Senin, 26 Maret 2012

Makalah Penyelesaian Sengketa (HUKUM) Pajak




BAB 1
Pendahuluan
Sejarah perpajakan
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti(pemberian secara Cuma cuma) namun sifat nya merupakan suatu kewajiban yang dapat di paksakan yang harus di laksanakan oleh rakyat atau masyarakat.
Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan nya ,wajib pajak sering kali.merasa tidak puas atas pelaksanaan UU uang dilaksanakan oleh fiskus baik karna di keluarkan nya ketetapan pajak, maupun karna pelaksanaan penagihan nya pajak berdasarkan ketentuan uu yang berlaku.
Dengan mengacu pada ketentuan pasal 1 undang undang no 14 tahun2002 tentang pengadilan pajak . sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat di keluarkan nya perputusan yang dapat di ajukan banding atau gugatan kepada peradilan pajak. Dan bedasarkan peraturan uu perpajakan,termasuk gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan uu penagiahan pajak dengan surat pajak.








BAB 2
Penyelesaian sengketa pajak
Permasalahan
Perangkat hukum apakah yang mengatur mengenai masalah perpajakan dan keberadaan Pengadilan Pajak?
Upaya hukum yang dapat di tempuh oleh wajib pajak apabila merasa tidak puas atas ketetapan pajak yang di keluarkan oleh fiskus
Lembaga yang menyelesaikan sengketa atas ketetapan pajak serta kontroversi penyelesaiaan sengketa pajak melalui PTUN (peradilan tata usaha Negara)















BAB 3
Pembahasan
PERPAJAKAN DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA

2.1 Dasar-dasar Hukum Perpajakan
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas dari pungutan pajak itu sendiri.3 Pemungutan pajak beserta perangkat hukum untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang.”4
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian, dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur
hal perpajakan. Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
4 Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, ps. 23A.
(UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat
dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun 1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983, dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut “Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi subyek maupun obyek perpajakan.Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada undang-undang terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus tepat pada waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asas
conveniency dan efisiensi).5
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai undang-undang pajak nasional, asas asas perpajakan yang melandasi ketentuan tersebut adalah seperti di bawah ini.
a. Kesederhanaan (simplification of law)
Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional
Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.


5 Rukiah Handoko (a), Pengantar Hukum Pajak: Seri Buku Ajar,(Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2000), hlm. 28-29.


2.2 Dasar Hukum Pengadilan Pajak

Sebagaimana diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14 Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai sengketa pajak. Pasal 1 butir 5
undang-undang ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk gugatan
atas pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa.”13 Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak. Pasal 31 menjelaskan sebagai berikut.
(1) Pengadilan Pajak mempunyai tugas danwewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak.
(2) Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 dan peraturan perundang-undangan
perpajakan yang berlaku.14
Selain yang tercantum dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mempunyai kewenangan lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 yang berbunyi sebagai berikut.
(1) Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur lebih lanjut dangan Keputusan Ketua.15
Pengadilan Pajak juga berwenang memanggil pihak ketiga untuk keperluan pemeriksaan sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang bunyinya seperti di bawah ini.
“Untuk keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memanggil atau meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan

sengketa pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”16
Kekuasaan Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pada bagian Penjelasan UU Nomor 14 Tahun 2002, diuraikan bahwa Pengadilan Pajak yang diatur dalam ketentuan tersebut bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan persidangan sengketa perpajakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan kekhususan Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut.
1. Sidang peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam hal tertentu dam khusus guna menjaga kepentingan pemohon banding atau tergugat, sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan Pengadilan Pajak dilaksanakan dalam siding yang terbuka untuk umum.
2. Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah
Sarjana Hukum atau sarjana lain.
3. Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa perpajakan.
4. Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya terutang dari Wajib Pajak, berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga
Wajib Pajak langsung memperoleh kepastian
hukum tentang besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibat jenis putusan Pengadilan Pajak, di samping jenisjenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau
menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar.17
Dengan demikian, sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, UU Nomor 14 Tahun 2002 mengatur pula hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan Pajak. Perihal hukum acara ini diatur dalam Bab IV tentang Hukum Acara.







3.1 Timbulnya sengketa pajak
Myron S Scholes dan Mark A Wolfson (1992) menerangkan sebab timbulnya sengketa,
 sebab-sebab timbulnya sengketa pajak sebagai berikut. 1. Adanya keterbatasan pengetahuan perundang-undangan perpajakan WP, menyangkut masalah formal-administratif, serta validitas bukti-bukti perhitungan pajaknya;
2.Adanya pencatatan berdasarkan metode akuntansi yang berbeda untuk pembukuan secara komersial dan fiskal;
3.Adanya perbedaan interpretasi (grey area) dan law loophole; dan/atau
4.Adanya vested interest (yang memengaruhi disiplin dalam pemungutan dan pemenuhan kewajiban perpajakan).
Saat ini publik dan media telah diyakini pihak tertentu bahwa kasus GT ber-latar be-
1 a -kang sengketa pajak dengan sebab yang keempat, yakni adanya vested interest, karena GT dianggap telah melakukan kolusi dengan pihak hakim Pengadilan Pajak untuk memenangkan banding dari beberapa WP yang melakukan penggelapan pajak.
Sebetulnya, di setiap tingkatan, mulai pemeriksaan pajak hingga peninjauan kembali ke MA, selalu terjadi kontak antara WP dan pihak-pihak terkait. Kontak seperti itu dapat memberikan peluang terjadinya berbagai penyimpangan.


3.2 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan. Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada\ badan penyelesaian sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor 707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad 1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan Urusan Pajak
(Regeling van het Beroep in Belastingzaken).











Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-UndangNomor 5 Tahun 1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak daerah.7 Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983 mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut.
“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pajak.”8 Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama menyebutkan sebagai berikut. “Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha Negara.”9








6 Ibid., hlm. 29-30

7 Rukiah Handoko (b), Eksistensi dan Kompetensi PengadilanPajak, (Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia Bidang Kajian Hukum Pajak, 2003), hlm. 3-4.
8
Indonesia (b), Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, No. 9 Tahun 1994, LN No. 59 tahun 1994, TLN No. 3566, ps.
27.
9 Ibid
3.3 Penyelesaiaan melalui direktorat jendral pajak
Dalam peraktik pelaksanaan uu perpajakan ,ketika wajib pajak memperoleh sesuatu ketetapan dan merasa tidak puas atas ketetapan pajak di maksud, wajib pajak dapat melakukan upaya hukum dengan nama keberataan .upaya hukum keberataan di ajukan oleh wajib pajak pada director jendral. Pajak atas ketetapan pajak yang telah di keluarkan sebagai mana di atur dalam pasal 25 ayat 1 undang undang KuP , yang selengkap nya berbunyi
Wajib pajak dapat mengajukan keberataan kepada direktorat jendral pajak atas sesuatu:
  1. Surat ketetapan pajak kurang bayar ( skpkb)
  2. Surat ketetapan pajak kurang bayar tambahan (skp bt)
  3. Surat ketetapan pajak lebih bayar
  4. Surat ketetapan pajak nihil
  5. Pemotongan atau pemungutaan oleh pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan perpajakan.
Karna penyelesaiaan sengketa atas upaya hukum keberataan ini dilakukan masih dalam lembaga yang sama dengan yang menerbitkan ketetapan pajak yaitu direktorat jendral pajak,maka menurut prof. rohmat suemitro,penyelesaian demikian di sebut sebagai peradilan adrimistrasi tidak murni atau lebih di kenal dengan peradilan doleansi
Ketika wajib pajak mengajukan upaya hukum keberatan, wajib pajak sering kali beranggapan bahwa wajib pajak tidak perlu melunasi utang pajaknya dan tidak akan dilakukan tindakan penagihan pajak padahal pasal 25 ayat 7menegaskan bahwa keberatan tidak menunda pembayaran pajak dan pelaksanaan penagihan pajak . artinya bahwa sekalipun wajib pjak mengajukan upya hukum keberatan kepada dirjen pajak, wajib pajak tetap mempunyai kewajiban utang pajaknya untuk melunasi utang pajaknya. Apabila wajib pajak tidak melunasi utang pajaknya,  pelaksanaan penagihan berdasarkan undang undang penagihan tetap dijalankan . hal ini tentu dimaksudkan untuk mencegah adanya usaha penghindaran atau penundaan  pembayaran pajak melalui pengajuan surat keberatan, yg pada akhirnya dapat mengakibatkan terganggunya penerimaan Negara.
Setelah dilakukan proses pemeriksaan atas upaya hukum keberatan tsb, ada 4 kemungkinan keputusan yang dapat dikeluarkan oleh dirjen pajak yaitu :
  1. Ditolak
  2. Diterima sebagian
  3. Diterima seluruhnya atau
  4. Menambah ketetapan pajak
Apabila dalam pemeriksaan oleh dirjen pajak  atas surat keberatan wajib pajak tidak diketahui tidak terdapat cukup alasan  dan bukti , maka dirjen pajak akan mengeluarkan keputusa menolak keberatan wajib pajak. Jika terjadi keputusan demikina maka konsekuensinya adalah wajib pajak harus melunasi hutang pajaknya atau wajib pajak mengajukan upaya hukum banding kepada lembaga BPSB. Sebaliknya apabila surat keberatan wajib pajak telah diperiksa ternyata hanya sebagian alasan dan bukti yang mendukung unutk dikurangi utang pajak, maka dirjen pajak akan mengeluarkan keputusan menerima sebagian.

3.4 Penyelesaian Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Dalam pelaksanaan undang undang perpajakan dimungkinkan juga adanya upaya hukum dengan nama banding apabila wajib pajak merasa tidak puas atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh dirjen pajak seperti dijelaskan pada uraian diatas yang dapat diajukan kepada peradilan pajak dengan nama badan penyelesaian sengketa pajak (BPSP).
Sejak berlakunya undang undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan penyelesaian sengketa pajak, selain upaya hukum banding yang dapat dilakukan wajib pajak atas keputusan keberatan yang dikeluarkan dirjen pajak kepada BPSP, wajib pajak juga dapat mengajukan upaya hukum dengan nama gugatan yaitu gugatan atas pelaksanaan penagihan pajak seperti pelaksanaan surat paksa, penyitaan dan lelang dilakukan berdasarkan undang undang penagihan pajak.
Dalam sejarahnya peradilan pajak dengan nama BPSP merupakan lembaga pengganti dari lembaga yang sebelumnya sudah pernah ada yaitu majelis pertimbangan pajak yang diatur dalam staatsblad nomor 29 tahun 927 tentang peraturan pertimbangan pajak. Keberadaan lembaga BPSP merupakan amanat dari pasal 27 UUKUP yang putusannya bersifat akhir dan berkekuatan hukum tetap sertya bukan merupakan tata usaha Negara.
Menurut pasal 1 UU BPSP yang dimaksud dengan banding  adalah upaya hukum terhadap keputusan pejabat yang berwenang diatur dalam peraturan perundang undangan perpajakan.

3.2 kontroversi penyelesaian melalui PTUN
Ketentuan yang menegaskan dalam hal ini di lihat dalam pasal di bawah ini
  1. Pasal 28 ayat 1 menegaskan :badan penyelesaiaan sengketa pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan memutus sengketa pajak
  2. Ayat 2 menegaskan tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa pajak sebagai mana di maksud pada ayat 1 berada di luar tugas dan wewenang peradilan umum dan peradilan tata usaha Negara.
Selanjut nya dalam pasal 76 :  putusan dalam badan penyelesaian sengketa pajak merupakankeputusan tata usaha Negara dari ketentuan di atas seharus nya dalam melakukan upaya hukum sengketa pajak yang timbul, wajib pajak seharus nya menggunakan hukum positif yang berlaku yaitu dengan mengunakan atau mengajukan upaya hukum nya kepada badan peradilan pajak yang ada yaitu kepada bpsp dan bukan kepada pengadilan umum atau kepada peradilan tata usaha Negara








BAB V
PENUTUP.
SARAN
Kami  menyarankan  penyelesaian  hukum  pajak  Harus lebih banyak dimengerti oleh pihak pihak yang kurang begitu mengerti dengan permasalahan sengketa pajak hal ini kami sarankan agar terciptanya sengketa pajak yang bertuntun kepada undang undang dan prosedur yang baik(positif) dalam perarturan perpajakan
KESIMPULAN
Mudah -  mudahan  ini  kedepan  kami  berharap  penyelesaian  sengketa  pajak  harus  dengan  undang undang  dan prosedur  yang bersifat  positif  (baik)  dengan  ini makala  ini  dibuat  bertujuan  agar  sengketa  pajak dimengerti  oleh banyak  pihak yang  kurang  mengerti  tentang sengketa pajak  agar  terciptanya  sumber  daya  manusia  yang mengenal  sengketa  pajak  dengan  undang  undang  dan  penyelesaian  yang  bersifat  positif.







DAFTAR PUSTAKA
  1. R. Santoso  Brotodihadjo, 1981, Pengantar  Ilmu  Hukum  Pajak ,  Cetakan  ke  IX, Jakarta  - Bandung : PT Eresco
  2. H. Rochmat  Soemitro, 1991, Azas – Azas  Hukum Perpajakan,  Cetakan  Perpajakan  Bandung : Bina  Cipta – BPHN.
  3. Rochmat  Soemitro, 1988, Pengantar  Singkat  Hukum  Pajak,  Bandung : PT Eresco
  4. H. Moeljo  Hadi  1994, Dasar  Dasar  Penagihan  Pajak  Negara, Cetakan  Pertama, Jakarta  PT Raja Grafindo  Persada