DEMOKRASI DAN HAM
A.
Latar
Belakang
Setelah demokrasi, penegakan hak
asasi manusia ( HAM ) merupakan elemen penting untuk perwujudan sebuah Negara
yang berkeadaban. Demokrasi dan HAM ibarat dua mata yang saling menopang dengan
yang lainnya. Jika dua unsur ini berjalan dengan baik, pada akhirnya akan
melahirkan sebuah tatanan masyarakat madani yang demokratis, egaliter, dan
kritis terhadap pelanggaran HAM.
Di zaman modern seperti sekarang
ini pada umumnya hampir semua negara menyatakan dirinya sebagai negara
bersistem Demokrasi, termasuk Republik Indonesia yakni sistem pemerintahan yang
bersumber pada Kedaulatan Rakyat. Kedaulatan Rakyat merupakan paham kenegaraan
yang menjabarkan dan pengaturannya dituangkan dalam Konstitusi atau Undang-Undang
Dasar suatu negara, dan penerapan selanjutnya disesuaikan dengan filsafat
kehidupan rakyat negara yang bersangkutan.
Spirit kerakyatan yang menjadi
watak negara Demokrasi merupakan syarat utama dalam format negara yang
berkedaulatan rakyat, karena kekuatan tertinggi terletak ditangan rakyat.
Kesetaraan martabat dan persamaan hak politik mengindikasikan tentang kesamaan
hak politik dari setiap warganegara. Lebih dari itu, negara demokratis tidak
bisa tidak harus menunjukkan adanya kebebasan politik yang menyangkut kebebasan
berfikir, menyatakan pendapat dan aksi dalam urusan politik. Termasuk hal
mendapat akses untuk informasi politik serta kebebasan untuk mendiskusikan dan
mengkritik figur politik. Dalam negara Demokrasi selain menghargai mayoritas,
juga pelaksanaan kekuasaan harus dipertanggungjawabkan dan responsif terhadap
aspirasi rakyat. Demokrasi menuntut suatu dasar kesepakatan ideologis suatu
keteraturan dan kebebasan sehingga ada sofistifikasi dalam pertarungan politik
Demokrasi mempunyai arti penting
bagi masyarakat yang menggunakannya sebab dengan Demokrasi hak masyarakat untuk
menentukan sendiri jalannya organisasi pemerintahan sesuai dengan kehendaknya
dapat dijamin. Oleh sebab itu, hampir semua pengertian yang diberikan untuk
istilah demokrasi ini selalu memberikan posisi penting bagi rakyat kendati
secara operasional implikasinya di berbagai negara tidaklah sama.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apakah yang dimaksud dari Demokrasi dan Ham tersebut ?
2.
Bagaimanakah Perkembangan Demokrasi dan HAM ?
3.
Bagaimanakah kewjiban perlindungan dan pemajuan HAM ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Landasan
Teori
Menurut Teaching Human Rights
yang diterbitkan oleh PBB, hak asasi manusia adalah hak-hak yang melekat pada
setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak
hidup misalnya,adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang
dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya
sebagai manusia akan hilang.
Sedangkan menurut John Locke, Ham
adalah hak-hak yang diberikan lansung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta sebagai
sesuatu yang bersifat kodrati.
B.
Pembahasan
1.
Demokrasi dan HAM
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan
relasi sosial yang dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru
dunia. HAM dan demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia
untuk mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini
hanya konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin
harkat kemanusiaan.
Konsepsi HAM dan demokrasi dapat dilacak secara teologis
berupa relativitas manusia dan kemutlakan Tuhan. Konsekuensinya, tidak ada
manusia yang dianggap menempati posisi lebih tinggi, karena hanya satu yang
mutlak dan merupakan prima facie, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Semua
manusia memiliki potensi untuk mencapai kebenaran, tetapi tidak mungkin
kebenaran mutlak dimiliki oleh manusia, karena yang benar secara mutlak hanya
Tuhan. Maka semua pemikiran manusia juga harus dinilai kebenarannya
secara relatif. Pemikiran yang mengklaim sebagai benar secara mutlak, dan yang
lain berarti salah secara mutlak, adalah pemikiran yang bertentangan dengan
kemanusiaan dan ketuhanan.
Manusia
diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa dengan seperangkat hak yang menjamin
derajatnya sebagai manusia. Hak-hak inilah yang kemudian disebut dengan hak
asasi manusia, yaitu hak yang diperoleh sejak kelahirannya sebagai manusia yang
merupakan karunia Sang Pencipta.[1]
Karena setiap manusia diciptakan kedudukannya sederajat dengan hak-hak yang
sama, maka prinsip persamaan dan kesederajatan merupakan hal utama dalam
interaksi sosial. Namun kenyataan menunjukan bahwa manusia selalu hidup dalam
komunitas sosial untuk dapat menjaga derajat kemanusiaan dan mencapai
tujuannya. Hal ini tidak mungkin dapat dilakukan secara individual. Akibatnya,
muncul struktur sosial. Dibutuhkan kekuasaan untuk menjalankan organisasi
sosial tersebut.
Kekuasaan
dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius,
legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[2]
Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan
kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok
manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga
legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya
menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara
istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan
yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan
menjadi kekuasaan yang otoriter.
Konsepsi
demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan
prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia
sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan
rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,[3]
untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing
orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian
sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak
individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut
dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian
tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu
negara (the supreme law of the land),
yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara.
Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih
wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.
Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan
konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah
adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan
norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah
negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi
disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan
pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial
tertinggi.[4]
Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran
serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan
perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan
perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau
hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip
demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa
orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang.
Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat,
melainkan democratische rechtsstaat.[5]
Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah
Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah
mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar.
Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebenarnya berasal dari rumusan
Undang-Undang yang telah disahkan sebelumnya, yaitu UU tentang Hak Asasi
Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam
rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:
1. Setiap orang berhak untuk hidup
serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya
2. Setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah
3. Setiap anak berhak atas kelangsungan
hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan
dan diskriminasi
4. Setiap orang berhak bebas dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan
perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu
5. Setiap orang bebas memeluk agama
dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat
tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali
6. Setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan
hati nuraninya
7. Setiap orang berhak atas
kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat
8. Setiap orang berhak untuk
berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan
sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan,
mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran
yang tersedia
9. Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda
yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi
10.
Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau
perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain
11.
Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin,
bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta
berhak memperoleh pelayanan kesehatan
12.
Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan
khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai
persamaan dan keadilan
13.
Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan
pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat
14.
Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan
hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh
siapapun
15.
Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan
kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari
ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas
hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia
16.
Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan
haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa dan negaranya
17.
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan,
dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum
18.
Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja
19.
Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan
20.
Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi
hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran
dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui
sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum
yang berlaku surut
21.
Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan
hak masyarakat tradisional selaras dengan perkembangan zaman dan tingkat
peradaban bangsa
22.
Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral
kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan tiap-tiap
penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya
23.
Perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama
pemerintah
24.
Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi
manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, maka pelaksanaan
hak asasi manusia dijamin, diatur dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan
25.
Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut
di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
yang bersifat independen menurut ketentuan yang diatur dengan undang-undang
26.
Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang
lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
27.
Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang
wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis
Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam
Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan elemen baru yang bersifat
menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup
ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka rumusan hak
asasi manusia dalam Undang-Undang Dasar dapat mencakup lima kelompok materi
sebagai berikut:
1.
Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan menjadi:
a. Setiap orang berhak untuk hidup,
mempertahankan hidup dan kehidupannya.
b.
Setiap orang berhak
untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak
manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
c.
Setiap orang berhak
untuk bebas dari segala bentuk perbudakan.
d.
Setiap orang bebas
memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
e. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki
keyakinan, pikiran dan hati nurani.
f. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai
pribadi di hadapan hukum.
g. Setiap orang berhak atas perlakuan yang
sama di hadapan hukum dan pemerintahan.
h. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut
atas dasar hukum yang berlaku surut.
i. Setiap orang berhak untuk membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
j. Setiap orang berhak akan status
kewarganegaraan.
k. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat
tinggal di wilayah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
l. Setiap orang berhak memperoleh suaka
politik.
m. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk
perlakuan diskriminatif dan berhak mendapatkan perlindungan hukum dari
perlakuan yang bersifat diskriminatif tersebut.
Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apapun
atau bagaimanapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan
dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ketentuan tersebut tentu tidak
dimaksud dan tidak dapat diartikan atau digunakan sebagai dasar untuk
membebaskan seseorang dari penuntutan atas
pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan
hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memastikan
bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak
yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sinilah letak
kontroversi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945
disahkan beberapa waktu yang lalu.
2. Kelompok Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya
a. Setiap
warga negara berhak untuk berserikat, berkumpul dan menyatakan
pendapatnya secara damai.
b. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan
dipilih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
c. Setiap warga negara dapat diangkat untuk
menduduki jabatan-jabatan publik.
d. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pekerjaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
e. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat
imbalan, dan mendapat perlakuan yang layak dalam hubungan kerja yang
berkeadilan.
f. Setiap orang berhak mempunyai hak milik
pribadi.
g. Setiap warga negara berhak atas jaminan
sosial yang dibutuhkan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan
dirinya sebagai manusia yang bermartabat.
h. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan
memperoleh informasi.
i. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan
memilih pendidikan dan pengajaran.
j. Setiap orang berhak mengembangkan dan memperoleh
manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan
kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
k. Negara menjamin penghormatan atas identitas
budaya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan perkembangan zaman dan
tingkat peradaban bangsa[6].
l. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian
dari kebudayaan nasional.
m. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika
dan moral kemanusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin kemerdekaan
tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menjalankan ajaran agamanya[7].
3. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
a. Setiap warga negara yang menyandang masalah
sosial, termasuk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di
lingkungan terpencil, berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk
memperoleh kesempatan yang sama.
b. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk
mencapai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
c. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan
yang dikarenakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
d. Setiap anak berhak atas kasih sayang,
perhatian dan perlindungan orangtua, keluarga, masyarakat dan negara bagi
pertumbuhan fisik dan mental serta perkembangan pribadinya.
e. Setiap warga negara berhak untuk berperan
serta dalam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari
pengelolaan kekayaan alam.
f. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup
yang bersih dan sehat.
g. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus
yang bersifat sementara dan dituangkan dalam peraturan perundangan-undangan
yang sah yang dimaksudkan untuk menyetarakan tingkat perkembangan kelompok
tertentu yang pernah mengalami perlakuan diskriminasi dengan
kelompok-kelompok lain dalam masyarakat, dan perlakuan khusus sebagaimana ditentukan
dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pengertian diskriminasi
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (13).
4. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
a. Setiap orang wajib menghormati hak asasi
manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
b. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang
dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak
dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan keadilan sesuai dengan
nilai-nilai agama, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan ketertiban umum
dalam masyarakat yang demokratis.
c. Negara bertanggungjawab atas perlindungan,
pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi manusia.
d. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia,
dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak
memihak yang pembentukan, susunan dan kedudukannya diatur dengan
undang-undang.
Ketentuan-ketentuan yang
memberikan jaminan konstitusional terhadap
hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan dianggap merupakan salah
satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di
samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipahami bahwa setiap orang memiliki
kewajiban dan tanggungjawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama
hidupnya sejak sebelum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki sebagai
manusia. Pembentukan negara dan pemerintahan, untuk alasan apapun, tidak
boleh menghilangkan prinsip hak dan kewajiban yang disandang oleh setiap manusia.
Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak ditentukan oleh kedudukan
orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di manapun ia berada harus
dijamin hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia
berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagaimana
mestinya. Keseimbangan kesadaran akan adanya hak dan kewajiban asasi ini
merupakan ciri penting pandangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan
kemanusiaan yang adil dan beradab.
Bangsa Indonesia memahami bahwa The Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan pada tahun 1948 merupakan pernyataan umat manusia yang
mengandung nilai-nilai universal yang wajib dihormati. Bersamaan dengan itu,
bangsa Indonesia juga memandang bahwa The Universal Declaration of Human Responsibility yang dicetuskan oleh Inter-Action Council pada tahun 1997 juga mengandung
nilai universal yang wajib dijunjung tinggi untuk melengkapi The Universal
Declaration of Human Rights tersebut. Kesadaran umum mengenai hak-hak dan
kewajiban asasi manusia itu menjiwai keseluruhan sistem hukum dan konstitusi
Indonesia, dan karena itu, perlu diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang
Dasar atas dasar pengertian-pengertian dasar yang dikembangkan sendiri oleh
bangsa Indonesia. Karena itu, perumusannya dalam Undang-Undang Dasar ini
mencakup warisan-warisan pemikiran mengenai hak asasi manusia di masa lalu dan
mencakup pula pemikiran-pemikiran yang masih terus akan berkembang di
masa-masa yang akan datang.
2.
Perkembangan Demokrasi dan HAM
Sejak awal abad ke-20, gelombang
aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan
penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan
hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan.
Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas
dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang
dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya
negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia.
Perkembangan demokratisasi kembali terjadi dan menguat pasca perang dingin yang
ditandai runtuhnya kekuasaan komunis Uni Soviet dan Yugoslavia. Hal ini
kemudian diikuti proses demokratisasi di negara-negara dunia ketiga pada tahun
1990-an.[8]
Semua peristiwa yang
mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai
ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, baik dalam struktur
hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan
antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk
kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang
menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi
bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara
mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam
gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.
Sedangkan yang lebih
menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan
pemerintahan yang otoriter. Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara,
tidak mesti identik dengan gagasan rakyat di negara lain yang lebih maju dan
menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi
dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baik oleh kalangan
rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang
merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di
negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.
Karena itu, pola
hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan
sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan
internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang
terbagi antara hubungan Government to
Government (G to G) dan hubungan People to People (P to P). Sekarang, pola
hubungan itu berubah menjadi bervariasi, baik G to G, P to P maupun G to P atau P to G. Semua kemungkinan
bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa
perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi
warga-negara dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia.[9]
Dengan perkataan lain,
masalah pertama yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemahaman terhadap
konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks relationalistic
perspectives of power yang tepat. Bahkan, konsep hubungan
kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan
bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan
kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan atas
sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru
memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan
prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam
konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks
hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[10]
Dalam kaitan dengan
itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai
hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan
kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan
bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini,
dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor
kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan
politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat
dilihat dalam konteks produksi. Negara, dalam hal ini merupakan produsen,
sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman
sekarang dapt dipahami secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus
dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan
produsen.
Dalam
hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus
dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[11]
1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar
negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan
cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang
menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai
forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan
politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
2. Struktur kekuasaan
yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan
sistem otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk
yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
3. Struktur hubungan
kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal
beserta manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha
industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.
Beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan “atas-bawah”, baik pada
peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor
kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau
kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau
nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer. Makin banyak
faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang
ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi
atau peringkat pergaulan bersama. Di pihak lain, makin tinggi peringkat
seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok
lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin
besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang
demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara
maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan
bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi
ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan
hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak
dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa
persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika perjuangan kelas (meminjam
istilah Karl Marx)
yang menuntut keadilan.
Sering dikemukakan
bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum
internasional setidak-tidaknya telah melampaui tiga generasi perkembangan.
Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:[12]
Generasi Pertama, pemikiran mengenai
konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan
sejak era enlightenment di Eropa, meningkat
menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan
generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatanganan
naskah Universal Declaration of Human Rights[13] Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak
asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara,
seperti di Inggris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat
dengan Declaration of Independence, dan di Perancis
dengan Declaration of Rights
of Man and of the Citizens. Dalam konsepsi generasi pertama ini
elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas
manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.
Pada perkembangan
selanjutnya yang dapat disebut sebagai hak asasi manusia Generasi Kedua, di samping adanya International Couvenant on Civil and
Political Rights,[14] konsepsi hak asasi
manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar
kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak
untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan
penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua
ini tercapai dengan ditandatanganinya International Couvenant
on Economic, Social and Cultural Rights[15] pada tahun 1966.
Kemudian pada tahun
1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian
mengenai hak untuk pembangunan atau rights to development. Hak atas atau untuk
pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku
bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian
dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain
meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati
hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan
ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan,
kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para
ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.
Namun demikian, ketiga
generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik
yang sama, yaitu dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang bersifat
vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Setiap
pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai
ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai crime by government yang termasuk ke dalam
pengertian political crime (kejahatan politik)
sebagai lawan dari pengertian crime against
government (kejahatan terhadap kekuasaan resmi). Karena itu, yang
selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif
negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan
di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi
manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.
Persoalan hak asasi
manusia tidak cukup hanya dipahami dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, tetapi mencakup pula hubungan-hubungan kekuasaan yang bersifat
horizontal, antar kelompok masyarakat, antara golongan rakyat atau masyarakat,
dan bahkan antar satu kelompok masyarakat di suatu negara dengan kelompok
masyarakat di negara lain.
Konsepsi baru inilah
yang saya sebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Keempat
seperti telah saya uraikan sebagian pada bagian terdahulu. Bahkan sebagai
alternatif, menurut pendapat saya, konsepsi hak asasi manusia yang terakhir
inilah yang justru tepat disebut sebagai
Konsepsi HAM Generasi Kedua, karena sifat hubungan
kekuasaan yang diaturnya memang berbeda dari konsepsi-konsep HAM sebelumnya.
Sifat hubungan kekuasaan dalam konsepsi
Generasi Pertama bersifat vertikal, sedangkan sifat hubungan
kekuasaan dalam konsepsi Generasi Kedua bersifat horizontal. Dengan demikian,
pengertian konsepsi HAM generasi kedua dan generasi ketiga sebelumnya cukup
dipahami sebagai perkembangan varian yang sama dalam tahap pertumbuhan konsepsi
generasi
pertama.[16]
Menjelang berakhirnya
abad ke-20, kita menyaksikan munculnya beberapa fenomena baru yang tidak pernah
ada ataupun kurang mendapat perhatian di masa-masa sebelumnya. Pertama,
kita menyaksikan munculnya fenomena konglomerasi berbagai perusahaan berskala
besar dalam suatu negara yang kemudian berkembang menjadi Multi National
Corporations (MNC’s) atau disebut juga Trans-National Corporations
(TNC’s) dimana-mana di dunia.
Fenomena jaringan kekuasaan MNC atau TNC ini merambah
wilayah yang sangat luas, bahkan jauh lebih luas dari jangkauan kekuasaan
negara, apalagi suatu negara yang kecil yang jumlahnya sangat banyak di dunia.
Dalam kaitannya dengan kekuasaan perusahaan-perusahaan besar ini, yang lebih
merupakan persoalan kita adalah implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh
kekuasaan modal yang ada di balik perusahaan besar itu terhadap kepentingan
konsumen produk yang dihasilkannya. Dengan perkataan lain, hubungan kekuasaan
yang dipersoalkan dalam hal ini adalah hubungan kekuasaan antara produsen dan
konsumen. Masalahnya adalah bagaimana hak-hak atau kepentingan-kepentingan
konsumen tersebut dapat dijamin, sehingga proses produksi dapat terus
dikembangkan dengan tetap menjamin hak-hak konsumen yang juga harus dipandang
sebagai bagian yang penting dari pengertian kita tentang hak asasi manusia.
Kedua, abad ke-20 juga telah
memunculkan fenomena Nations without State, seperti bangsa Kurdi
yang tersebar di berbagai negara Turki dan Irak; bangsa Cina Nasionalis yang
tersebar dalam jumlah yang sangat besar di hampir semua negara di dunia; bangsa
Persia (Iran), Irak, dan Bosnia yang terpaksa berkelana kemana-mana karena
masalah-masalah politik yang mereka hadapi di negeri asal mereka. Persoalan
status hukum kewarganegaraan bangsa-bangsa yang terpaksa berada di mana-mana
tersebut, secara formal memang dapat diatasi menurut ketentuan hukum yang
lazim. Misalnya, bangsa Kurdi yang tinggal di Irak Utara sudah tentu berkewar ganegaraan Irak, mereka yang hidup dan
menetap di Turki tentu berkewarganegaraan Turki, dan demikian pula mereka yang
hidup di negara-negara lain dapat menikmati status keawarganegaraan di negara
mana mereka hidup. Akan tetapi, persoalan kebangsaan mereka tidak serta merta terpecahkan
karena pengaturan hukum secara formal tersebut.
Ketiga,
dalam kaitannya dengan fenomena pertama dan kedua di atas, mulai
penghujung abad ke-20 telah pula berkembang suatu lapisan sosial tertentu
dalam setiap masyarakat di negara-negara yang terlibat aktif dalam pergaulan
internasional, yaitu kelompok orang yang dapat disebut sebagai global citizens. Mereka ini mula-mula
berjumlah sedikit dan hanya terdiri dari kalangan korps diplomatik yang
membangun kelompok pergaulan tersendiri. Di kalangan mereka ini berikut
keluarganya, terutama para diplomat karir yang tumbuh dalam karir diplomat yang
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, terbentuk suatu jaringan
pergaulan tersendiri yang lama kelamaan menjadi suatu kelas sosial tersendiri
yang terpisah dari lingkungan masyarakat yang lebih luas. Sebagai contoh, di
setiap negara, terdapat apa yang disebut dengan diplomatic shop yang bebas pajak, yang
secara khusus melayani kebutuhan para diplomat untuk berbelanja. Semua ini
memperkuat kecenderungan munculnya kelas sosial tersendiri yang mendorong
munculnya kehidupan baru di kalangan sesama diplomat.
Bersamaan dengan itu,
di kalangan para pengusaha asing yang menanamkan modal sebagai investor usaha
di berbagai negara, juga terbentuk pula suatu kelas sosial tersendiri seperti
halnya kalangan korps diplomatik tersebut. Bahkan, banyak di antara para
pekerja ataupun pengusaha asing tugasnya terus menerus di luar negeri,
berpindah-pindah dari satu negara ke negara lain, yang jangkauan pergaulan
mereka lebih cocok untuk menyatu dengan dunia kalangan diplomat seperti
tersebut di atas, daripada bergaul dengan penduduk asli dari negara-negara
tempat mereka bekerja ataupun berusaha. Dari kedua kelompok bisnis dan diplomatik
inilah muncul fenomena baru di kalangan banyak warga dunia, meskipun secara
resmi memiliki status kewarganegaraan tertentu, tetapi mobilitas mereka sangat
dinamis, seakan-akan menjadi semacam global citizens yang bebas bergerak ke
mana-mana di seluruh dunia.
Keempat, dalam berbagai literatur mengenai corporatisme negara, terutama di beberapa
negara yang menerapkan prosedur federal arrangement, dikenal adanya konsep
corporate federalism sebagai sistem yang
mengatur prinsip representasi politik atas dasar pertimbangan-pertimbangan ras
tertentu ataupun pengelompokan kultural penduduk. Pembagian kelompok English speaking
community dan French speaking
community di Kanada, kelompok Dutch speaking
community dan German speaking
community di Belgia, dan prinsip representasi politik suku-suku
tertentu dalam kamar parlemen di Austria, dapat disebut sebagai corporate federalism dalam arti luas.
Kelompok-kelompok etnis dan kultural tersebut diperlakukan sebagai suatu
entitas hukum tersendiri yang mempunyai hak politik yang bersifat otonom dan
karena itu berhak atas representasi yang demokratis dalam institusi parlemen.
Pengaturan entitas yang bersifat otonom ini, diperlukan seakan-akan sebagai
suatu daerah otonom ataupun sebagai suatu negara bagian yang bersifat
tersendiri, meskipun komunitas-komunitas tersebut tidak hidup dalam suatu
teritorial tertentu. Karena itu, pengaturan demikian ini biasa disebut dengan corporate federalism.
Keempat fenomena yang
bersifat sosio-kultural tersebut di atas dapat dikatakan bersifat sangat khusus
dan membangkitkan kesadaran kita mengenai keragaman kultural yang kita warisi
dari masa lalu, tetapi sekaligus menimbulkan persoalan mengenai kesadaran
kebangsaan umat manusia yang selama ini secara resmi dibatasi oleh batas-batas
teoritorial satu negara. Sekarang, zaman sudah berubah. Kita memasuki era
globalisasi, di mana ikatan batas-batas negara yang bersifat formal itu
berkembang makin longgar. Di samping ikatan-ikatan hukum kewarganegaraan yang
bersifat formal tersebut, kesadaran akan identitas yang dipengaruhi oleh
faktor-faktor historis kultural juga harus turut dipertimbangkan dalam memahami
fenomena hubungan-hubungan kemanusiaan di masa mendatang. Oleh karena itu,
dimensi-dimensi hak asasi manusia di zaman sekarang dan apalagi nanti juga
tidak dapat dilepaskan begitu saja dari perubahan corak-corak pengertian dalam
pola-pola hubungan yang baru itu.
Dengan perkataan lain,
hubungan-hubungan kekuasaan di zaman sekarang dan nanti, selain dapat dilihat
dalam konteks yang bersifat vertikal dalam suatu negara, yaitu antara pemerintah
dan rakyatnya, juga dapat dilihat dalam konteks hubungan yang bersifat
horizontal sebagaimana telah diuraikan pada bagian pertama tulisan ini. Konteks
hubungan yang bersifat horizontal itu dapat terjadi antar kelompok masyarakat
dalam satu negara dan antara kelompok masyarakat antar negara. Di zaman
industri sekarang ini, corak hubungan yang bersifat horizontal tersebut untuk
mudahnya dapat dilihat sebagai proses produksi dalam arti yang seluas-luasnya,
yaitu mencakup pula pengertian produksi dalam konteks hubungan kekuasaan yang
bersifat vertikal, dimana setiap kebijakan pemerintahan dapat disebut sebagai
produk yang dikeluarkan oleh pemerintah yang merupakan produsen, sedangkan
rakyat banyak merupakan pihak yang mengkonsumsinya atau konsumennya. Demikian
pula setiap perusahaan adalah produsen, sedangkan produk dibeli dan dikonsumsi
oleh masyarakat konsumennya. Dengan perkataan lain, hak konsumen dalam arti yang luas ini dapat disebut
sebagai dimensi baru hak asasi manusia yang tumbuh dan harus dilindungi dari
kemungkinan penyalahgunaan atau tindakan-tindakan sewenang-wenang dalam
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara pihak produsen dengan konsumennya.
Perkembangan
konsepsi yang terakhir ini dapat disebut sebagai perkembangan konsepsi hak asasi manusia generasi kelima dengan ciri pokok yang terletak dalam
pemahaman mengenai struktur hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara
produsen yang memiliki segala potensi dan peluang untuk melakukan
tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak konsumen yang mungkin
diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil. Kita semua harus menyadari
perubahan struktur hubungan kekuasaan ini, sehingga tidak hanya terpaku pada
kemungkinan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia dalam pengertian
konvensional saja. Hanya dengan menyadari perubahan ini kita dapat menawarkan
pemecahan dalam perjuangan kolektif untuk menegakkan dan memajukan hak asasi manusia
di masa yang akan datang.
3.
Kewajiban Perlindungan dan Pemajuan HAM
Konsepsi
HAM yang pada awalnya menekankan pada hubungan vertikal, terutama dipengaruhi
oleh sejarah pelanggaran HAM yang terutama dilakukan oleh negara, baik terhadap
hak sipil-politik maupun hak ekonomi, sosial, dan budaya. Sebagai
konsekuensinya, disamping karena sudah merupakan tugas pemerintahan, kewajiban
utama perlindungan dan pemajuan HAM ada pada pemerintah. Hal ini dapat kita
lihat dari rumusan-rumusan dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia,
Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, serta Konvenan Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial dan Budaya, yang merupakan pengakuan negara terhadap hak asasi manusia
sebagaimana menjadi substansi dari ketiga instrumen tersebut. Konsekuensinya,
negara-lah yang terbebani kewajiban perlindungan dan pemajuan HAM. Kewajiban
negara tersebut ditegaskan dalam konsideran “Menimbang” baik dalam Konvenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik maupun Konvenan Internasional
tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Dalam hukum nasional, Pasal 28I ayat
(4) UUD 1945[17] menyatakan bahwa perlindungan, pemajuan,
penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggungjawab negara, terutama Pemerintah.
Dengan
berkembangnya konsepsi HAM yang juga meliputi hubungan-hubungan horisontal
mengakibatkan perluasan kategori pelanggaran HAM dan aktor pelanggarnya. Hak
atas informasi dan hak partisipasi dalam pembangunan misalnya tidak hanya
menjadi kewajiban negara, tetapi juga menjadi tanggungjawab korporasi-korporasi
yang dalam aktivitasnya bersinggungan dengan kehidupan masyarakat. Keberadaan
perusahaan-perusahaan mau tidak mau membawa dampak dalam kehidupan masyarakat
yang sering kali mengakibatkan berkurangnya hak asasi manusia.
Persinggungan
antara Korporasi dengan Hak Asasi Manusia paling tidak terkait dengan hak atas
lingkungan yang bersih dan sehat, hak atas ketersediaan dan aksesibilitas
terhadap sumber daya alam dan hak-hak pekerja. Secara lebih luas struktur
hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal antara produsen juga memiliki
potensi dan peluang terjadinya tindakan-tindakan sewenang-wenang terhadap pihak
konsumen yang mungkin diperlakukan sewenang-wenang dan tidak adil.
Maka
pelanggaran HAM tidak hanya dapat dilakukan oleh negara. Dalam pola relasi
kekuasaan horisontal peluang terjadinya pelanggaran HAM lebih luas dan aktor
pelakunya juga meliputi aktor-aktor non negara, baik individu maupun korporasi.
Karena itulah memang sudah saatnya kewajiban dan tanggungjawab perlindungan dan
pemajuan HAM juga ada pada setiap individu dan korporasi. Hal ini juga telah
dinyatakan dalam “Declaration on the Right and Responsibility of
Individuals, Groups, and Organs of Society to Promote and Protect Universally
Recognized Human Rights and Fundamental Freedom”[18]
pada tahun 1998.
Kewajiban
dan tanggungjawab tersebut menjadi semakin penting mengingat masalah utama yang
dihadapi umat manusia bukan lagi sekedar kejahatan kemanusiaan, genosida,
ataupun kejahatan perang. Permasalahan yang dihadapi umat manusia saat ini
lebih bersifat mengakar, yaitu kemiskinan dan keterbelakangan, yang mau tidak
mau harus diakui sebagai akibat eksploitasi atau paling tidak ketidakpedulian
sisi dunia lain yang mengenyam kekayaan dan kemajuan. Kewajiban dan
tanggungjawab korporasi dalam bentuk Corporate
Social Responsibility terutama dalam Community
Development, tidak seharusnya sekedar dimaknai sebagai upaya membangun
citra. Kewajiban dan tanggungjawab tersebut lahir karena komitmen kemanusiaan.
Kewajiban tersebut juga lahir karena kesadaran bahwa aktivitas korporasi,
secara langsung maupun tidak, telah ikut menciptakan ketimpangan, kemiskinan,
dan keterbelakangan. Tanpa peran serta korporasi, upaya menciptakan dunia yang
lebih baik, dunia yang bebas dari kelaparan dan keterbelakangan akan sulit
dilakukan mengingat kekuasaan korporasi yang sering kali melebihi kemampuan
suatu negara.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bahwa
HAM dan demokrasi merupakan konsepsi kemanusiaan dan relasi sosial yang
dilahirkan dari sejarah peradaban manusia di seluruh penjuru dunia. HAM dan
demokrasi juga dapat dimaknai sebagai hasil perjuangan manusia untuk
mempertahankan dan mencapai harkat kemanusiaannya, sebab hingga saat ini hanya
konsepsi HAM dan demokrasilah yang terbukti paling mengakui dan menjamin harkat
kemanusiaan.
HAM” adalah seperangkat hak yang
melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugrah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh Negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia
B.
Saran
Saran
saya sebagai pemakalah kepada pemerintah adalah agar kiranya pemerintah
memberikan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan atas Hak Azasi
Manusia karena hal ini merupakan tanggungjawab dari negara, terutama
Pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
ü Asshiddiqie,
Jimly. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia. Edisi Revisi.
Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
ü __________,
Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar
Demokrasi. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.
ü Ferejohn,
John, Jack N. Rakove, and Jonathan Riley (eds). Constitutional Culture and Democratic Rule. Cambridge: Cambridge
University Press, 2001.
ü Fukuyama,
Francis. Memperkuat Negara: Tata
Pemerintahan dan Tata Dunia Abad 21. Judul Asli: State Building: Governance and World Order in the 21st
Century. Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,
2005.
ü Giddens,
Anthony. The Constitution of Society:
Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial. Judul Asli: The Constitution of Society: The Outline of the Theory of Structuration.
Penerjemah: Adi Loka Sujono. Pasuruan; Penerbit Pedati, 2003.
ü Huntington,
Samuel P. The Third Wave: Democratization
in the Late Twentieth Century. Norman: University of Oklahoma Press, 1991.
ü Republik
Indonesia, Himpunan Ketetapan MPRS dan
MPR Tahun 1960 s/d 2002, Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2002.
ü Sabine,
George H. A History of Political Theory.
Third Edition. New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London: Holt, Rinehart
and Winston, 1961.
ü Suseno,
Franz Magnis. Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1999.
[1] Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia mendefinisikan “Hak
Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan
manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang
wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia”. Lembaran Negara RI Tahun 1999 No. 165, Tambahan
Lembaran Negara RI No. 3886.
[2] Franz
Magnis-Suseno, Etika Politik:
Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia
Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.
[3] Harus diingat
bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing
dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing
melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat
George H. Sabine, A History of Political
Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London;
Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.
[4] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi
& Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi
Press, 2005), hal. 152-162.
[6] Berasal dari
Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sistematika perumusan
keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga
negara.
[7] 123 Ini adalah ayat tambahan
yang diambil dari usulan berkenaan dengan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD
1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif
4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi,
khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “... serta melindungi
penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”,
sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengurangi kebebasan orang untuk
menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa
juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap
tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam
paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain
masyarakat sendiri (public domain).
Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham
keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari
kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.
[8] Lihat Samuel P. Huntington, The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century,
(Norman; University of Oklahoma Press, 1991).
[9] Jimly Asshiddiqie, Hukum
Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta; Konstitusi Press, 2005),
hal. 209-228.
[10] Dalam kehidupan sosial terdapat tiga wilayah
kekuasaan, yaitu negara (state),
masyarakat sipil (civil society), dan
pasar (market). Ketiga wilayah
kekuasaan tersebut idealnya saling berhubungan secara seimbang tanpa adanya
dominasi dari salah satu pihak. Lihat, Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, op cit., hal. 81. Namun kondisi sosial menunjukkan tarik-menarik
antara ketiga wilayah kekuasaan tersebut terjadi hingga terjadi dominasi oleh
salah satu wilayah kekuasaan. Lihat, Anthony Giddens, The Constitution of Society: Teori Strukturasi untuk Analisis Sosial,
Judul Asli: The Constitution of Society:
The Outline of the Theory of Structuration, Penerjemah: Adi Loka Sujono, (Pasuruan;
Penerbit Pedati, 2003). Bandingkan dengan Francis Fukuyama, Memperkuat Negara: Tata Pemerintahan dan
Tata Dunia Abad 21, Judul Asli: State
Building: Governance and World Order in the 21st Century,
Penerjemah: A. Zaim Rofiqi, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005).
[12] Ibid.
[13] Ditetapkan oleh Majelis Umum dalam Resolusi 217 A
(III) tertanggal 10 Desember 1948.
[16] Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi,
op. cit, hal. 220-222.
[17] Hasil Perubahan Kedua UUD 1945.