BAB I
Bab III Ruang lingkup Pengajuan Gugatan.................................................. 13
·
Pengertian Hukum Acara Perdata
Manusia dalam
berinteraksi satu sama lainnya dalam kehidupan masyarakat sering menimbulkan konflik. Konflik ini
adakalanya dapat diselesaikan secara damai,
tetapi adakalanya konflik tersebut menimbulkan
ketegangan yang terns menerus sehingga menimbulkan kerugian pada kedua
belah pihak. Agar dalam mempertahankan hak masing-masing pihak itu tidak
melampaui batas-batas dari norma yang ditentukan
maka perbuatan sekehendaknya sendiri haruslah dihindarkan. Apabila para pihak merasa hak-haknya terganggu dan menimbulkan kerugian, maka orang yang merasa
haknya dirugikan dapat mengajukan
gugatan kepada Pengadilan Agama sesuai dengan prosedur yang berlaku.
Menurut Darwan
Prints, SH. (1992 : 1) gugatan adalah suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak tau memaksa pihak lain untuk melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna
memulihkan kerugian Yang diderita oleh
Penggugat melalui putusan pengadilan. Sementara itu Prof. DR. Sudikno Mertokusumo, SH. (1.979:29) mengemukakan bahwa
gugatan itu adalah tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang diberikan oleh
Pengadilan untuk mencegah perbuatan
main hakim sendiri (eigenrighting). Dengan demikian dapat diketahui bahwa gugatan adalah suatu permohonan Yang disampaikan kepada Pengadilan yang berwenang
tentang suatu tuntutan terhadap pihak
lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut. Dalam hal gugatan kepada Pengadilan selalu ada pihak Penggugat atau para Penggugat,Tergugat
atau para Tergugat dan turut Terugat atau para turut Tergugat. Cara menyelesaikan perselisihan lewat pengadilan
tersebut diatur dalam Hukum Acara Perdata (Burgerlijk Procesrecht, Civil
Law of Procedure).
Dalam rangka
menegakkan hukum perdata materil, fungsi Hukum Acara Perdata sangat
menentukan. Hukum Perdata Materil tidak dapat dipaksakan berlakunya tanpa
adanya dukungan dari Hukum acara Perdata ini Prof. DR. Wirjono Projodikuro, SH,
(1970: 12) mengemukakan bahwa yang dimaksud dengan Hukum Acara Perdata adalah
rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara
bagaimana pengadilan harus bertindak
satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturanHukum Perdata. DR. Sudikno
Mertokusumo, SH (1988 ;4)
mengemukakan bahwa objek dari pada ilmu Hukum Acara Perdata ialah keseluruhan
peraturan yang bertujuan melaksanakan dan mempertahankan atau mengekan
Hukum Perdata Materil dengan perantaraan kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan,
Melihat batasan-batasan yang
dikemukakan oleh pakar hukum sebagaimana tersebut di atas, maka dapat diketahui
bahwa Hukum Acara Perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara
mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak Tergugat mempertahankan
diri dari gugatan Penggugat, bagaimana para hakim bertindak baik sebelum dan
sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim memutus perkara yang
diajukan oleh Penggugat tersebut serta bagaimana cara melaksanakan putusan
tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan yang berlaku. sehingga
hak dan kewajiban sebagaimana yang telah diatur dalam Hukum Perdata dapat
berjalan sebagaimana mestinya.
Diharapkan dengan adanya Hukum Acara
Perdata ini, para pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah
dirugikan oleh pihak lain melalui pengadilan, tidak main hakim sendiri. Dalam
Hukum Acara Perdata ini diatur hak dan kewajiban yang harus dilakukan oleh
masing-masing pihak yang berperkara secara seimbang di depan sidang pengadilan
sesuai dengan peraturan vang berlaku. Hukum Acara Perdata termasuk dalam ruang
lingkup hukum privat (Private Law) di samping Hukum Perdata Materil Hukum Acara
Perdata disebut Hukum Perdata Formil. karena is mengatur tentang proses
penyelesaian perkara melalui Pengadilan sesuai dengan norma-norma yang telah
ditentukan secara formal.
·
Sejarah Singkat Hukum Acara Perdata Di Indonesia
Pada mulanya pemerintah Hindia Belanda
tidak mempunyai peraturan khusus tentang Hukum Acara yang diperuntukkan kepada
rakyat Bumi Putra yang berperkara di Pengadilan, tetapi karena kebutuhan yang
sangat mendesak pemerintah Hindia Belanda mempergunakan Soh, 1119 No. 20 dengan
sedikit penambahan dan perubahan yang ti ak begitu berarti. Sementara itu. Mr.
H. L. Wichers yang menjabat Ketua Mahkamah Agung Hindia Belanda
(Hooggerechtshof) yang berkeduclukan & Batavia (sekarang Jakarta) melarang
dalam praktek pengadilan mempergunakan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan
golongan Eropa kepada rakyat Bumi Putra tanpa dilandasi dengan aturan
perundang-undangan yang berlaku. Dengan hal tersebut terjadi kekosongan
hukum acara dalam praktek peradilan untuk golongan Bumi Putra. sehingga
pemerintah Hindia Belanda merasa perlu membuat hukum acara khusus yang
diberlakukan untuk golongan Bumi Putra agar dipergunakan oleh hakim dalam
melaksanakan tugas-tugas yang di bebankan kepadanya.
Dengan beslit Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen No. 3 tahun 1846 tanggal
5 Desember 1846, Mr. H.L. Wichers clitunjuk dan ditugaskan untuk menyusun
sebuah reglemen tentang administrasi. polisi, acara perdata dan acara pidana
bagi golongan pribumi atau Bumi Putra yang waktu itu terhadap mereka berlaku
Stb.1819 No. 20 yang memuat 7 (tujuh) pasal yang berhubungan dengan Hukum Acara
Perdata. Tugas tersebut dilaksanakan dengan baik oleh Mr. H.L Wichers dalam tempo 8 (delapan) bulan lamanya. Pada
tanggal 6 Agustus 1847 rancangan itu disampaikan kepada Gubernur
Jenderal Jan Jacob Rochussen untuk dibahas
lebih lanjut dengan pakar hukum yang bertugas di Mahkamah Agung Hindia
Belanda pada waktu itu. Dalam sidang pembahasan di Mahkamah Agung Hindia
Belanda tersebut, berkembang pikiran bahwa rancangan yang disusun oleh Mr. H.L.
Wichers itu terlalu sederhana, mereka
menghendaki agar dalam rancangan tersebut supaya ditambah dengan lembaga
penggabungan jaminan, interventie dan reques civil sebagaimana yang terdapat
pada Rv. yang diperuntukkan pada golongan Eropa. (Supomo :1963:5 don Abdul
Kadir Muhammad, SH.: 1978:20).
Gubernur Jenderal
Jan Jacob Rochussen tidak setuju atas penambahan sebagaimana tersebut di atas, terutama
hat yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2). Gubernur Jenderal Jan Jacob
Rochussen hanya
memperbolehkan Hukum Acara Perdata yang dipergunakan untuk golongan Eropa di
pergunakan oleh Pengadilan Gubernemen yang ada di Jakarta, Semarang dan
Surabaya saja dalam mengadili orang-orang Bumi Putra, selebihnya dilarang
dipergunakan untuk golongan Bumi Putra. Sikap Gubernur Jenderal ini didukung
penuh oleh Mr. H.L. Wichers, beliau mengemukakan bahwa kalau dalam rancangan yang dibuat itu ditambah sebagaimana
yang tersebut dalam Rv, sebaiknya Rv saja yang diberlakukan seluruhnya
untuk golongan Bumi Putra itu. Kalau
konse-D rancangan itu ditambah lagi dengan hat-hat yang dianggap tidak begitu penting, dikhawatirkan konsep rancangan
itu bukan akan bertambah jelas tetapi malah akan menjadi kabur dan tidak terang
lagi rancangannya.
Setelah menerima
masukan-masukan dari berbagai pihak, terutama atas saran dari Gubernur Jenderal
Jan Jacob Rochussen, ketentuan yang tersebut dalam pasal 432 ayat (2)
dirubah, kemudian ditambah suatu ketentuan
penutup yang bersifat umum yang mengatur berbagai aturan termuat dalam
pasal 393 ayat (1) dan (2) sebagaimana tersebut dalam HIR sekarang ini. Pasal
ini merupakan pasal yang sangat penting
karena dalam pasal tersebut dinyatakan dengan tegas bahwa HIR diberlakukan
untuk golongan Bumi Putra, tetapi apabila
benar-benar dirasakan perlu dapat dipergunakan ketentuan lain dalam
perkara perdata meskipun sedikit mirip dengan ketentuan yang tersebut dalam Rv.
Setelah melalui
perubahan d1an penambahan sebagaimana tersebut di atas, akhirnya
Gubernur Jenderal Jan Jacob Rochussen pada tanggal 5 April 1848 menerima
rancangan Mr. H.L. Wichers ini dengan menerbitkan Stb. 1848 No. 16 dan dinyatakan berlaku secara resmi pada tanggal 1 Mei 1848 dengan sebutan
"Reglement Op de Uitoefening Van
de Polite, de Vreemde Osterlingen op Java en Madura" disingkat
dengan "Inlandsch Reglement" (IR). Ketentuan ini akhirnya disahkan
dan dikuatkan oleh pemerintah Belanda dengan firman raja tanggal 29 September
1849, No. 93 Stb. 1849 No. 63. Reglement ini selain
diperuntukkan golongan Bumi Putra (pribumi), juga diperuntukkan bagi
golongan Timur Asing di Jawa dan Madura karena dianggap bahwa orang-orang Timur Asing itu
kecerdasannya disamakan dengan Bumi Putra. (Abdul Kadir Muhammad,
SH.: 1978: 21).
Dalam perkembangan lebih lanjut
Inlandsch Reglement (IR) ini beberapa kali terjadi perubahan. Perubahan penama
dilaksanakan pada tahun 1926 yang
merubah dan menambah beberapa ketentuan :) baru dalam IR tersebut yang
kemudian dirumuskan dengan Stb. 1926 No. 559 jo. 496. Perubahan kedua
dilaksanakan pada tahun 1941. perubahan ini sangat mendasar sehubungan di
bentuknya Lembaga Penuntut Umum yang anggota-anggotanya tidak lagi di
bawah Pamong Praja, melainkan langsung di bawah Kejaksaan tinggi dan Jaksa Agung yang berdiri sendiri yang tidak
terpecah-pecah (Ondeelbaar) dan togas
lembaga tersebut menyangkut soal-soal
pidana sehingga perlu diatur
juga tentang acara pidananya- Oleh karena adanya perubahan yang sangat
mendasar ini. yang dalam bahasa Belandanya disebut "Herzien", maka
sebutan yang semuia 'Wandsch reglement"
diganti namanya menjadi 'Het HeTziene Inlandsch Reglement"
disingkat HIR. Setelah Indonesia Merdeka. HIR disebut juga RIB. singkatan dari
Reglement Indonesia yang di:perbaharui. Pengundangan secara keseluruhan HIR ini dilakukan dengan Stb. 1941
No. 44.
Berdasarkan pasal
6 firman raja Stb. 1847 No. 23 yang member wewenang kepada Gubernur Jenderal
Hindia Beianda untuk mengambil langkah apabila dianggap perlu untuk menjamin berlakunya Kitab Undang-undang Hukum
Perdata dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang secara tertib, makes Gubernur
Jendral Hindia Belanda mengumumkan sebuah Reglement Hukum Acara untuk daerah seberang dengan Stb. 1927 No. 227 dengan
sebutan
"Rechtsreglement
Voor De Buitengewesten’’ yang disingkat dengan
R.Bg. Ketentuan
yang diatur dalam R.Bg. pada hakekatnyanya sama
dengan apa yang
telah diatur HIR. Dengan sedikit perubahandan
pengurangan yang dianggap perlu.
pengurangan yang dianggap perlu.
Pada zaman
penjajahan Jepang. Berdasarkan undang-undang Nomor 1 Tahun 1942 pemerintah
Balatentara Dai Nippon mulai tanggal 7 Maret 1942 di Jawa dan Madura
memberlakukan ketentuan yang
mengatakanbahwa semua Badan pemerintah dan kekuasannva Hukum dan Undang-undang dari pemerintah yang dulu
tetap diakui sah buat sementara waktu asal
saja tidak bertentangan dengan
aturan pemerintah militer. Atas dasar Undang-undang ini
HIR. Bg. masih tetap berlaku. Kemudian pada bulan April 1942 pemerintah Balatentara Dai Nippon mengeluarkan peraturan Baru
tentang susunan dan kekuasaan Pengadilan yaitu yang membentuk suatu Pengadilan
untuk tingkat pertama yang Hooin. dan Kootoo Hoon untuk pemeriksaan
tingkat tingkat banding. Kedua macam Peradilan tersebut di peruntukan kepada semua
golongan penduduk tanpa membeda-bedakan
orang, kecuali bagi orang-orang Jepang yang
diadili dengan Pengadilan sendiri. Dengan di hapusnya Raad Van Justitie dan Residentie Gerech, dengan
sendirinya Hukum Acara yang termuat
dalam B.R%-. juga tidak berlaku lagi
kecuati untuk rnengisi kekosongan
hukum sepanjang diperlukan sedangkan dalam
HIR dan R. Bg. juga tidak diatur. (Wirjono Projodikoro : 1-962;
25 don Abdul Kadir Muhammad, SH: 1978.24-25).
Ketika Indonesia
merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 kondisi yang berlaku pada zaman
penjajahan Jepang tetap berlaku berdasarkan
Aturan Peralihan pasal II dan IV
Undang-Undang Dasar 1945 dan Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 1945 tanggal 10
Oktober 1945. Dengan demikian HIR, dan R.Bg. masih tetap berlaku sebagai Hukum Acara di lingkungan Pengadilan
Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung
RI. Kemudian dengan pasal 5 Undang-Undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan, susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-Pengadilan sipil yang diberlakukan pada tanggal 14 Januari 1951 Lembaran Negara Nomor 9 Tahun 1951
ditentukan bahwa HIR dan R.Bg.
sebagai aturan yang harus dipedomani dalam pemeriksaan perkara di Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi dan Mahkamah
Agung RI.
Dalam perkembangan lebih
lanjut, ketentuan Hukum Acara Perdata yang termuat dalam HIR dan R.Bg. tersebut
dimantapkan berlakunya dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1947 khusus untuk acara banding daerah Jawa dan Madura,
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 (LN. 1970 Nomor 74) tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 (LN.
1985 Nomor 73) tentang Mahkamah Agung
RI, Undang-undang Nomor 2 Tahun 1986
(LN. 1986 Nomor 20) tentang Peradilan Umum dan Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 LN. 1989 Nomor 49)
tentang Peradilan Agama
BAB II
Ruang Lingkup Surat Kuasa
Sepintas lalu, masalah kuasa khususnya
dianggap remeh. Searing pembuatannya dilakukan secara sembarangan. Tidak
diperhatikan apakah pembuatannya telah memenuhi syarat yang digariskan
ketentuan perundang-undangan. Akibatnya, surat kuasa tersebut tidak sah. Dampak yang timbul dari surat kuasa khusus
tidak memenuhi syarat, yaitu
·
surat gugatan tidak sah, apabila pihak yang
mengajukan dan menandatangani gugatan adalah kuasa berdasarkan surat kuasa
tersebut, dan
·
segala proses pemeriksaan tidak sah, atas alasan pemeriksaan
dihadiri oleh kuasa yang
tidak didukung oleh surat kuasa yang memenuhi syarat.
Apabila ter adi hal
seperti itu, gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ont vankelijk
verklaard). Keadaan ini menimbulkan keragian waktu dan biaya bagi penggugat. Waktu dan
biaya terbuang sia-sia tanpa memperoleh hasil penyelesaian positif. Untuk menghindari akibat
tersebut, perlu diperhatikan syarat yang harus dipenuhi.
·
Kuasa Pada Umumnya
Secara umum, surat kuasa tunduk pada
prinsip hukum yang diatur dalam Bab Keenam
Belas, Buku III KUH Perdata, sedano, aturan khususnya diatur dan
tunduk pada ketentuan hukum acara yang
digariskan 14IR dan RBG. Oleh karena itu, perlu disinggung secara ringkas
beberapa prinsip hukum pemberian kuasa, yang dianggap berkaitan dengan kuasa
khusus.
·
Pengertian Kuasa Secara Umum
Untuk memahami pengertian kuasa secara
umum, dapat dirujuk Pasal 1792 KUH Perdata, yang berbunyi:
Pemberian kuasa adalah suatu persetujuan dengan mana
seorang tnemberikan k-ek-uasaan kepada seorang lain, yang menerimanya, untuk dan atas namanya menyelenggarakan suatu
urusan.
Bertitik
tolak dari ketentuan pasal tersebut, dalam perjanjian kuasa, terdapat dua
pihak, yang terdiri dari :
·
Pemberi
kuasa atau lastgever (instruction, mandate);
·
Menrima
kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau mandate melakukan sesuatu
untuk dan atas nama pemberi kuasa.
Lembaga hukumnya disebut pemberian kuasa atau lastgeving
(volmacth, full power), jika
·
pemberi
kuasa melimpahkan perwakilan atau mewakilkan kepada penerima kuasa untuk
mengurus kepentingannya, sesuai dengan fungsi dan kewenangan yang ditentukan
dalam Surat kuasa;
·
dengan
demikian, penerima kuasa (lasthebber, mandatory) berkuasa penuh,
bertindak mewakili pemberi kuasa terhadap pihak ketiga untuk dan atas nama
pemberi kuasa;
·
oleh karena itu, pemberi kuasa bertanggung jawab atas
segala perbuatan kuasa, sepanjang
perbuatan yang dilakukan kuasa tidak melebihi wewenang yang diberikan pemberi
kuasa.
Pada dasamya, pasal-pasal yang mengatur
pemberian kuasa, tidak bersifat imperatif Apabila para pihak menghendaki, dapat
disepakati selain yang digariskan dalam
undang-undang. Misalnya, para pihak dapat menyepakati agar pemberian kuasa tidak
dapat dicabut kembali (irrevocable). Hal ini dimwigkinkan, karena pada
umumnya pasal-pasal hokum perjanjian, bersifat mengatur (aanvullend recht).'
·
Sifat Perjanjian Kuasa
Terdapat beberapa sifat pokok yang
dianggap penting untuk diketahui, antara lain sebagai berikut.
·
Penerima Kuasa Langsung Berkapasitas sebagai Wakil Pemberi Kuasa
Pemberian kuasa
tidak hanya bersifat mengatur hubungan internal antara pemberi kuasa dan penerima kuasa. Akan tetapi,
hubungan hokum itu langsung menerbitkan dan memberi kedudukan Berta kapasitas
kepada kuasa menjadi wakil penuh (full power) pemberi kuasa, yaitu.
·
memberi hak dan kewenangan (authority) kepada
kuasa, bertindak untuk dan
atas nama pemberi kuasa terhadap pihak ketiga;
·
tindakan kuasa tersebut langsung mengikat kepada diri
pemberi kuasa, sepanjang tindakan
yang dilakukan kuasa tidak melampaui batas kewenangan yang dilimpahkan pemberi
kuasa kepadanya;
·
dalam
ikatan hubungan hukum yang dilakukan kuasa dengan pihak ketiga, pemberi kuasa berkedudukan sebagai pihak materiil
atau principal atau pihak utama,
dan penerima kuasa berkedudukan dan berkapasitas sebagai pihak formil.
Akibat hukum dari
hubungan yang demikian, segala tindakan yang dilakukan kuasa kepada pihak ketiga dalam kedudukannya
sebagai pihak formil, mengikat kepada pemberi kuasa sebagai principal (pihak
materiil).
·
Pemberian Kuasa Bersifat Konsensual
Sifat perjanjian atau persetujuan kuasa
adalah konsensual (consensuale overeenkomst),
yaitu perjanjian berdasarkan
kesepakatan (agreement) dalam arti:
·
hubungan
pemberian kuasa, bersifat partai yang terdiri dari pemberi dan penerima kuasa;
·
hubungan hukum itu dituangkan dalam ped anj ian pemberian
kuasa
berkekuatan mengikat sebagai persetujuan di antara
mereka (kedua belah pihak);
·
oleh
karma itu, pemberian kuasa harus dilakukan berdasarkan pernyataan kehendak yang
tegas dari kedua belah pihak.
Itu sebabnya
Pasal 1792 maupun Pasal 1793 ayat (1) KUH Perdata menyatakan, pemberian
kuasa selain didasarkan atas persetujuan kedua belah pihak, dapat, dituangkan
dalam bentuk akta otentik atau di bawah tangan maupun dengan lisan. Namun demikian, tanpa mengurangi
penjelasan di atas, berdasarkan Pasal 1793 ayat
(2) KUH Perdata, penerimaan kuasa dapat tedadi secara diam-diam, dan hal itu dapat disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu
oleh pemberi kuasa. Akan tetapi, cara
diam-diam ini, tidak dapat diterapkan dalam pemberian kuasa khusus. Kuasa khusus harus disepakati secara tegas dan harus
dituangkan dalam bentuk akta atau Surat kuasa khusus.
·
Berkarakter Garansi- Kontrak
Ukuran untuk
menentukan kekuatan mengikat tindakan kuasa kepada principal (pemberi kuasa), hanya terbatas:
·
sepanjang
kewenangan (volmacht) atau mandat yang diberikan oleh pemberi kuasa;
·
apabila
kuasa bertindak melampaui batas mandat, tanggung jawab pemberi kuasa hanya sepanjang tindakan, yang sesuai dengan mandat yang
diberikar" Sedang pelampauan itu menjadi tanggung jawab kuasa,
sesuai dengan asas "garansi-kontrak" yang digariskan Pasal 1806 KUH
Perdata.
·
Berakhirnya Kuasa
Pasal 1813 KUH
Perdata, membolehkan berakhirnya perjanjian kuasa secara sepihak atau
unilateral. Ketentuan ini secara diametral bertentangan dengan Pasal 1338 KUH Perdata ayat (2) yang
menegaskan, persetujuan tidak dapat ditarik atau
dibatalkan secara sepihak, tetapi harus berdasarkan kesepakatan kedua belch pihak
(secara bilateral).
Hal-hal yang dapat mengakhiri pemberian kuasa
menurut Pasal 1813 KUH Perdata.
·
Pemberi Kuasa Menarik Kembali Secara Sepihak
Ketentuan
penarikan atau pencabutan kembali (revocation, herroepen) kuasa oleh pemberi kuasa, diatur lebih lanjut
dalam Pasal 1814 KUH Perdata dan seterusnya, dengan acuan:
·
pencabutan tanpa memerlukan persetujuan dari penerima
kuasa; pencabutan dapat dilakukan
secara tegas dalam bentuk:
·
mencabut
secara tegas dengan tertulis, atau
·
meminta
kembali surat kuasa, dari penerima kuasa
·
pencabutan
secara diam-diam, berdasarkan Pasal 1816 KUH Perdata. Caranya, pemberi kuasa
mengangkat atau menunjuk kuasa baru untuk melaksanakan
urusan yang sama. Tindakan itu berakibat, kuasa yang pertama, terhitung sejak tanggal pemberian kuasa kepada
kuasa yang baru, ditarik kembali secara diam-diam.
Sehubungan dengan
pencabutan secara sepihak, ada baiknya dilakukan secara terbuka, dengan jalan memberitahukan
atau mengumumkannya. Cara yang deinikian, memberi perlindungan hukum kepada
pemberi kuasa maupun kepada pihak ketiga,
karena sejak itu, setiap tindakan yang dilakukan kuasa untuk dan atas nama pemberi kuasa, tidak sah dan dianggap melawan
hukum, sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepada pemberi kuasa. Sebaliknya jika pencabutan tidak terbuka, semua
tindakan hukum yang dilakukannya dengan pihak ketiga yang beritikad baik, tetap
mengikat kepada pemberi kuasa.
·
Salah Satu Pihak Meninggal
Pasal 1813 KUH
Perdata menegaskan, dengan meninggalnya salah satu pihak dengan sendirinya pemberian kuasa
berakhir demi hukum. Hubungan hukum perjanjian kuasa, tidak berlanjut kepada
ahli waris. hka hubungan itu hendak diteruskan
oleh ahli waris, harus dibuat surat kuasa baru. Paling tidak, ada penegasan tertulis dari ahli waris yang berisi pernyataan,
melanjutkan persetujuan pemberian kuasa dimaksud.
·
Penerimaan Kuasa Melepas Kuasa
Pasal 18 17 KUH Perdata, memberi hak
secara sepihak kepada kuasa untuk melepaskan (op zegging) kuasa yang
diterimanya, dengan syarat:
·
harus memberitahu kehendak pelepasan itu kepada pemberi
kuasa;
·
pelepasan
tidak boleh dilakukan pada saat yang tidak layak.
Ukuran tentang ini, didasarkan pada perkiraan objektif,
apakah pelepasan itu dapat
menimbulkan kerugian kepada pemberi kuasa.
BAB III
Ruang Lingkup Pengajuan Gugatan
·
Pengeritan
Telah dijelaskan,
sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) UU No. 14 Tahun 1970 (sebagaimana diubah dengan
UU No. 35 Tahun 1999), dan sekarang diatur dalam Pasal 16 ayat (1) UU No. 4
Tahun 2004 sebagai pengganti UIJ No. 14 Tahun 1970. Tugas dan kewenangan badan peradilan di
bidang perdata adalah menerima
memeriksa, dan mengadili serta menyelesaikan sengketa di antara para
pihak yang memerlukan mengadili pihak yang beperkara. Hal inilah yang menjadi tugas pokok
peradilan. Wewenang pengadilan menyelesaikan perkara diantara pihak yang
bersengketa, disebut yurisdiksi contentiosa
dan gugatannya berbentuk gugatan contentiosa
atau disebut juga contentious. Deegan demikian yurisdiksi dan gugatan contentiosa,
merupakan hal yang berbeda atau berlawanan dengan yurisdiksi gugatan
voluntair yang bersifat sepihak (ex-parte), yaitu pennasalahan
yang diaJukan untuk diselesaikan pengadilan tidak
mengandung sengketa (undisputed matters), tetapi semata-mata untuk kepentingan
pemohon.
Lain halnya dengan gugatan contentiosa,
gugatannya mengandung sengketa di antara
dua pihak atau lebih. Permasalahan yang diajukan dan di minat untuk
diselesaikan dalam gugatan, merupakan sengketa atau perselisihan di
antara para pihak (between contending parties). Di mass yang lalu bentuk
ini disebut contentiosa rechtspraak. Artinya,
penyelesaian sengketa di pengadilan melalui proses sanggah-menyanggah dalani
bentuk replik (jawaban dari suatu jawaban), dan duplik (jawaban kedua kali).
Atau disebut juga op tegenspraak, yaitu proses peradilan
sanggah-menyanggah.
Perkataan contentiosa
atau contentious, berasal dari bahasa Latin. Salah satu arti perkataan itu, yang dekat
kaitannya dengan penyelesaian sengketa perkara adalah penah semangat bertanding atau berpolemik itu sebabnya penyelesaian perkara yang mengandung sengketa, disebut yurisdiksi contentiosa,atau
contentious jurisdiction, yaitu kewenangan peradilan yang memeriksa perkara
yang berkenaan dengan masalah
persengketaan (jurisdiction of court that is concerned with contested
matters) antara pihak yang bersengketa (between contending parries)
Gugatan contentiosa
inilah yang dimaksud dengan gugatan perdata dalam praktik. Sedang
penggunaan gugatan contentiosa, lebih bercorak pengkajian teoretis untuk membedakannya dengan
gugatan voluntair. Dalam perundangundangan, istilah yang dipergunakan
adalah. gugatan perdata atau gugatan saja.
·
Pasal
118 ayat (1) HIR mempergunakan istilah gugatan perdata. Akan tetapi, dalam pasal-pasal selanjutnya,
disebut gugatan atau gugat saja (seperti dalam Pasal 119, 120, dan sebagainya.
·
Pasal 1 Rv menyebut gugatan (tiap-tiap proses perkara
perdata ..., dimulai dengan
sesuatu pemberitahuan gugatan ). Namun jika pasal itu dibaca keseluruhan, yang
dimaksud dengan gugatan adalah gugatan perdata.
Prof. Sudikno Mertokusumo, juga
mempergunakan istilah gugatan, berupa tuntutan perdata (burgerlijke
vordering) tentang hak yang mengandung sengketa dengan pihak lain'. Begitu
juga Prof. R. Subekti, mempergunakan sebutan gugatan, yang dituangkan dalam
surat gugatan.. Dengan demikian setiap perkara perdata, diajukan ke PN dalam
bentuk surat gugatan. Begitu juga halnya dalam praktik peradilan. Selamanya
dipergunakan istilah gugatan. Penyebutan ini dianggap langsung membedakannya
dengan permohonan yang bersifat voluntair. Salah satu contoh Putusan MA yang mengatakan: selama
proses perkara belum diperiksa di
persidangan, penggugat berhak mencabut gugatan tanpa persetujuan tergugat.'
Bertitik tolak dari penjelasan di atas,
yang dimaksud dengan gugatan perdata adalah
gugatan contentiosa yang mengandung sengketa di antara pihak yang beperkara yang pemeriksaan penyelesaiannya
diberikan dan diajukan kepada pengadilan dengan posisi para pihak:
·
yang mengajukan penyelesaian sengketa disebut dan
bertindak sebagai penggugat
(plaintiff = planctus, the party who institutes a legal action or claim)
sedangkan yang ditarik sebagai pihak lawan dalam
penyetesalan, disebut dan berkedudukan sebagai tergugat (defendant, the
party against whom a civil action is brought
Dengan demikian, ciri yang melekat pada gugatan
perdata:
·
permasalahan
hukurn yang diajukan ke pengadilan mengandung sengketa (disputes,
diffierences),
·
sengketa
terjadi di antara para pihak, paling kurang di antara dua pihak,
·
berarti
gugatan perdata bersifat partai (party), dengan komposisi, pihak yang
satu bertindak dan berkedudukan sebagai penggugat dan pihak yang lain,
berkedudukan sebagai tergugat.
·
BENTUK GUGATAN
Bentuk gugatan perdata yang dibenarkan
undang-undang dalam praktik, dapat dijelaskan sebagai berikut.
·
Berbentuk Lisan
Bentuk gugatan lisan, diatur dalam
Pasal 120 HIR (Pasal 144 RBG) yang menegaskan:
Bilamana penggugat buta huruf
maka surat gugatannya dapat dimasukkan dengan lisan kepada Ketua Pengadilan
Negeri, yang mencatat gugatan itu atau menyuruh mencatatnya.
Pada saat undang-undang (HIR) ini dibuat tahun 1941 (St. 1941, No
44), ketentuan Pasal 120 ini benar-benar realistic, mengakomodasi kepentingan
anggota masyarakat buta huruf yang sangat besar jumlahnya pada saat itu.
Ketentuan ini sangat bennanfaat membantu masyarakat buta huruf yang tidak mampu
membuat dan memformulasi gugatan tertulis.
Mereka dapat mengajukan gugatan dengan lisan kepada Ketua PN, yang oleh
undang-undang diwajibkan untuk mencatat dan menyuruh catat gugat lisan, dan
selanjutnya Ketua PN memformulasinya dalam bentuk tertulis. Selain itu,
ketentuan ini melepaskan rakyat kecil yang tidak mampu menunjuk seorang kuasa
atau pengacara, karena tanpa bantuan pengacara dapat memperoleh bantuan
pertolongan dari Ketua PN untuk membuat gugatan yang diinginkannya.
Tanpa mengurangi
penjelasan di atas, ada pihak yang berpendapat, ketentuan ini tidak relevan
lagi. Bukankah tingkat kecerdasan masyarakat sudah jauh meningkat dibanding
masa lalu. Apalagi, perkembangan jumlah pengacara yang sudah mencapai kota kabupaten,
memperkuat alasan tentang tidak relevannya gugatan secara lisan. Namun
demikian, memerhatikan luasnya Indonesia serta tingkat kecerdasan yang tidak merata terutama di
pelosok pedesaan, dihubungkan dengan mahalnya biaya jasa pengacara, ketentuan
Pasal 120 HIR, dianggap masih perlu dipertahankan dalam pembaruan hukum acara
perdata yang akan datang.
Terlepas dari hal
di atas, terdapat beberapa segi yang perlu dibicarakan mengenai pengajuan gugatan
secara lisan. Yang terpenting di antaranya adalah sebagai berikut.
·
Syarat Formil Gugatan Lisan
Penggugat tidak bisa membaca
dan menulis. Dengan kata lain, penggugat buta aksara. Dalam Pasal 120 HIR, hanya disebut
buta aksara. Tidak termasuk
Orang yang buta hukum atau kurang memahami hokum.
Juga tidak disyaratkan orang yang tidak mampu secara financial. Tidak
dimasukkan syarat kemampuan finansial
sebagai syarat yang diakumulasi dengan buta aksara, membuat ketentuan ini
kurang adil. Alasannya orang yang kaya tetapi buta aksara, pada dasarnya dapat membiayai pengacara, sehingga kurang layak
menclapat bantuan dari Ketua PN.
·
Cara Pengajuan Gugatan Lisan
Pengajuan
gugatan dilakukan dengan
·
diajukan
dengan lisan,
·
kepada
Ketua PN, dan
·
menjelaskan
atau menerangkan isi clan maksud gugatan.
Pengajuan atau pemasukan gugatan secara lisan,
disampaikan sendiri oleh penggugat. Tidak
boleh diwakilkan oleh kuasa atau pengacara yang ditunjuknya. Dengan menunjuk pengacara sebagai kuasa yang akan
mewakili kepentingannya, menurut hukum dianggap, telah melenyapkan
syarat buta aksara. Kecuali yang ditunjuk sebagai kuasa terdiri dari anggota
keluarga yang juga buta aksara, pada diri kuasa dianggap melekat syarat
tersebut. Mengenai larangan ini, tertera juga dalam satu Putusan MA yang menegaskan," orang
yang diberi kuasa, tidak berhak mengajukan gugatan secara lisan.
·
Fungsi Ketua PN
·
Ketua
PN wajiib memberi layanan,
·
pelayanan
yang hares diberikan Ketua PN:
·
mencatat
atau menyuruh catat gugatan yang disampaikan penggugat, dan
·
merumuskan
sebaik mungkin gugatan itu dalam bentuk tertulis sesuai yang diterangkan
penggugat.
Sehubungan dengan kewajiban mencatat
dan merumuskan gugatan sebaik mungkin, Ketua
PN perlu memerhatikan Putusan MA tentang ini yang menegaskan," Adalah tugas Hakim Pengadilan
Negeri untuk menyempurnakan gugatan tulisan tersebut dengan jalan
melengkapinya dengan petitum, sehingga dapat mencapai apa sebetulnya yang
dimaksud oleh penggugat.
·
Bentuk Tertulis
Gugatan yang paling diutamakan adalah
gugatan dalam bentuk tertulis. Hal aii
ditegaskan dalam Pasal 118 ayat (1) HIR (Pasal 142 RBG). Menurut pasal ini,
gugatan perdata harus dimasukkan kepada PN dengan surat permintaan yang ditandatangani oleh penggugat atau kuasanya.
Memerhatikan ketentuan ini, yang berhak dan berwenmimembuatdan
mengajukan gugatan perdata adalah sebagai berikut.
·
Penggrigat Sendiri
Surat gugatan
dibuat dan ditandatangani oleh penggugat sendiri. Kebolehan penggugat
membuat, menandatangani, dan mengajukan sendiri gugatan ke PN, adalah karma HIR maupun
RBQ tidak menganut sistem Verplichte Procure.ur Stelling. mewajibkan
penggugat pengugat harus memberi kuasa kepada yang berpredikat yang
pengacara atau advokat untuk
mewakilinya, sebagaimana hal itu dahulu dianut oleh Reglement op de
Rechtvordering (Rv).
Kebolehan ini dengan tegas disebut dalam Pasal 118
ayat (1) HIR, dengan demikian:
·
tidak ada keharusan atau kewajiban hukum bagi penggugat
untuk menguasakan atau
memberi kuasa dalam pembuatan, penandatanganan, serta pengajuan gugatan
kepada seseorang yang berpredikat pengacara atau advokat;"
·
akan tetapi, hal itu tidak mengurangi haknya untuk
menunjuk seseorang atau beberapa orang kuasa, yang akan bertindak mengurus kepentingannva dalam pembuatan dan pengajuan gugatan."
·
Kuasa
Selanjutnya, Pasal 118 ayat
(1) HIR, memberi hak dan kewenangan kepada kuasa atau wakilnya untuk membuat, menandatangani,
mengajukan atau menyampaikan surat gugatan kepada PN. Ketentuan ini, sejalan
dengan yang digariskan pada Pasal 123 ayat (1) HIR yang mengatakan, baik
penggugat dan tergugat (kedua belah pihak):
·
dapat
dibantu atau diwakili oleh kuasa yang dikuasakan untuk m.etakukan tindakan di
depan pengadilan, dan
·
kuasa itu diberikan dengan surat kuasa khusus (special
power of attorney). Supaya pembuatan dan penandatanganan serta pengajuan
surat gugatan yang dilakukan kuasa sah dan tidak cacat hukum, harus ditempuh
prosedur berikut.
·
Sebelum membuat dan menandatangani surat gugatan, kuasa
yang akan bertindak mewakili penggugat, harus lebih dahulu diberi surat kuasa
kliusus.
·
Berdasarkan
surat kuasa, kuasa bertindak membuat, menandatangani dan mengajukan surat gugatan atas nama dan kepentingan
penggugat atau pemberi kuasa (lastgever, mandate).
·
Apabila
kuasa atau penerima kuasa (lasthebber; mandataris),membuat, menandatangani dan mengajukan gugatan sebelum
mendapat kuasa atau lebih dahulu membuat dan menandatangani gugatan
daripada tanggal surat kuasa:
·
gugatan yang dibuat dan ditandatangani kuasa itu,
dianggap mengandung cacat
formil;
·
akibatnya,
gugatan itu akan dinyatakan pengadilan tidak sah dan tidak dapat diterima atas alasan, gugatan
ditandatangani oleh prang yang tidak berwenang (wialithorized) untuk
itu, karena pada waktu kuasa menandatangani gugatan, dia sendin belum mempunyai
surat kuasa.
Dan penjelasan di atas, jika yang
bertindak membuat dan menandatangani surat gugatan adalah kuasa maka sebelum
itu dilakukannya, is hares lebih dahulu mendapat
kuasa yang dituangkan dalam bentuk surat kuasa khusus dari penggugat. Ming tidak agar penandatanganan surat
gugatan sah dan tidak cacat, tanggal surat kuasa dengan tanggal penandatanganan surat gugatan diberi dan dibuat
pada hari dan tanggal yang sama.
BAB IV
Upaya Hukum Putusan Pengadilan
·
Upaya Hukum
Upaya banding di daerah Jawa dan Madura
semula diatur dalam pasal 188-194 HIR,
sedangkan bagi daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam pasal-pasal
199-205 R. Bg. Tetapi sejak berlakunya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947
tentang Pemeriksaan Ulang Perkara Perdata
dalam tingkat banding di Jawa dan Madura, pasal-pasal 188-194 HIR
dinyatakan tidak berlaku lagi. Sedangkan untuk daerah luar Jawa dan Madura
masih tetap berlaku sebagaimana biasa yang
diatur dalam R. Bg. Tetapi keadaan ini hanya berlangsung sampai berlakunya
Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951
tentang tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan,
kekuasaan dan acara pengadilan – pengadilan sipil yang mulai diberlakukan
pada tanggal 14 Januari 1951. Dalam peraturan perundang-undangan
ini dinyatakan bahwa hanya berlaku untuk Jawa dan Madura. Dengan demikian, peraturan banding sebagaimana diatur dalam
pasal 199-205 R. Bg dinyatakan tidak berlaku lagi.
Undang-undang
Nomor 20 Tahun 1947 tentang Pemeriksaan Ulang Perkara Perdata dalam
tingkat banding untuk Pengadilan Tinggi di Jawa dan Madura sebenarnya
diambilalih materinya dari pemeriksaan banding yang terdapat dalam HIR dengan sekedar tambahan, clan
perubahan yang dianggap perlu apa yang
tersebut dalam HIR ini sebenarnya secara
materil dalam kedua peraturan tersebut tidak ada perbedaan, bahkan ada
keseragaman. Sebenarnya Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947 hanya
berlaku untuk Jawa dan Madura
saja, tetapi dalam prakteknya sampai sekarang telah dijadikan pedoman untuk seluruh Indonesia sejalan
dengan apa yang telah diatur dalam HIR dan R. Bg tersebut. Hal
ini terjadi karena aturan banding yang tersebut dalam Undang-undang Nomor 20
Tahun 1947 belum seluruhnya lengkap.
Pada hakekatnya, kewenangan Pengadilan Tinggi Agama mengadili
perkara perdata dalam tingkat banding adalah kewenangan memeriksa ulang
kembali suatu perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Agama sebagai
peradilan tingkat pertama. Pemeriksaan yang dilakukan oleh
Pengadilan Tinggi Agama adalah pemeriksaan secara keseluruhan perkara yang dimintakan
banding tersebut. Putusan
yang telah dijatuhkan Pengadilan Agama diteliti dan diperiksa Putusan
oleh Pengadilan Tinggi Agama. Keadaan ini
dapat dilihat antara lain dalam putusan Mahkamah Agung RI Nomor 951 K/Sip/1973 tanggal 9 Oktober 1975 yang mengesahkan bahwa seharusnya hakim banding
mengulang memeriksa kembali perkara
dalam keseluruhannya. Begitu juga putusan
Mahkamah Agung RI Nomor 194 K/Sip/1975 tanggal 30 Nopember 1975 mengesahkan bahwa dalam peradilan
tingkat banding, Pengadilan Tinggi
seharusnya memeriksa bagian konpensi dan rekonpensi yang telah diputus oleh Pengadilan Negeri dalam wilayah hukumnya.
Menurut M. Yahya
Harahap, SH. (1990:377), tujuan utama pemeriksaan tingkat banding adalah
untuk mengoreksi dan mengeluarkan segala kesalahan dan kekeliruan dalam penetapan
hukum, tata cara mengadili,
meluruskan penilaian fakta dan pembuktian. Jika sekiranya Pengadilan tingkat banding berpendapat pemeriksaan
sudah tepat menurut tata cara yang ditentukan oleh Undang-undang dan amar putusan
sudah sesuai dengan hukum yang berlaku dalam perkara yang bersangkutan, maka
Pengadilan tingkat banding itu berwenang untuk menguatkan putusan tersebut dengan cara mengambilalih seluruh
pertimbangan dan putusan sebagai pertimbangan dan putusannya sendiri. Sebaliknya jika Pengadilan tingkat banding
berpendapat bahwa perkara yangg
diperiksa oleh Pengadilan tingkat pertama terdapat kesalahan dalam penerapan hukum atau kekeliruan cara mengadilinya,
maka Pengadilan tingkat banding berwenang untuk membatalkannya dan mengadili sendiri dengan putusan yang dianggap benar sebagai koreksi daripada putusan
Pengadilan tingkat pertama.
Berpedoman kepada
hal-hal yang telah ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1947, maka
secara ringkas dapat diuraikan hal-hal yang berkenan dengan prosedur dan tata cara
permohonan Berta
pemeriksaan banding, sebagai berikut :
·
Prosedur
perkara banding.
·
Permohonan banding dapat diajukan dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah
putusan ditetapkan, atau setelah diberitahukan, dalam hal putusan diucapkan di luar Hadir.
·
Terhadap permohonan banding yang diajukan melampaui tenggang waktu tersebut
di atas, tetap diterima dan dicatat dengan membuat surat keterangan
Panitera bahwa permohonan banding telah lampau waktu banding.
·
Pernyataan banding dapat diterima, apabila panjar biaya
banding
yang ditaksir dalam SKUM oleh Meja pertama telah dibayar lunas oleh pemohon banding.
·
jika biaya banding telah dibayar lunas, maka Pengadilan
Agama wajib membuat akta Pernyataan banding, dan mencatat permohonan banding
tersebut dalam register induk perkara dan register banding.
·
Akta permohonan banding dalam waktu 7 (tujuh) hari harus sudah disampaikan kepada pihak lawan.
·
Tanggal penerimaan memori dan atau kontra memori bandin harus dicatat tanggal penerimaannya dan
salinannya di sampaikan kepada masing-masing lawannya, dengan membuat akta pemberitahuan atau penyerahan memori dan atau
kontra memori banding.
·
Sebelum berkas perkara banding dikirim ke Pengadilan
Tinggi Agama, harus diberikan kesempatan kepada kedua belch pihak untuk mempelajari atau memeriksa berkas
perkara (inzage) dan dituangkan dalam akta ceploit.
·
Dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan banding
diajukan,
berkas banding berupa bundel A dan B harus sudah dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama.
·
Biaya pemeriksaan perkara banding untuk Pengadilan Tinggi
Agama
harus disampaikan melalui Bank Pemerintah atau melalui Kantor Pos, bersamaan dengan pengiriman
berkas yang bersangkutan.
·
Dalam menaksir biaya banding, diperhitungkan sesuai
dengan besarnya biaya banding yang ditentukan oleh Ketua Pengadilan Tinggi Agama dan
ongkos kirim uang ke Pengadilan Tinggi Agama ditambah dengan biaya pemberitahuan berupa :
(1) biaya pencatatan pernyataan banding, (2)
biaya pemberitahuan akta banding, (3) biaya pemberitahuan memori
banding, (4) biaya pemberitahuan kontra memori banding, (5) biaya pemberitahuan
memeriksa berkas bagi pembanding. (6) biaya
pemberitahuan memeriksa berkas bagi
terbanding, (7) biaya pemberitahuan bunyi
putusan Pengadilan Tinggi Agama bagi pembanding dan (8) biaya pemberitahuan bunyi putusan Pengadilan
Tinggi Agama bagi terbanding.
·
Satu bulan sejak tanggal permohonan banding, berkas
perkara (bendel A dan B) harus sudah dikirim kepada Pengadilan Tinggi Agama. Hal ini
bersifat imperatif sesuai dengan ketentuan yang tersebut dalam pasal 11 ayat
(2) Undang-undang Nomor 20 Tabun 1947.
·
Pembuktian
Menurut M. Yahya
Harahap, SH. (1991:01) dalam pengertian yang lugs, pembuktian
adalah kemampuan Penggugat atau Tergugat memanfaatkan hukum pembuktian
untuk mendukung dan membenarkan
hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantahkan dalam hubungan hukum yang diperkarakan.
Sedangkan dalam arti sempit,
pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih disengketakan,atau hanya sepanjang yang menjadi perselisihan di antara
pihak-pihak yang berperkara. Menurut R. Subekti (1978:5) yang dimaksud dengan pembuktian adalah suatu daya upaya para pihak yang
berperkara untuk meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakannya
di dalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka Pengadilan,
atau yang diperiksa oleh hakim.
Pembuktian bertujuan
untuk mendapatkan kebenaran suatu peristiwa atau hak yang diajukan kepada hakim. Para praktisi hukum membedakan tentang kebenaran yang dicari dalam
hukum perdata dan hukum pidana. Dalam
hukum perdata, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil, sedangkan dalam hukum pidana, kebenaran yang dicari oleh hakim adalah kebenaran
materil. Dalam Praktek Peradilan, sebenarnya seorang hakim dituntut
mencari kebenaran metril terhadap perkara
yang sedang diperiksanya, karena tujuan
pembuktian itu adalah untuk meyakinkan hakim atau memberikan kepastian kepada hakim tentang adanya
peristiwaperistiwa tertentu,
sehingga hakim dalam mengkonstatir, mengkualifisir dan mengkonstituir
Berta mengambil keputusan.
·
Pelaksanaa Persidangan
Setelah Ketua Majelis Hakim
meriyatakan sidang dibuka dan terluka untuk umum, Majelis Hakim segera mulai
memeriksa pihakpihak yang berperkara. Agar persidangan tersebut dapat berlangsung dengan lancar,
maka Majelis Hakim wajib melaksanakan prinsipprinsip persidangan
sebagaimana yang telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Prinsip-prinsip persidangan itu tidak boleh diabaikan oleh Majelis
Hakim, sebab hal tersebut menyangkut keabsahan sidang yang
dilaksanakannya. Jika prinsip-prinsip
persidangan yang telah ditentukan itu diabaikan, maka persidangan menjadi cacat hukum dan oleh karenanya dapat dibatalkan
pada tingkat banding dan kasasi.
Ada pun prinsip-prinsip
persidangan yang harus dilaksanakan oleh Majelis Hakim antara lain sebagai berikut :
·
Perinsip Personalitas Keislaman
Undang-undang Nomor 7 Thhun 1989
tentang Peradilan Agama menegaskan bahwa
Peradilan Agama mengadili hanya mereka yang
mengaku dirinya memeluk agama Islam. Orang yang beragama selain Islam, tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan tunduk kepada kekuasaan lingkungan Peradilan
Agama. Prinsip personalitas keislaman
hanya dikaitkan dengan hal-hal yang berkaitan
dengan sengketa yang menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama saja, yaitu perkawinan, kewarisan,
wasiat dan hibah yang dilaksanakan
berdasarkan hukum Islam, wakaf dan shadagah. Jadi kekuasaan Peradilan
Agama itu hanya terbatas pada kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perclata tertentu.
Penerapan prinsip
personalitas keislaman ini harus meliputi par pihak yang berperkara dan
keduanya harus sama-sama beraama Islam. Jika salah sate pihak bukan beragama
Islam, maka sengketa perkaranya harus diselesaikan pada Peradilan Umum. Demikian juga tentang
hubungan hukumnya harus berlan3askan hukum Islam.Jika hubungan hukumnya bukan berdasarkan
hukum Islam, maka sengketanya tidak tunduk pada kekuasaan Peradilan Agama, misalnya
hubungan hukum Islam dengan ikatan suami isteri yang berdasarkan hukum
barat, meskipun sekarang mereka sudah beragama Islam, asas keislaman mereka
ditiadakan oleh lanclasan hubungan hukum yang menclasari perkawinan mereka. Oleh karena itu sengketa perkawinan
mereka harus diselesaikan pada Peradilan
Umum. Hal ini sesuai dengan surat Mahkamah Agung RI tanggal 31 Agustus 1983 yang ditujukan kepada Pengadilan
Tinggi Ujung Pandang.
Yang menjadi
patokan pada penerapan asas personalitas keislaman adalah cidasarkan
kepada patokan umum dan patokan saat terjadinya hubungan hukum. Jika dilihat
pada patokan yang umum, maka keislaman seseorang cukup diketahui pada
faktorfaktornya saja tanpa mempersoalkan kualitas keislaman yang bersangkutan, jika
is mengaku beragama Islam maka pada dirinya sudah melekat personalitas
keislamannya. Faktanya cukup dilihat pada identitas yang dimiliki orang tersebut,
seperti Kartu Tanda Penduduk,
SIM atau tanda bukti lainnya. Jika dilihat dari patokan personalitas
keislaman yang diajadikan dasar pada saat terjadi hubungan hukum, maka ada dua syarat yang harus
dipegangi yaitu: (1) pada saat
terjadinya hubungan hukum kedua pihak sama-sama beragama Islam, (2)
hubungan ikatan hukum yang mereka lakukan berdasarkan
hukum Islam. Jika kedua syarat ini sudah terpenuhi pada kedua beleh pihak, maka pada diri mereka sudah
melekat personalitas keislaman dan
sengketa di antara mereka diselesaikan di
lingkungan Peradilan Agama. Tidak menjadi soal apakah di belakang hari atau pada saat terjadinya sengketa,
salah seorang di antara mereka telah keluar dari Agama Islam (M.
Yahya Harahap, SH,1989:39).
Personalitas
keislaman dalam bidang hukum perkawinan dapat dilihat apabila terjadi
sengketa di antara suami isteri dan bermaksud akan mengakhiri perkawinan
mereka. Jika ikatan perkawinan dilangsungkan berdasarkan hukum Islam, kemudian
pada saat sengketa terjadi salah seorang telah beralih kepada agama lain atau pin ah agama, maka
yurisdiksinya tunduk pada Pengadilan Agama dan hukum yang berlaku tetap
hukum Islam. Sebaliknya pada saat terjadi hubungan hukum itu, keduanya atau salah sate pihak belum beragama Islam, kemudian pada saat terjadi
sengketa keduanya atau salah satunya
sudah beragama Islam, maka pada diri mereka ticlak melekat asas personalitas keislaman, tetap tunduk pada hukum
saat mereka menikah.
Dalam bidang
hukum kewarisan, meskipun peraturan perundang-undangan telah menentukan adanya pilihan
hukum, tetapi agar terwujudnya standar hukum dan kepastian hukum, Mahkamah Agung RI
memberi petunjuk bahwa penyelesaian sengketa kewarisan haruslah dilihat dari agama yang
dianut oleh pewaris. Jika pewaris beragama Islam, maka sengketa kewarisan itu harus
diselesaikan secara hukum Islam dan menjadi yurisdiksi lingkungan Peradilan Agama.
Sebaliknya jika pewaris beragama non Islam, meskipun ahli warisnya banyak yang
beragama Islam, sengketa kewarisan itu tetap harus diperiksa di
lingkungan Peradilan Umum dan hal terakhir ini tidak menjadi kewenangan lingkungan Peradilan Agama
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
·
Kesimpulan
Hukum Acara
Perdata adalah merupakan hukum yang mengutus tentang cara mengajukan gugatan
kepada pengadilan, sehingga hak & kewajiban sebagaimana yang telah diatur
dalam hukum perdata dapat berjalan sebagaimana mestinya.
·
Saran
Saya sebagai penulis makalah ini menyarankan
kepada Masyarakat & teman-teman sekalian agar kiranya dapat lebih memahami
tentang judul makalah saya ini yaitu :
“
Ringkasan Hukum Acara Perdata”
Hendaknya dengan makalah saya ini masyarakat dan teman-teman sekalian. Dengan
makalah saya ini, saya berharap masyarakat dan teman-teman lebih mengerti
tentang hokum perdata karna sangat berimbas langsung kepada kita
DAFTAR PUSTAKA
Drs.H. Abdul Manan, SH., S.IP., M.Hum, Hukum
Acara Perdata di Indonesia, Penerbit Yayasan Al- Hikmah Jakarta
Yahya M. Harahap, SH Hukum Acara Perdata Penerbit Sinar Grafindo
Daftar Isi
Kata Pengantar.................................................................................................... i
Daftra Isi............................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan........................................................................................... 1
·
Pengertian
Hukum acara Perdata............................................................ 1
·
Sejarah
singkat hukum acara perdata di Indonesia................................. 3
Bab II Ruang Lingkup Surat Kuasa............................................................... 8
·
Kuasa
Pada Umumnya............................................................................ 8
·
Pengertian
kuasa secara umum.......................................................... 8
·
Sifat
perjanjian kuasa........................................................................ 9
·
Berakhirnya
kuasa............................................................................. 11
·
Pengertian............................................................................................... 13
·
Bentuk
Gugatan...................................................................................... 15
·
Berbentuk
lisan................................................................................. 15
·
Bentuk
Tertulis.................................................................................. 17
Bab IV Upaya Hukum Putusan Pengadilan................................................... 20
·
Upaya
hukum.......................................................................................... 20
·
Pelaksanaan
Persidangan........................................................................ 23
Bab V Kesimpulan dan Saran......................................................................... 28
·
Kesimpulan............................................................................................. 28
·
Saran....................................................................................................... 28