalam
ayat (1) Pasal ini akan diatur lebih lanjut dengan peraturan perundangan ;
3. Pasal
17 (1) Dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 7 maka untuk mencapai tujuan
dalam Pasal 2 (3) diatur luas maksimum dan/atau minimum tanah yang boleh
dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam Pasal 16 oleh satu keluarga atau
badan hukum ; (2) Penetapan batas maksimum termaksud dalam ayat 1 pasal ini
dilakukan dengan peraturan perundangan di dalam waktu yang singkat ; (3)
tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas maksimum termaksud dalam ayat
(2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti rugi,untuk selanjutnya
dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan dalam
peraturan pemerintah. (4) tercapainya batas maksimum termaksud dalam ayat (1)
ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang-an,dilaksanakan secara
berangsur-angsur.
Blitanagy
(1984:71) mengemukakan bahwa pelaksanaan reformasi pertanahan di Indonesia
bertujuan sebagai berikut:
1. Tujuan Sosial Ekonomis
2. Tujuan Sosial Politik
3. Tujuan Sosial Psikologis
DAFTAR PUSTAKA
Anshari T.Siregar Undang-Undang
Pokok Agraria dalam Bagan, Kelompok studi Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum
USU, Medan 2001
Hutagalung S.Arie Asas-Asas Hukum
Agrarian, Jakarta 1994
Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria.
www.google.com//Landreform di Indonesia.
pankga.blogspot.com
[1] www.google.com//Landreform di
Indonesia
[2]
KUH Perdata dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria.