Jumat, 20 April 2012

Pengertian Hukum acara Perdata ( Makalah )

BAB I
PENDAHULUAN

·         Pengertian Hukum Acara Perdata
Manusia dalam berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini adakalanya dapat diselesaikan secara damai, tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan ketegangan yang terns menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa haknya dirugikan dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Menurut Darwan Prints, SH. (1992 : 1) gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut  hak tau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian Yang diderita oleh Penggugat melalui putusan pengadilan. Sementara itu Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH. (1.979:29) mengemukakan bahwa gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh Pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri (eigenrighting). Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu permohonan Yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam hal gugatan kepada Pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para Penggugat,Tergugat atau para Tergugat dan turut Terugat atau para turut Tergugat. Cara menyelesaikan perselisihan lewat pengadilan tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht, Civil Law of Procedure).
Dalam rangka menegakkan hukum perdata materil, fungsi Hukum Acara Perdata sangat menentukan. Hukum Perdata Materil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa adanya dukungan dari Hukum acara Perdata ini Prof. DR. Wirjono Projodikuro, SH, (1970: 12) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya  peraturan-peraturanHukum Perdata. DR. Sudikno Mertokusumo, SH (1988 ;4) mengemukakan bahwa objek dari pada ilmu Hukum Acara Perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau mengekan Hukum Perdata Materil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan,
Melihat batasan-batasan yang dikemukakan oleh pakar hukum sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diketahui bahwa Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak Tergugat mempertahankan diri dari gugatan Penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang diajukan oleh Penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. sehingga hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.
Diharapkan dengan adanya Hukum Acara Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri. Dalam Hukum Acara Perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang di depan sidang pengadilan sesuai dengan peraturan vang berlaku. Hukum Acara Perdata termasuk dalam ruang lingkup hukum privat (Private Law) di samping Hukum Perdata Materil Hukum Acara Perdata disebut Hukum Perdata Formil. karena is mengatur tentang proses penyelesaian perkara melalui Pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah ditentukan secara formal.


·         Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata Di Indonesia
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda tidak mempunyai peraturan khusus tentang Hukum Acara yang diperuntukkan kepada rakyat Bumi Putra yang berperkara di Pengadilan, tetapi karena kebutuhan yang sangat mendesak pemerintah Hindia Belanda mempergunakan Soh, 1119 No. 20 dengan sedikit penambahan dan perubahan yang ti ak begitu berarti. Sementara itu. Mr. H. L. Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda (Hooggerechtshof) yang berkeduclukan & Batavia (sekarang Jakarta) melarang dalam praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi dengan aturan perundang-undangan yang berlaku.  Dengan hal tersebut terjadi kekosongan hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan Bumi Putra. sehingga pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara khusus yang diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim dalam melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan beslit Gubernur Jenderal  Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846 tanggal 5 Desember 1846, Mr. H.L. Wichers clitunjuk dan ditugaskan untuk menyusun sebuah reglemen tentang administrasi. polisi, acara perdata dan acara pidana bagi golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka berlaku Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya. Pada tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia Belanda pada waktu itu. Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia Belanda tersebut, berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L. Wichers itu terlalu sederhana, mereka menghendaki agar dalam rancangan tersebut supaya ditambah dengan lembaga penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana yang terdapat pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don Abdul Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).

Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas penambahan sebagaimana tersebut di atas, terutama hat yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen hanya memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan Eropa di pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta, Semarang dan Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya dilarang dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah sebagaimana yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan seluruhnya untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau konse-D rancangan itu ditambah lagi dengan hat-hat yang dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan konsep rancangan itu bukan akan bertambah jelas tetapi malah akan menjadi kabur dan tidak terang lagi rancangannya.
Setelah menerima masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran dari Gubernur Jenderal  Jan Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2) dirubah, kemudian ditambah suatu ketentuan penutup yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan termuat dalam pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal ini merupakan pasal yang sangat penting karena dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan untuk golongan Bumi Putra, tetapi apabila benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain dalam perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui perubahan d1an penambahan sebagaimana tersebut di atas, akhirnya Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5 April 1848 menerima rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan "Reglement Op de Uitoefening Van de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat dengan "Inlandsch Reglement" (IR). Ketentuan ini akhirnya disahkan dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan firman raja tanggal 29 September 1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement ini selain diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi), juga diperuntukkan bagi golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir Muhammad, SH.: 1978: 21).
Dalam perkembangan lebih lanjut Inlandsch Reglement  (IR) ini beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan penama dilaksanakan pada tahun 1926 yang merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua dilaksanakan pada tahun 1941. perubahan ini sangat mendasar sehubungan di bentuknya  Lembaga Penuntut Umum yang anggota-anggotanya tidak lagi di bawah Pamong Praja, melainkan langsung di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung yang berdiri sendiri yang tidak terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan togas lembaga tersebut menyangkut soal-soal  pidana sehingga perlu diatur juga tentang acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat mendasar ini. yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka sebutan yang semuia 'Wandsch reglement" diganti namanya menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement" disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari Reglement Indonesia yang di:perbaharui. Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941 No. 44.
Berdasarkan pasal 6 firman raja Stb. 1847 No. 23 yang member wewenang kepada Gubernur Jenderal Hindia Beianda untuk mengambil langkah apabila dianggap perlu untuk menjamin berlakunya Kitab Undang-undang Hukum Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang secara tertib, makes Gubernur Jendral  Hindia Belanda mengumumkan sebuah Reglement Hukum Acara untuk daerah seberang dengan Stb. 1927 No. 227 dengan sebutan
"Rechtsreglement Voor De Buitengewesten’’ yang disingkat dengan
R.Bg. Ketentuan yang diatur dalam R.Bg. pada hakekatnyanya  sama
dengan apa yang telah diatur HIR. Dengan sedikit perubahandan
pengurangan yang dianggap perlu.
Pada zaman penjajahan  Jepang. Berdasarkan  undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan Madura memberlakukan  ketentuan yang mengatakanbahwa semua Badan pemerintah dan kekuasannva Hukum dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu tetap diakui sah buat sementara waktu asal saja tidak bertentangan dengan  aturan  pemerintah militer. Atas dasar Undang-undang ini HIR. Bg. masih tetap berlaku. Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan Baru tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan yaitu yang membentuk suatu  Pengadilan untuk tingkat pertama yang Hooin. dan Kootoo Hoon untuk pemeriksaan tingkat tingkat banding. Kedua  macam Peradilan tersebut di peruntukan kepada semua golongan penduduk tanpa membeda-bedakan orang, kecuali bagi orang-orang Jepang yang diadili dengan Pengadilan sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van  Justitie dan Residentie Gerech, dengan sendirinya Hukum Acara  yang termuat dalam B.R%-. juga tidak berlaku lagi  kecuati untuk rnengisi kekosongan hukum sepanjang diperlukan sedangkan dalam  HIR dan R. Bg.  juga  tidak diatur. (Wirjono Projodikoro : 1-962; 25 don Abdul Kadir Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 kondisi yang berlaku pada zaman penjajahan Jepang tetap berlaku berdasarkan  Aturan Peralihan pasal II dan  IV Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10 Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap berlaku sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan sipil yang diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951 ditentukan bahwa HIR dan R.Bg. sebagai aturan yang harus dipedomani dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung RI.

Dalam perkembangan lebih lanjut, ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam HIR dan R.Bg. tersebut dimantapkan berlakunya dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 khusus untuk acara banding daerah Jawa dan Madura, Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (LN. 1970 Nomor 74) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (LN. 1985 Nomor 73) tentang Mahkamah Agung RI, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986 (LN. 1986 Nomor 20) tentang Peradilan Umum dan Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 LN. 1989 Nomor 49) tentang Peradilan Agama



















BAB II
Ruang Lingkup Surat Kuasa

Sepintas lalu, masalah kuasa khususnya dianggap remeh. Searing pembuatannya dilakukan secara sembarangan. Tidak diperhatikan apakah pembuatannya telah memenuhi syarat yang digariskan ketentuan perundang-undangan. Akibatnya, surat kuasa tersebut tidak sah. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus tidak memenuhi syarat, yaitu
·          surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang mengajukan dan menandatangani gugatan adalah kuasa berdasarkan surat kuasa tersebut, dan
·         segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan pemeriksaan dihadiri oleh kuasa yang tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Apabila ter adi hal seperti itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk verklaard). Keadaan ini menimbulkan keragian waktu dan biaya bagi penggugat. Waktu dan biaya terbuang sia-sia tanpa memperoleh hasil penyelesaian positif. Untuk menghindari akibat tersebut, perlu diperhatikan syarat yang harus dipenuhi.

·         Kuasa Pada Umumnya
Secara umum, surat kuasa tunduk pada prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam Belas, Buku III KUH Perdata, sedano, aturan khususnya diatur dan tunduk pada ketentuan hukum acara yang digariskan 14IR dan RBG. Oleh karena itu, perlu disinggung secara ringkas beberapa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap berkaitan dengan kuasa khusus.
·         Pengertian Kuasa Secara  Umum
Untuk memahami pengertian kuasa secara umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi:
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana seorang tnemberikan k-ek-uasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu urusan.
Bertitik tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua pihak, yang terdiri dari :
·         Pemberi kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
·         Menrima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving (volmacth, full power), jika
·         pemberi kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan dalam Surat kuasa;
·         dengan demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh, bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama pemberi kuasa;
·         oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas segala perbuatan kuasa, sepanjang perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi kuasa.
Pada dasamya, pasal-pasal yang mengatur pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif Apabila para pihak menghendaki, dapat disepakati selain yang digariskan dalam undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak dapat dicabut kembali (irrevocable). Hal ini dimwigkinkan, karena pada umumnya pasal-pasal hokum perjanjian, bersifat mengatur (aanvullend recht).'

·         Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut.
·         Penerima Kuasa Langsung Berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi, hubungan hokum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan Berta kapasitas kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu.
·         memberi hak dan kewenangan (authority) kepada kuasa, bertindak untuk dan atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
·         tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri pemberi kuasa, sepanjang tindakan yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi kuasa kepadanya;
·         dalam ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil atau principal atau pihak utama, dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari hubungan yang demikian, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak materiil).

·         Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa adalah konsensual (consensuale overeenkomst), yaitu perjanjian berdasarkan kesepakatan (agreement) dalam arti:
·           hubungan pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
·           hubungan hukum itu dituangkan dalam ped anj ian pemberian kuasa
berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara mereka (kedua belah pihak);
·           oleh karma itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan, pemberian kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat, dituangkan dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian, tanpa mengurangi penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 ayat (2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat tedadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa khusus harus disepakati secara tegas dan harus dituangkan dalam bentuk akta atau Surat kuasa khusus.

·         Berkarakter Garansi- Kontrak
Ukuran untuk menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
·           sepanjang kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
·           apabila kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan,  yang sesuai dengan mandat yang diberikar" Sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa, sesuai dengan asas "garansi-kontrak" yang digariskan Pasal 1806 KUH Perdata.
·         Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belch pihak (secara bilateral).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa menurut Pasal 1813 KUH Perdata.
·         Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
Ketentuan penarikan atau pencabutan kembali (revocation, herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan:
·           pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima kuasa; pencabutan dapat dilakukan secara tegas dalam bentuk:

·         mencabut secara tegas dengan tertulis, atau
·         meminta kembali surat kuasa, dari penerima kuasa

·           pencabutan secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata. Caranya, pemberi kuasa mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam-diam.
Sehubungan dengan pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan atau mengumumkannya. Cara yang deinikian, memberi perlindungan hukum kepada pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga, karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, tetap mengikat kepada pemberi kuasa.
·           Salah Satu Pihak Meninggal
Pasal 1813 KUH Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada ahli waris. hka hubungan itu hendak diteruskan oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan, melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.
·           Penerimaan Kuasa Melepas Kuasa
Pasal 18 17 KUH Perdata, memberi hak secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang diterimanya, dengan syarat:
·           harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi kuasa;
·           pelepasan tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif, apakah pelepasan itu dapat menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
BAB III
Ruang Lingkup Pengajuan Gugatan

·         Pengeritan
Telah dijelaskan, sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan UU No. 35 Tahun 1999), dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 sebagai pengganti UIJ No. 14 Tahun 1970. Tugas dan kewenangan badan peradilan di bidang perdata adalah menerima  memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para pihak yang memerlukan mengadili pihak yang  beperkara.  Hal inilah yang menjadi tugas pokok peradilan. Wewenang  pengadilan menyelesaikan perkara diantara pihak yang bersengketa, disebut yurisdiksi contentiosa dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa atau disebut juga contentious. Deegan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa, merupakan hal yang berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan voluntair yang bersifat sepihak (ex-parte), yaitu pennasalahan yang diaJukan untuk diselesaikan pengadilan tidak mengandung sengketa (undisputed matters), tetapi semata-mata untuk kepentingan pemohon.

Lain halnya dengan gugatan contentiosa, gugatannya mengandung sengketa di antara dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan di minat untuk diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di antara para pihak (between contending parties). Di mass yang lalu bentuk ini disebut contentiosa rechtspraak. Artinya, penyelesaian sengketa di pengadilan melalui proses sanggah-menyanggah dalani bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban), dan duplik (jawaban kedua kali). Atau disebut juga op tegenspraak, yaitu proses peradilan sanggah-menyanggah.
Perkataan contentiosa atau contentious, berasal dari bahasa Latin. Salah satu arti perkataan itu, yang dekat kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah penah semangat bertanding atau berpolemik itu  sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yurisdiksi contentiosa,atau contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara yang berkenaan dengan masalah persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested matters) antara pihak yang bersengketa (between contending parries)
Gugatan contentiosa inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik. Sedang penggunaan gugatan contentiosa, lebih bercorak pengkajian teoretis untuk membedakannya dengan gugatan voluntair. Dalam perundangundangan, istilah yang dipergunakan adalah. gugatan perdata atau gugatan saja.
·         Pasal 118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah gugatan perdata.  Akan tetapi, dalam pasal-pasal selanjutnya, disebut gugatan atau gugat saja (seperti dalam Pasal 119, 120, dan sebagainya.
·         Pasal 1 Rv menyebut gugatan (tiap-tiap proses perkara perdata ..., dimulai dengan sesuatu pemberitahuan gugatan ). Namun jika pasal itu dibaca keseluruhan, yang dimaksud dengan gugatan adalah gugatan perdata.
Prof. Sudikno Mertokusumo, juga mempergunakan istilah gugatan, berupa tuntutan perdata (burgerlijke vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain'. Begitu juga Prof. R. Subekti, mempergunakan sebutan gugatan, yang dituangkan dalam surat gugatan.. Dengan demikian setiap perkara perdata, diajukan ke PN dalam bentuk surat gugatan. Begitu juga halnya dalam praktik peradilan. Selamanya dipergunakan istilah gugatan. Penyebutan ini dianggap langsung membedakannya dengan permohonan yang bersifat voluntair. Salah satu contoh Putusan MA yang mengatakan: selama proses perkara belum diperiksa di persidangan, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat.'
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang beperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak:
·         yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan bertindak sebagai penggugat (plaintiff = planctus, the party who institutes a legal action or claim)
sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam penyetesalan, disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the party against whom a civil action is brought
Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan perdata:
·         permasalahan hukurn yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes, diffierences),
·         sengketa terjadi di antara para pihak, paling kurang di antara dua pihak,
·         berarti gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain, berkedudukan sebagai tergugat.
·         BENTUK GUGATAN
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai berikut.
·         Berbentuk Lisan
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang menegaskan:
Bilamana penggugat buta huruf maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Pada saat undang-undang  (HIR) ini dibuat tahun 1941 (St. 1941, No 44), ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistic, mengakomodasi kepentingan anggota masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu. Ketentuan ini sangat bennanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu membuat dan memformulasi gugatan tertulis. Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN, yang oleh undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan selanjutnya Ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu, ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan pertolongan dari Ketua PN untuk membuat gugatan yang diinginkannya.

Tanpa mengurangi penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini tidak relevan lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding masa lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten, memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan. Namun demikian, memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara perdata yang akan datang.
Terlepas dari hal di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan gugatan secara lisan. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
·         Syarat Formil Gugatan Lisan
Penggugat tidak bisa membaca dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta aksara. Dalam Pasal 120 HIR, hanya disebut buta aksara. Tidak termasuk
Orang yang buta hukum atau kurang memahami hokum. Juga tidak disyaratkan orang yang tidak mampu secara financial. Tidak dimasukkan syarat kemampuan finansial sebagai syarat yang diakumulasi dengan buta aksara, membuat ketentuan ini kurang adil. Alasannya orang yang kaya tetapi buta aksara, pada dasarnya dapat membiayai pengacara, sehingga kurang layak menclapat bantuan dari Ketua PN.
·         Cara Pengajuan Gugatan Lisan
Pengajuan gugatan dilakukan dengan
·         diajukan dengan lisan,
·         kepada Ketua PN, dan
·         menjelaskan atau menerangkan isi clan maksud gugatan.
Pengajuan atau pemasukan gugatan secara lisan, disampaikan sendiri oleh penggugat. Tidak boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara yang ditunjuknya. Dengan menunjuk pengacara sebagai kuasa yang akan mewakili kepentingannya, menurut hukum dianggap, telah melenyapkan syarat buta aksara. Kecuali yang ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari anggota keluarga yang juga buta aksara, pada diri kuasa dianggap melekat syarat tersebut. Mengenai larangan ini, tertera juga dalam satu  Putusan MA yang menegaskan," orang yang diberi kuasa, tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan.
·         Fungsi Ketua PN
·         Ketua PN wajiib memberi layanan,
·         pelayanan yang hares diberikan Ketua PN:
·           mencatat atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
·           merumuskan sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang diterangkan penggugat.
Sehubungan dengan kewajiban mencatat dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua PN perlu memerhatikan Putusan MA tentang ini yang menegaskan," Adalah tugas Hakim Pengadilan Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang dimaksud oleh penggugat.

·         Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah gugatan dalam bentuk tertulis. Hal aii ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini, gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya. Memerhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenmimembuatdan mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut.
·         Penggrigat Sendiri
Surat gugatan dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan penggugat membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN, adalah karma HIR maupun RBQ tidak menganut sistem Verplichte Procure.ur Stelling. mewajibkan penggugat pengugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat yang  pengacara atau advokat untuk mewakilinya, sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de Rechtvordering (Rv).
Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118 ayat (1) HIR, dengan demikian:
·           tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat untuk menguasakan atau memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat;"
·           akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk menunjuk seseorang atau beberapa orang kuasa, yang akan bertindak  mengurus kepentingannva dalam pembuatan dan pengajuan gugatan."
·         Kuasa
Selanjutnya, Pasal 118 ayat (1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani, mengajukan atau menyampaikan surat gugatan kepada PN. Ketentuan ini, sejalan dengan yang digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR yang mengatakan, baik penggugat dan tergugat (kedua belah pihak):
·         dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk m.etakukan tindakan di depan pengadilan, dan
·         kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special power of attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh prosedur berikut.
·         Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa yang akan bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa kliusus.
·           Berdasarkan surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan penggugat atau pemberi kuasa (lastgever, mandate).
·           Apabila kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris),membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum mendapat kuasa atau lebih  dahulu membuat dan menandatangani gugatan daripada tanggal surat kuasa:
·         gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu, dianggap mengandung cacat formil;
·         akibatnya, gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat diterima atas alasan, gugatan ditandatangani oleh prang yang tidak berwenang (wialithorized) untuk itu, karena pada waktu kuasa menandatangani gugatan, dia sendin belum mempunyai surat kuasa.
Dan penjelasan di atas, jika yang bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum itu dilakukannya, is hares lebih dahulu mendapat kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari penggugat. Ming tidak agar penandatanganan surat gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat pada hari dan tanggal yang sama.





















BAB IV
Upaya Hukum Putusan Pengadilan
·         Upaya Hukum
Upaya banding di daerah Jawa dan Madura semula diatur dalam pasal 188-194 HIR, sedangkan bagi daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam pasal-pasal 199-205 R. Bg. Tetapi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pemeriksaan Ulang Perkara Perdata dalam tingkat banding di Jawa dan Madura, pasal-pasal 188-194 HIR dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura masih tetap berlaku sebagaimana biasa yang diatur dalam R. Bg. Tetapi keadaan ini hanya berlangsung sampai berlakunya Undang-undang Darurat  Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan – pengadilan sipil yang mulai diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951. Dalam peraturan perundang-undangan ini dinyatakan bahwa hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan demikian, peraturan banding sebagaimana diatur dalam pasal 199-205 R. Bg dinyatakan tidak berlaku lagi.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pemeriksaan Ulang Perkara Perdata dalam tingkat banding untuk Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura sebenarnya diambilalih materinya dari pemeriksaan banding yang terdapat dalam HIR dengan sekedar tambahan, clan perubahan yang dianggap perlu apa  yang tersebut dalam HIR ini sebenarnya secara materil dalam kedua peraturan tersebut tidak ada perbedaan, bahkan ada keseragaman. Sebenarnya Undang-undang  Nomor 20 Tahun 1947  hanya  berlaku untuk Jawa dan Madura saja, tetapi dalam prakteknya sampai sekarang telah dijadikan pedoman untuk seluruh Indonesia  sejalan  dengan apa yang telah diatur dalam HIR dan R. Bg tersebut. Hal ini terjadi karena aturan banding yang tersebut dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 belum seluruhnya lengkap.
Pada hakekatnya, kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili perkara perdata dalam tingkat banding adalah kewenangan memeriksa ulang kembali suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama sebagai  peradilan tingkat pertama. Pemeriksaan yang dilakukan oleh Pengadilan Tinggi Agama adalah pemeriksaan secara keseluruhan perkara yang dimintakan banding tersebut. Putusan yang telah dijatuhkan Pengadilan Agama diteliti dan diperiksa Putusan oleh Pengadilan Tinggi Agama. Keadaan ini dapat dilihat antara lain dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 951 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1975 yang mengesahkan bahwa seharusnya hakim banding mengulang memeriksa kembali perkara dalam keseluruhannya. Begitu juga putusan Mahkamah Agung RI Nomor 194 K/Sip/1975 tanggal 30 Nopember 1975 mengesahkan bahwa dalam peradilan tingkat banding, Pengadilan Tinggi seharusnya memeriksa bagian konpensi dan rekonpensi yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya.
Menurut M. Yahya Harahap, SH. (1990:377), tujuan utama pemeriksaan tingkat banding adalah untuk mengoreksi dan mengeluarkan segala kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan hukum, tata cara mengadili, meluruskan penilaian fakta dan pembuktian. Jika sekiranya Pengadilan tingkat banding berpendapat pemeriksaan sudah tepat menurut tata cara yang ditentukan oleh Undang-undang dan amar putusan sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dalam perkara yang bersangkutan, maka Pengadilan tingkat banding itu berwenang untuk menguatkan putusan tersebut dengan cara mengambilalih seluruh pertimbangan dan putusan sebagai pertimbangan dan putusannya sendiri. Sebaliknya jika Pengadilan tingkat banding berpendapat bahwa perkara yangg diperiksa oleh Pengadilan tingkat pertama terdapat kesalahan dalam penerapan hukum atau kekeliruan cara mengadilinya, maka Pengadilan tingkat banding berwenang untuk membatalkannya dan mengadili sendiri dengan putusan yang dianggap benar sebagai koreksi daripada putusan Pengadilan tingkat pertama.
Berpedoman kepada hal-hal yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947, maka secara ringkas dapat diuraikan hal-hal yang berkenan dengan prosedur dan tata cara permohonan Berta pemeriksaan banding, sebagai berikut :
·         Prosedur perkara banding.
·         Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah putusan ditetapkan, atau setelah diberitahukan, dalam hal putusan diucapkan di luar Hadir.
·         Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut di atas, tetap diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan Panitera bahwa permohonan banding telah lampau waktu banding.
·         Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya banding yang ditaksir dalam SKUM oleh Meja pertama telah dibayar lunas oleh pemohon banding.
·         jika biaya banding telah dibayar lunas, maka Pengadilan Agama wajib membuat akta Pernyataan banding, dan mencatat permohonan banding tersebut dalam register induk perkara dan register banding.
·         Akta permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari harus sudah disampaikan kepada pihak lawan.
·         Tanggal penerimaan memori dan atau kontra memori bandin harus dicatat tanggal penerimaannya dan salinannya di sampaikan kepada masing-masing lawannya, dengan membuat akta pemberitahuan atau penyerahan memori dan atau kontra memori banding.
·         Sebelum berkas perkara banding dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama, harus diberikan kesempatan kepada kedua belch pihak untuk mempelajari atau memeriksa berkas perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta ceploit.
·         Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding diajukan, berkas banding berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
·         Biaya pemeriksaan perkara banding untuk Pengadilan Tinggi Agama harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau melalui Kantor Pos, bersamaan dengan pengiriman berkas yang bersangkutan.
·         Dalam menaksir biaya banding, diperhitungkan sesuai dengan besarnya biaya banding yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan ongkos kirim uang ke Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan biaya pemberitahuan berupa : (1) biaya pencatatan pernyataan banding, (2) biaya pemberitahuan akta banding, (3) biaya pemberitahuan memori banding, (4) biaya pemberitahuan kontra memori banding, (5) biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi pembanding. (6) biaya pemberitahuan memeriksa berkas bagi terbanding, (7) biaya pemberitahuan bunyi putusan Pengadilan Tinggi Agama bagi pembanding dan (8) biaya pemberitahuan bunyi putusan Pengadilan Tinggi Agama bagi terbanding.
·         Satu bulan sejak tanggal permohonan banding, berkas perkara (bendel A dan B) harus sudah dikirim kepada Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini bersifat imperatif sesuai dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 11 ayat (2) Undang-undang Nomor 20 Tabun 1947.

·         Pembuktian
Menurut M. Yahya Harahap, SH. (1991:01) dalam pengertian yang lugs, pembuktian adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan,atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara pihak-pihak yang berperkara. Menurut R. Subekti (1978:5) yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka Pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim.
Pembuktian bertujuan untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam hukum perdata dan hukum pidana. Dalam hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran materil. Dalam Praktek Peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut mencari kebenaran metril terhadap perkara yang sedang diperiksanya, karena tujuan pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwaperistiwa tertentu, sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir Berta mengambil keputusan.
·         Pelaksanaa Persidangan
Setelah Ketua Majelis Hakim meriyatakan sidang dibuka dan terluka untuk umum, Majelis Hakim segera mulai memeriksa pihakpihak yang berperkara. Agar persidangan tersebut dapat berlangsung dengan lancar, maka Majelis Hakim wajib melaksanakan prinsipprinsip persidangan sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Prinsip-prinsip persidangan itu tidak boleh diabaikan oleh Majelis Hakim, sebab hal tersebut menyangkut keabsahan sidang yang dilaksanakannya. Jika prinsip-prinsip persidangan yang telah ditentukan itu diabaikan, maka persidangan menjadi cacat hukum dan oleh karenanya dapat dibatalkan pada tingkat banding dan kasasi.
Ada pun prinsip-prinsip persidangan yang harus dilaksanakan oleh Majelis Hakim antara lain sebagai berikut :
·         Perinsip Personalitas Keislaman
Undang-undang Nomor 7 Thhun 1989 tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa Peradilan Agama mengadili hanya mereka yang mengaku dirinya memeluk agama Islam. Orang yang beragama selain Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama. Prinsip personalitas keislaman hanya dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan sengketa yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama saja, yaitu perkawinan, kewarisan, wasiat dan hibah yang dilaksanakan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadagah. Jadi kekuasaan Peradilan Agama itu hanya terbatas pada kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perclata tertentu.
Penerapan prinsip personalitas keislaman ini harus meliputi par pihak yang berperkara dan keduanya harus sama-sama beraama Islam. Jika salah sate pihak bukan beragama Islam, maka sengketa perkaranya harus diselesaikan pada Peradilan Umum. Demikian juga tentang hubungan hukumnya harus berlan3askan hukum Islam.Jika hubungan hukumnya bukan berdasarkan hukum Islam, maka sengketanya tidak tunduk pada kekuasaan Peradilan Agama, misalnya hubungan hukum Islam dengan ikatan suami isteri yang berdasarkan hukum barat, meskipun sekarang mereka sudah beragama Islam, asas keislaman mereka ditiadakan oleh lanclasan hubungan hukum yang menclasari perkawinan mereka. Oleh karena itu sengketa perkawinan mereka harus diselesaikan pada Peradilan Umum. Hal ini sesuai dengan surat Mahkamah Agung RI tanggal 31 Agustus 1983 yang ditujukan kepada Pengadilan Tinggi Ujung Pandang.
Yang menjadi patokan pada penerapan asas personalitas keislaman adalah cidasarkan kepada patokan umum dan patokan saat terjadinya hubungan hukum. Jika dilihat pada patokan yang umum, maka keislaman seseorang cukup diketahui pada faktorfaktornya saja tanpa mempersoalkan kualitas keislaman yang bersangkutan, jika is mengaku beragama Islam maka pada dirinya sudah melekat personalitas keislamannya. Faktanya cukup dilihat pada identitas yang dimiliki orang tersebut, seperti Kartu Tanda Penduduk, SIM atau tanda bukti lainnya. Jika dilihat dari patokan  personalitas keislaman yang diajadikan dasar pada saat terjadi hubungan hukum, maka ada dua syarat yang harus dipegangi yaitu: (1) pada saat terjadinya hubungan hukum kedua pihak sama-sama beragama Islam, (2) hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Jika kedua syarat ini sudah terpenuhi pada kedua beleh pihak, maka pada diri mereka sudah melekat personalitas keislaman dan sengketa di antara mereka diselesaikan di lingkungan Peradilan Agama. Tidak menjadi soal apakah di belakang hari atau pada saat terjadinya sengketa, salah seorang di antara mereka telah keluar dari Agama Islam (M. Yahya Harahap, SH,1989:39).
Personalitas keislaman dalam bidang hukum perkawinan dapat dilihat apabila terjadi sengketa di antara suami isteri dan bermaksud akan mengakhiri perkawinan mereka. Jika ikatan perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum Islam, kemudian pada saat sengketa terjadi salah seorang telah beralih kepada agama lain atau pin ah agama, maka yurisdiksinya tunduk pada Pengadilan Agama dan hukum yang berlaku tetap hukum Islam. Sebaliknya pada saat terjadi hubungan hukum itu, keduanya atau salah sate pihak belum beragama Islam, kemudian pada saat terjadi sengketa keduanya atau salah satunya sudah beragama Islam, maka pada diri mereka ticlak melekat asas personalitas keislaman, tetap tunduk pada hukum saat mereka menikah.
Dalam bidang hukum kewarisan, meskipun peraturan perundang-undangan telah menentukan adanya pilihan hukum, tetapi agar terwujudnya standar hukum dan kepastian hukum, Mahkamah Agung RI memberi petunjuk bahwa penyelesaian sengketa kewarisan haruslah dilihat dari agama yang dianut oleh pewaris. Jika pewaris beragama Islam, maka sengketa kewarisan itu harus diselesaikan secara hukum Islam dan menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama. Sebaliknya jika pewaris beragama non Islam, meskipun ahli warisnya banyak yang beragama Islam, sengketa kewarisan itu tetap harus diperiksa di lingkungan Peradilan Umum dan hal terakhir ini tidak menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama
























BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
·         Kesimpulan
Hukum  Acara Perdata adalah merupakan hukum yang mengutus tentang cara mengajukan gugatan kepada pengadilan, sehingga hak & kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya. 
·         Saran
Saya sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada Masyarakat & teman-teman sekalian agar kiranya dapat lebih memahami tentang judul makalah saya ini   yaitu :
“ Ringkasan Hukum Acara Perdata”
Hendaknya dengan makalah saya ini  masyarakat dan teman-teman sekalian. Dengan makalah saya ini, saya berharap masyarakat dan teman-teman lebih mengerti tentang hokum perdata karna sangat berimbas langsung kepada kita
















DAFTAR PUSTAKA
Drs.H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Penerbit Yayasan Al- Hikmah Jakarta
Yahya M. Harahap, SH Hukum Acara Perdata  Penerbit Sinar Grafindo



























Daftar Isi
Kata Pengantar....................................................................................................   i   
Daftra Isi.............................................................................................................   ii
Bab I Pendahuluan...........................................................................................   1
·         Pengertian Hukum acara Perdata............................................................   1
·         Sejarah singkat hukum acara perdata di Indonesia.................................   3
Bab II Ruang Lingkup Surat Kuasa...............................................................   8
·         Kuasa Pada Umumnya............................................................................   8
·         Pengertian kuasa secara umum..........................................................   8
·         Sifat perjanjian kuasa........................................................................   9
·         Berakhirnya kuasa.............................................................................   11

Bab III Ruang lingkup Pengajuan Gugatan..................................................   13
·         Pengertian...............................................................................................   13
·         Bentuk Gugatan......................................................................................   15
·         Berbentuk lisan.................................................................................   15
·         Bentuk Tertulis..................................................................................   17 
Bab IV Upaya Hukum Putusan Pengadilan...................................................   20
·         Upaya hukum..........................................................................................   20
·         Pelaksanaan Persidangan........................................................................   23
Bab V Kesimpulan dan Saran.........................................................................   28
·         Kesimpulan.............................................................................................   28
·         Saran.......................................................................................................   28

Daftar Pustaka


JIKA INGIN MEN DOWNLOAD NYA . SILAKAN KLIK INI  KARNA SUDAH DALAM BENTUK .DOC

DOWNLOAD