BAB 1
Pendahuluan
Sejarah perpajakan
Pajak pada mulanya merupakan suatu upeti(pemberian secara Cuma
cuma) namun sifat nya merupakan suatu kewajiban yang dapat di paksakan yang
harus di laksanakan oleh rakyat atau masyarakat.
Dalam melaksanakan kewajiban perpajakan nya ,wajib pajak sering
kali.merasa tidak puas atas pelaksanaan UU uang dilaksanakan oleh fiskus baik
karna di keluarkan nya ketetapan pajak, maupun karna pelaksanaan penagihan nya
pajak berdasarkan ketentuan uu yang berlaku.
Dengan mengacu pada ketentuan pasal 1 undang undang no 14 tahun2002 tentang pengadilan pajak . sengketa pajak adalah sengketa yang timbul
dalam bidang perpajakan antara wajib pajak dengan pejabat yang berwenang
sebagai akibat di keluarkan nya perputusan yang dapat di ajukan banding atau
gugatan kepada peradilan pajak. Dan bedasarkan peraturan uu perpajakan,termasuk
gugatan atas pelaksanaan penagihan berdasarkan uu penagiahan pajak dengan surat
pajak.
BAB 2
Penyelesaian
sengketa pajak
Permasalahan
Perangkat hukum apakah yang mengatur mengenai masalah perpajakan
dan keberadaan Pengadilan Pajak?
Upaya hukum yang dapat di tempuh oleh wajib pajak apabila merasa
tidak puas atas ketetapan pajak yang di keluarkan oleh fiskus
Lembaga yang menyelesaikan sengketa atas ketetapan pajak serta
kontroversi penyelesaiaan sengketa pajak melalui PTUN (peradilan tata usaha
Negara)
BAB 3
Pembahasan
PERPAJAKAN
DI INDONESIA DAN PERMASALAHAN SENGKETANYA
2.1 Dasar-dasar Hukum Perpajakan
Pajak merupakan sarana reformasi negara dalam meningkatkan
kemandirian keuangan negara, meningkatkan tingkat keadilan, serta progresivitas
dari pungutan pajak itu sendiri.3 Pemungutan pajak beserta perangkat hukum
untuk mengatur tata caranya merupakan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Secara singkat dan tegas, pernyataan tentang
pajak tercantum dalam Amandemen Ketiga UUD 1945 Pasal 23A yang berbunyi, “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan
undang-undang.”4
Dahulu, sebelum amandemen atas UUD 1945 dilakukan, aturan
tentang pajak dicantumkan dalam Pasal 23 ayat (2) yang menyatakan, “Segala
pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.” Dengan demikian,
dibandingkan dengan UUD 1945 terdahulu, redaksi kalimat konstitusi
pascaamandemen menunjukkan ketegasannya dalam mengatur
hal perpajakan. Peraturan perundang-undangan mengenai pajak yang
berlaku saat ini adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU Nomor 6 Tahun 1983) yang telah
direvisi melalui Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
4 Indonesia (a), Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, ps. 23A.
(UU Nomor 9 Tahun 1994). Karena merupakan saat
dibentuknya sebuah aturan pajak nasional yang baru, maka tahun
1983 disebut sebagai tahun reformasi pajak.
Sebelum dibentuk dan diberlakukannya UU Nomor 6 Tahun 1983,
dunia perpajakan di negara ini mengenal asas-asas pemungutan pajak yang disebut
“Tri Dharma Perpajakan”. Ketiga asas tersebut adalah sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak harus adil dan merata yang meliputi
subyek maupun obyek perpajakan.Sifatnya universal atau nondiskriminatif.
b. Harus ada kepastian hukum mengenai pemungutan pajak. Dengan
kepastian hukum yaitu bahwa sebelum pemungutan pajak dilakukan harus ada
undang-undang terlebih dahulu.
c. Ketepatan waktu pemungutan pajak. Membayar dan menagih harus
tepat pada waktunya, aritinya pada saat orang memiliki uang (asas
conveniency dan efisiensi).5
Selanjutnya, sejak UU Nomor 6 Tahun 1983 berlaku sebagai
undang-undang pajak nasional, asas asas perpajakan yang melandasi ketentuan
tersebut adalah seperti di bawah ini.
a. Kesederhanaan (simplification of law)
Bahwa undang-undang tentang perpajakan agar disusun sesederhana
mungkin sehingga mudah dimengerti isi maupun susunan kata-katanya.
b. Kegotong-royongan nasional
Bahwa warga masyarakat harus berperan aktif dalam pemenuhan
kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kewarganegaraan.
5 Rukiah
Handoko (a), Pengantar Hukum Pajak: Seri
Buku Ajar,(Depok: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, 2000), hlm. 28-29.
2.2
Dasar Hukum Pengadilan Pajak
Sebagaimana
diuraikan pada bab terdahulu, Pengadilan Pajak dibentuk melalui UU Nomor 14
Tahun 2002. Lembaga ini memiliki kewenangan untuk memutus perkara mengenai
sengketa pajak. Pasal 1 butir 5
undang-undang
ini menyebutkan pengertian sengketa pajak seperti di bawah ini.
“Sengketa
pajak adalah sengketa yang timbul dalam bidang perpajakan antara Wajib Pajak
atau penanggung pajak dengan Pejabat yang berwenang sebagai akibat
dikeluarkannya keputusan yang dapat diajukan banding atau gugatan kepada
Pengadilan Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk
gugatan
atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan Undang- Undang Penagihan Pajak dengan Surat
Paksa.”13 Pengadilan pajak merupakan pengadilan tingkat pertama sekaligus
terakhir dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak. Kewenangan pengadilan
pajak tertera dalam Bab III tentang Kekuasaan Pengadilan Pajak. Pasal 31
menjelaskan sebagai berikut.
(1)
Pengadilan Pajak mempunyai tugas danwewenang memeriksa dan memutus sengketa
pajak.
(2)
Pengadilan Pajak dalam hal banding hanya memeriksa dan memutus sengketa atas
keputusan keberatan, kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
(3)
Pengadilan pajak dalam hal gugatan memeriksa dan memutus sengketa atas
pelaksanaan penagihan pajak atau keputusan pembetulan atau keputusan lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (2)
Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000
dan peraturan perundang-undangan
perpajakan
yang berlaku.14
Selain
yang tercantum dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak juga mempunyai kewenangan
lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 32 yang berbunyi sebagai berikut.
(1)
Selain tugas dan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31, Pengadilan Pajak
mengawasi kuasa hukum yang memberikan bantuan hukum kepada pihak-pihak yang
bersengketa dalam sidang-sidang Pengadilan Pajak.
(2)
Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) diatur lebih lanjut dangan
Keputusan Ketua.15
Pengadilan
Pajak juga berwenang memanggil pihak ketiga untuk keperluan pemeriksaan
sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat (2) yang bunyinya seperti di bawah ini.
“Untuk
keperluan pemeriksaan sengketa pajak, Pengadilan Pajak dapat memanggil atau
meminta data atau keterangan yang berkaitan dengan
sengketa
pajak dari pihak ketiga sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.”16
Kekuasaan
Pengadilan Pajak dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak meliputi semua
jenis sengketa pajak yang dipungut oleh Pemerintah Pusat, termasuk Bea Masuk
dan Cukai, dan pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah, berdasarkan
peraturan perundangundangan yang berlaku.
Pada
bagian Penjelasan UU Nomor 14 Tahun 2002, diuraikan bahwa Pengadilan Pajak yang
diatur dalam ketentuan tersebut bersifat khusus menyangkut acara penyelenggaraan
persidangan sengketa perpajakan. Hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan
dengan kekhususan Pengadilan Pajak adalah sebagai berikut.
1.
Sidang peradilan pajak pada prinsipnya dilaksanakan secara terbuka, namun dalam
hal tertentu dam khusus guna menjaga kepentingan pemohon banding atau tergugat,
sidang dapat dinyatakan tertutup, sedangkan pembacaan Pengadilan Pajak
dilaksanakan dalam siding yang terbuka untuk umum.
2.
Penyelesaian sengketa perpajakan memerlukan tenaga-tenaga hakim
khusus yang mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah
Sarjana
Hukum atau sarjana lain.
3.
Sengketa yang diproses dalam Pengadilan Pajak khusus menyangkut sengketa
perpajakan.
4.
Putusan Pengadilan Pajak memuat penetapan besarnya terutang dari Wajib Pajak,
berupa hitungan secara teknis perpajakan, sehingga
Wajib
Pajak langsung memperoleh kepastian
hukum
tentang besarnya pajak terutang yang dikenakan kepadanya. Sebagai akibat jenis putusan
Pengadilan Pajak, di samping jenisjenis putusan yang umum diterapkan pada peradilan
umum, juga berupa mengabulkan sebagian, mengabulkan seluruhnya, atau
menambah
jumlah pajak yang masih harus dibayar.17
Dengan
demikian, sebagai konsekuensi dari kekhususan tersebut di atas, UU Nomor 14
Tahun 2002 mengatur pula hukum acara tersendiri untuk menyelenggarakan Pengadilan
Pajak. Perihal hukum acara ini diatur dalam Bab IV tentang Hukum Acara.
3.1 Timbulnya sengketa
pajak
Myron S Scholes dan Mark A Wolfson (1992) menerangkan sebab
timbulnya sengketa,
sebab-sebab timbulnya
sengketa pajak sebagai berikut. 1. Adanya keterbatasan pengetahuan
perundang-undangan perpajakan WP, menyangkut masalah formal-administratif,
serta validitas bukti-bukti perhitungan pajaknya;
2.Adanya pencatatan berdasarkan metode akuntansi yang berbeda
untuk pembukuan secara komersial dan fiskal;
3.Adanya perbedaan interpretasi (grey area) dan law loophole;
dan/atau
4.Adanya vested interest (yang memengaruhi disiplin dalam
pemungutan dan pemenuhan kewajiban perpajakan).
Saat ini publik dan media telah diyakini pihak tertentu bahwa
kasus GT ber-latar be-
1 a -kang sengketa pajak dengan sebab yang keempat, yakni adanya
vested interest, karena GT dianggap telah melakukan kolusi dengan pihak hakim
Pengadilan Pajak untuk memenangkan banding dari beberapa WP yang melakukan
penggelapan pajak.
Sebetulnya, di setiap tingkatan, mulai pemeriksaan pajak hingga
peninjauan kembali ke MA, selalu terjadi kontak antara WP dan pihak-pihak
terkait. Kontak seperti itu dapat memberikan peluang terjadinya berbagai
penyimpangan.
3.2 Sengketa Pajak dan Penyelesaiannya
Adanya kewajiban bagi masyarakat untuk membayar pajak terkadang
tidak berbanding lurus dengan tingkat kesadaran wajib pajak dalam mematuhi
ketentuan tersebut. Keterbatasan pemerintah melalui aparat penagih pajaknya
juga mengakibatkan munculnya masalah persengketaan di bidang perpajakan.
Masalah sengketa pajak ini dari masa ke masa ditanggapi oleh pemerintah yang
berkuasa dengan jalan lembaga penyelesaian sengketa pajak. Pada masa
Pemerintahan Hindia Belanda, di negara ini telah ada\ badan penyelesaian
sengketa pajak yang dibentuk dengan Ordonansi 1915 (Staatsblad Nomor
707) dengan nama Raad van het Beroep voor Belastingzaken (Badan Banding
Administrasi Pajak), yang kemudian diganti dengan Ordonansi 27 Januari 1927, Staatsblad
1927 Nomor 29 tentang Peraturan Pertimbangan
Urusan Pajak
(Regeling van het Beroep in Belastingzaken).
Selanjutnya, lembaga tersebut oleh Undang-UndangNomor 5 Tahun
1959 diubah menjadi Majelis Pertimbangan Pajak yang tugasnya memberi keputusan
atas surat pemeriksaan banding tentang pajak-pajak negara dan pajak-pajak
daerah.7 Berdasarkan UU Nomor 6 Tahun 1983, MPP diberlakukan sebagai badan
peradilan pajak yang sah dan tidak bertentangan dengan kekuasaan kehakiman
sebagaimana tercantum dalam UU Nomor 14 Tahun 1970. UU Nomor 6 Tahun 1983
mengatur hal ini dalam Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi sebagai berikut.
“Wajib Pajak dapat mengajukan permohonan banding hanya kepada
badan peradilan pajak terhadap keputusan mengenai keberatannya yang ditetapkan
oleh Direktorat Jenderal Pajak.”8 Selanjutnya, ayat (2) pasal yang sama
menyebutkan sebagai berikut. “Sebelum badan peradilan pajak sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dibentuk, permohonan banding diajukan kepada Majelis
Pertimbangan Pajak, yang putusannya bukan merupakan keputusan Tata Usaha
Negara.”9
6 Ibid., hlm. 29-30
7 Rukiah
Handoko (b), Eksistensi dan Kompetensi
PengadilanPajak, (Depok: Fakultas Hukum
Universitas Indonesia Bidang Kajian
Hukum Pajak, 2003), hlm. 3-4.
8
Indonesia
(b), Undang-Undang tentang
Perubahan atas Undang- Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan
Tata Cara Perpajakan, No. 9 Tahun 1994, LN No. 59 tahun
1994, TLN No. 3566, ps.
27.
9 Ibid
3.3 Penyelesaiaan
melalui direktorat jendral pajak
Dalam peraktik pelaksanaan uu perpajakan ,ketika wajib pajak
memperoleh sesuatu ketetapan dan merasa tidak puas atas ketetapan pajak di
maksud, wajib pajak dapat melakukan upaya hukum dengan nama keberataan .upaya
hukum keberataan di ajukan oleh wajib pajak pada director jendral. Pajak atas
ketetapan pajak yang telah di keluarkan sebagai mana di atur dalam pasal 25
ayat 1 undang undang KuP , yang selengkap nya berbunyi
Wajib pajak dapat mengajukan keberataan kepada direktorat
jendral pajak atas sesuatu:
- Surat ketetapan pajak kurang bayar
( skpkb)
- Surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan (skp bt)
- Surat ketetapan pajak lebih bayar
- Surat ketetapan pajak nihil
- Pemotongan atau pemungutaan oleh
pihak ketiga berdasarkan ketentuan peraturan perundang undangan
perpajakan.
Karna penyelesaiaan sengketa atas upaya hukum keberataan ini
dilakukan masih dalam lembaga yang sama dengan yang menerbitkan ketetapan pajak
yaitu direktorat jendral pajak,maka menurut prof. rohmat suemitro,penyelesaian
demikian di sebut sebagai peradilan adrimistrasi tidak murni atau lebih di
kenal dengan peradilan doleansi
Ketika wajib pajak mengajukan upaya hukum keberatan, wajib pajak
sering kali beranggapan bahwa wajib pajak tidak perlu melunasi utang pajaknya
dan tidak akan dilakukan tindakan penagihan pajak padahal pasal 25 ayat
7menegaskan bahwa keberatan tidak menunda pembayaran pajak dan pelaksanaan
penagihan pajak . artinya bahwa sekalipun wajib pjak mengajukan upya hukum
keberatan kepada dirjen pajak, wajib pajak tetap mempunyai kewajiban utang pajaknya
untuk melunasi utang pajaknya. Apabila wajib pajak tidak melunasi utang
pajaknya, pelaksanaan penagihan
berdasarkan undang undang penagihan tetap dijalankan . hal ini tentu
dimaksudkan untuk mencegah adanya usaha penghindaran atau penundaan pembayaran pajak melalui pengajuan surat
keberatan, yg pada akhirnya dapat mengakibatkan terganggunya penerimaan Negara.
Setelah dilakukan proses pemeriksaan atas upaya hukum keberatan
tsb, ada 4 kemungkinan keputusan yang dapat dikeluarkan oleh dirjen pajak yaitu
:
- Ditolak
- Diterima sebagian
- Diterima seluruhnya atau
- Menambah ketetapan pajak
Apabila dalam pemeriksaan oleh dirjen pajak atas surat keberatan wajib pajak tidak
diketahui tidak terdapat cukup alasan
dan bukti , maka dirjen pajak akan mengeluarkan keputusa menolak
keberatan wajib pajak. Jika terjadi keputusan demikina maka konsekuensinya
adalah wajib pajak harus melunasi hutang pajaknya atau wajib pajak mengajukan
upaya hukum banding kepada lembaga BPSB. Sebaliknya apabila surat keberatan
wajib pajak telah diperiksa ternyata hanya sebagian alasan dan bukti yang
mendukung unutk dikurangi utang pajak, maka dirjen pajak akan mengeluarkan
keputusan menerima sebagian.
3.4 Penyelesaian
Melalui Badan Penyelesaian Sengketa Pajak
Dalam pelaksanaan undang undang perpajakan dimungkinkan juga
adanya upaya hukum dengan nama banding apabila wajib pajak merasa tidak puas
atas keputusan keberatan yang telah dikeluarkan oleh dirjen pajak seperti
dijelaskan pada uraian diatas yang dapat diajukan kepada peradilan pajak dengan
nama badan penyelesaian sengketa pajak (BPSP).
Sejak berlakunya undang undang nomor 17 tahun 1997 tentang badan
penyelesaian sengketa pajak, selain upaya hukum banding yang dapat dilakukan
wajib pajak atas keputusan keberatan yang dikeluarkan dirjen pajak kepada BPSP,
wajib pajak juga dapat mengajukan upaya hukum dengan nama gugatan yaitu gugatan
atas pelaksanaan penagihan pajak seperti pelaksanaan surat paksa, penyitaan dan
lelang dilakukan berdasarkan undang undang penagihan pajak.
Dalam sejarahnya peradilan pajak dengan nama BPSP merupakan
lembaga pengganti dari lembaga yang sebelumnya sudah pernah ada yaitu majelis
pertimbangan pajak yang diatur dalam staatsblad nomor 29 tahun 927 tentang
peraturan pertimbangan pajak. Keberadaan lembaga BPSP merupakan amanat dari
pasal 27 UUKUP yang putusannya bersifat akhir dan berkekuatan hukum tetap
sertya bukan merupakan tata usaha Negara.
Menurut pasal 1 UU BPSP yang dimaksud dengan banding adalah upaya hukum terhadap keputusan pejabat
yang berwenang diatur dalam peraturan perundang undangan perpajakan.
3.2 kontroversi penyelesaian melalui PTUN
Ketentuan yang menegaskan dalam hal ini di lihat dalam pasal di
bawah ini
- Pasal 28 ayat 1 menegaskan :badan
penyelesaiaan sengketa pajak mempunyai tugas dan wewenang memeriksa dan
memutus sengketa pajak
- Ayat 2 menegaskan tugas dan
wewenang badan penyelesaian sengketa pajak sebagai mana di maksud pada
ayat 1 berada di luar tugas dan wewenang peradilan umum dan peradilan tata
usaha Negara.
Selanjut nya dalam pasal 76 :
putusan dalam badan penyelesaian sengketa pajak merupakankeputusan tata
usaha Negara dari ketentuan di atas seharus nya dalam melakukan upaya hukum
sengketa pajak yang timbul, wajib pajak seharus nya menggunakan hukum positif
yang berlaku yaitu dengan mengunakan atau mengajukan upaya hukum nya kepada
badan peradilan pajak yang ada yaitu kepada bpsp dan bukan kepada pengadilan
umum atau kepada peradilan tata usaha Negara
BAB
V
PENUTUP.
SARAN
Kami menyarankan penyelesaian
hukum pajak Harus lebih banyak dimengerti oleh pihak
pihak yang kurang begitu mengerti dengan permasalahan sengketa pajak hal ini
kami sarankan agar terciptanya sengketa pajak yang bertuntun kepada undang
undang dan prosedur yang baik(positif) dalam perarturan perpajakan
KESIMPULAN
Mudah - mudahan ini
kedepan kami berharap
penyelesaian sengketa pajak
harus dengan undang undang
dan prosedur yang bersifat positif
(baik) dengan ini makala
ini dibuat bertujuan
agar sengketa pajak dimengerti oleh banyak
pihak yang kurang mengerti
tentang sengketa pajak agar terciptanya
sumber daya manusia
yang mengenal sengketa pajak
dengan undang undang
dan penyelesaian yang
bersifat positif.
DAFTAR PUSTAKA
- R. Santoso Brotodihadjo, 1981, Pengantar Ilmu Hukum
Pajak , Cetakan ke
IX, Jakarta - Bandung : PT
Eresco
- H. Rochmat Soemitro, 1991, Azas – Azas Hukum
Perpajakan, Cetakan Perpajakan Bandung : Bina Cipta – BPHN.
- Rochmat Soemitro, 1988, Pengantar Singkat
Hukum Pajak, Bandung : PT Eresco
- H. Moeljo Hadi
1994, Dasar Dasar Penagihan Pajak
Negara, Cetakan Pertama,
Jakarta PT Raja Grafindo Persada