Rabu, 06 Juli 2011

HUKUM PERKAWINAN

HUKUM PERKAWINAN

Pengertian Perkawinan:
1. Menurut BW
- BW tidak mengatur secara tegas mengenai defenisi perkawinan. Menurut pasal 26 BW undang-undang memandang soal perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja
- Perkawinan hanya merupakan ikatan lahir saja
- Tidak memasukkan unsur keagamaan secara tegas
- Tidak bertujuan mendapatkan keturunan
2. Menurut Pasal 1 UUP
- Perkawinan adalah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
- Perkawinan tidak hanya merupakan urusan lahiriah saja tetapi juga urusan bathiniah
- Tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia.
- UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP) merupakan hasil kodifikasi yang besifat parsial.

a. Seluruh Ketentuan Dalam UUP Belum berlaku efektif, karena mengingat PP No. 9 tahun 1975 ttg peraturan pelaksanaan UUP tidak mengatur kedudukan harta benda, anak, hak, dan kewajiban orang tua dengan anak, serta perwalian.
b. Pasal 66 UUP yang menyatakan bahwa “ ketentuan perkawinan dalam KUHPdt beserta dengan peraturan lain mengenai perkawinan sejauh telah diatur dalam UUP dinyatakan tidak berlaku“ ; rasio a contrario : berarti bahwa apabila UUP tidak mengatur hal2 tersebut, maka KUHPdt dan ketentuan perkawinan lainnya dapat diberlakukan.

Meskipun tujuan dikeluarkan UUP adalah untuk unifikasi peraturan perkawinan, tetapi dalam pelaksanaannya tetap bersifat pluralistis, Pelaksanaan UUP masih bersifat Pluralistik meskipun tujuan dikeluarkannya UUP untuk Unifikasi Perkawinan hal ini dikarenakan UUP masih belum lengkap shg masih bergantung pd peraturan yang lain mengenai perkawinan seperti yg telah disebutkan dalam pasal 66 UUP.

Sahnya perkawinan:
Pasal 2 ayat (1) UUP : perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaanya itu.

Perbedaan pendapat tentang kata “AGAMA” dan “KEPERCAYAAN” dalam pasal 1 UUP
1.”agama dan kepercayaan” itu satu pengertian yaitu agama saja, akibatnya perkawinan hanya sah apabila dilakukan menurut hukum agama yang diakui oleh pemerintah
2.”agama dan kepercayaan” itu mempunyai dua pengertian yaitu agama dan kepercayaan.

Pencatatan Perkawinan:
Pasal 2 ayat (2) UUP:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku”
a) UU No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan NTR;
b) Ord. CS untuk Perkawinan Campuran, S. 1904 No. 279;
c) Ord. CS untuk Gol. Tionghoa, S. 1917 No. 130;
d) Ord. CS untuk Gol. Kristen Indonesia, S. 1933 No. 75;
e) Ord. CS untuk Gol. Bumi Putera - S. 1927 No. 564.
Contoh Kasus:
Perkawinan menurut Adat Sunda (Gumirat Barna Alam - Susilowati) ditolak KCS JakartaTimur.
Perkawinan secara Kong Hu Cu (Budi Wijaya – Lanny Guito) ditolak KCS Surabaya.

Asas Perkawinan:
- Asas kesepakatan : pasal 6 UUP “perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai”
- Asas monogami : pasal 3 UUP :
1. Pada asasnya dalam suatu perkawinan hanya boleh mempunyai seorang isteri, seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami
2. Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

Perbedaan Asas Monogami dalam BW dan UUP:
Asas monogami di dalam BW bersifat mutlak, sedang asas monogami dalam UUP tidak mutlak.

Syarat perkawinan:
1. Syarat Materil
- Syarat Materil Mutlak : syarat yang harus dipenuhi
a. Tidak terikat dengan perkawinan lain
b. Persetujuan kedua mempelai
c. Harus memenuhi batas umur ? ini diberlakukan agar tidak timbul persoalan krusial yang mempengaruhi status seseorang
d. Bagi janda berlaku ketentuan waktu
e. Calon yang belum berumur 21 tahun harus ada ijin kedua orang tua
- Syarat Materil Relatif : tidak boleh dipenuhi sekaligus larangan kawin
a. Orang yang mempunyai hubungan darah terlalu dekat
b. Orang yang ada hubungan semenda atau sesusuan
c. Saudara isteri, bibi atau kemanakan isteri
d. Orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya dilarang kawin
e. Orang yang telah dua kali bercerai dengannya, kecuali hukum agamanya menentukan lain
f.Menurut putusan hakim melakukan perzinahan dengannya.
2. Syarat Formil
- Pemberitahuan kepada pencatatan perkawinan
- Pengumuman oleh pegawai pencatat perkawinan (untuk memenuhi asas publisitas) tujuannya untuk menghindari fitnah, larangan kawin
- Pelaksanaan perkawinan (dalam UU tidak diatur secara teknis).

Pencegahan Perkawinan:
- Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (pasal 13 UUP)
- Yang dapat mencegah perkawinan adalah :
1. Para keluarga dalam garis keturunan ke atas dan ke bawah
2. Apabila calon mempelai berada di bawah pengampuan sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai lainnya
3. seseorang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu pihak dan atas dasar adanya perkawinan
4. pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah perkawinan apabila ketentuan larangan perkawinan dilanggar.

Pembatalan Perkawinan:
- Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan.
- Yang dapat mengajukan pembatalan tersebut adalah :
1. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri
2. suami atau isteri
3. pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan
4. pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan terhadap perkawinan tersebut tetapi hanya setelah perkawinan itu putus
5. seseorang karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu pihak dan atas dasar adanya perkawinan.

Ketentuan pidana Pasal 279 KUHP terhadap pasal 27 BW yg mengatur poligami :
Dasar-dasar Konsiderans :
• Pasal 27 BW mengatur azas monogami mutlak “Dalam kurun waktu yg sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai seorang perempuan isterinya, sehingga perempuan hanya satu orang laki-laki sebagai suaminya”
• Ketentuan pasal 279 KUHP, pelaku poligami bisa dipidana.
• Ketentuan UUP No. 1 th 1974 boleh melakukan poligami.
• Agama Islam membolehkan Poligami ;
• Agama kristen melarang poligami ;
• Ketentuan PP untuk ABRI dan PNS, melarang Poligami ;

Dengan konsiderans diatas, bahwa tidak serta-merta Pasal 27 BW tidak diberlakukan, karena UU Perkawinan masih harus melihat keabsahan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya, dalam hal ini berlaku ketentuan azas Lex Specialis de rogat legi generalis” meskipun pelaksanaanya UUP tdk mutlak.

Bubarnya Perkawinan:
Pasal 38 UUP menentukan bahwa “Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian
b. Perceraian
c. Keputusan Pengadilan


II .ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM
Dalam perundang-undangan di Indonesia, perkawinan campuran didefinisikan dalam Undang-undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 57 :

”Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”


   1. Bagaimana pengaturan status hukum anak yang lahir dari perkawinan campuran sebelum dan sesudah lahirnya UU Kewarganegaraan yang baru?
   2.  Apakah kewarganegaraan ganda ini akan menimbulkan masalah bagi anak?


ANAK SEBAGAI SUBJEK HUKUM

Definisi anak dalam pasal 1 angka 1 UU No.23 Tahun 11.2002 tentang Perlindungan Anak adalah :

“Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.”

Dalam hukum perdata, diketahui bahwa manusia memiliki status sebagai subjek hukum sejak ia dilahirkan. Pasal 2 KUHP memberi pengecualian bahwa anak yang masih dalam kandungan dapat menjadi subjek hukum apabila ada kepentingan yang menghendaki dan dilahirkan dalam keadaan hidup.[4] Manusia sebagai subjek hukum berarti manusia memiliki hak dan kewajiban dalam lalu lintas hukum. Namun tidak berarti semua manusia cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Orang-orang yang tidak memiliki kewenangan atau kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum diwakili oleh orang lain. Berdasarkan pasal 1330 KUHP, mereka yang digolongkan tidak cakap adalah mereka yang belum dewasa, wanita bersuami, dan mereka yang dibawah pengampuan. Dengan demikian anak dapat dikategorikan sebagai subjek hukum yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum. Seseorang yang tidak cakap karena belum dewasa diwakili oleh orang tua atau walinya dalam melakukan perbuatan hukum. Anak yang lahir dari perkawinan campuran memiliki kemungkinan bahwa ayah ibunya memiliki kewarganegaraan yang berbeda sehingga tunduk pada dua yurisdiksi hukum yang berbeda. Berdasarkan UU Kewarganegaraan yang lama, anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayahnya, namun berdasarkan UU Kewarganegaraan yang baru anak akan memiliki dua kewarganegaraan. Menarik untuk dikaji karena dengan kewarganegaraan ganda tersebut, maka anak akan tunduk pada dua yurisdiksi hukum.

C. Menurut UU Kewarganegaraan Baru
1. Pengaturan Mengenai Anak Hasil Perkawinan Campuran

Undang-Undang kewarganegaraan yang baru memuat asas-asas kewarganegaraan umum atau universal. Adapun asas-asas yang dianut dalam Undang-Undang ini sebagai berikut:[20]
1. Asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran.
2. Asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.
3. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
4. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini.

Undang-Undang ini pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda (bipatride) ataupun tanpa kewarganegaraan (apatride). Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam Undang-Undang ini merupakan suatu pengecualian.[21]

Mengenai hilangnya kewarganegaraan anak, maka hilangnya kewarganegaraan ayah atau ibu (apabila anak tersebut tidak punya hubungan hukum dengan ayahnya) tidak secara otomatis menyebabkan kewarganegaraan anak menjadi hilang.[22]


CATATAN PUSTAKA
[4] Sri Susilowati Mahdi, Surini Ahlan Sjarif, dan Akhmad Budi Cahyono, Hukum Perdata; Suatu Pengantar, Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005, hal.21.
UU Kewarganegaraan Baru Tentang Diskriminasi dan Kewarganegaraan Ganda, Liputan KBR 68H, http://www.ranesi.nl/tema/temahukdanham/%20uu_kewarganegaraan_baru060713, diakses 12 Agustus 2006.
[20] Lihat penjelasan UU Kewarganegaraan yang baru.

[21] Ibid.

[22] Pasal 25 UU Kewarganegaraan RI yang baru



TAMBAHAN
UU RI nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : 

1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk  anak yang masih dalam kandungan. 

2. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak  dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara  optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat  perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. 

 3. Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau
suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat
ketiga. 

4. Orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau
ayah dan/atau ibu angkat. 

5. Wali adalah orang atau badan yang dalam kenyataannya menjalankan kekuasaan
asuh sebagai orang tua terhadap anak. 

6. Anak terlantar adalah anak yang tidak terpenuhi kebutuhannya secara wajar, baik
fisik, mental, spiritual, maupun sosial. 

7. Anak yang menyandang cacat adalah anak yang mengalami hambatan fisik
dan/atau mental sehingga mengganggu pertumbuhan dan perkembangannya secara
wajar. 

8. Anak yang memiliki keunggulan adalah anak yang mempunyai kecerdasan luar
biasa, atau memiliki potensi dan/atau bakat istimewa. 

9. Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan
keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas
perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan
keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. 

10. Anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk
diberikan bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena
orang tuanya atau salah satu orang tuanya tidak mampu menjamin tumbuh
kembang anak secara wajar. 

11. Kuasa asuh adalah kekuasaan orang tua untuk mengasuh, mendidik,
memelihara, membina, melindungi, dan menumbuhkembangkan anak sesuai dengan
agama yang dianutnya dan kemampuan, bakat, serta minatnya. 

12. Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi,
dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. 

13. Masyarakat adalah perseorangan, keluarga, kelompok, dan organisasi sosial
dan/atau organisasi kemasyarakatan. 

14. Pendamping adalah pekerja sosial yang mempunyai kompetensi profesional
dalam bidangnya. 

15. Perlindungan khusus adalah perlindungan yang diberikan kepada anak dalam
situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dari kelompok minoritas
dan terisolasi, anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, anak yang
diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol,
psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), anak korban penculikan, penjualan,
perdagangan, anak korban kekerasan baik fisik dan/atau mental, anak yang
menyandang cacat, dan anak korban perlakuan salah dan penelantaran. 

16. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.  
17. Pemerintah adalah Pemerintah yang meliputi Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah. 



BAB II

ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2

Penyelenggaraan perlindungan anak berasaskan Pancasila dan berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta prinsip-prinsip
dasar Konvensi Hak-Hak Anak meliputi : 

a. non diskriminasi; 

b. kepentingan yang terbaik bagi anak; 

c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan 

d. penghargaan terhadap pendapat anak. 


Pasal 3

Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia,
dan sejahtera.



BAB III

HAK DAN KEWAJIBAN ANAK

Pasal 4

Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi
secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.


Pasal 5

Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status
kewarganegaraan.

Pasal 6

Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi
sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. 
Pasal 7

(1) Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh
orang tuanya sendiri.

(2) Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh
kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak
diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 8

Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai
dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial.

Pasal 9

(1) Setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka
pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan
bakatnya.

(2) Selain hak anak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), khusus bagi anak yang
menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi
anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus.

Pasal 10

Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari,
dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi
pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan.

Pasal 11

Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul
dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat,
bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri.

Pasal 12

Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan
sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.

Pasal 13

(1) Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun
yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari
perlakuan:

a. diskriminasi; 

b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; 

c. penelantaran;  
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; 

e. ketidakadilan; dan 

f. perlakuan salah lainnya. 

(2) Dalam hal orang tua, wali atau pengasuh anak melakukan segala bentuk
perlakuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), maka pelaku dikenakan
pemberatan hukuman.

Pasal 14

Setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan
dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi
kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.

Pasal 15

Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari : 

a. penyalahgunaan dalam kegiatan politik; 

b. pelibatan dalam sengketa bersenjata; 

c. pelibatan dalam kerusuhan sosial; 

d. pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan 

e. pelibatan dalam peperangan. 

Pasal 16

(1) Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan,
penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Setiap anak berhak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum.

(3) Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan
apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai
upaya terakhir.

Pasal 17

(1) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk :

a. mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari
orang dewasa; 

b. memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap
tahapan upaya hukum yang berlaku; dan 

c. membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. 

(2) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang
berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan.

Pasal 18

Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Pasal 19

Setiap anak berkewajiban untuk :

a. menghormati orang tua, wali, dan guru; 

b. mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; 

c. mencintai tanah air, bangsa, dan negara; 

d. menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; dan 

e. melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.