BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Berbicara tentang dunia anak jalanan, terasa tiada
habis-habisnya kisah yang bisa diungkapkan. Sebagian besar adalah kisah-kisah
duka yang kelam, menjadi catatan sejarah hitam, tidak saja untuk anak-anak
tersebut, tapi bagi kita semua yang berhimpun di dalam suatu bangsa ataupun
Negara.
Kehidupan
jalanan yang dialami oleh anak - anak yang terlantar merupakan suatu bentuk
tugas negara yang terbengkalai seperti yang ditunjukkan pada UUD 1945 Pasal 34
Ayat (1) yaitu ,Fakir miskin dan anak-anak
yang terlantar dipelihara oleh negara. Dalam amanat UUD 1945 ini masih
saja diabaikan bahkan cenderung disepelekan. Bahkan beberapa tugas negara yang
telah menggembar gemborkan keberhasilan dalam meningkatkan taraf hidup
masyarakat belum terimplementasikan dengan baik.
Semakin meningkatnya jumlah anak jalanan, semakin
meningkat pula pelanggaran HAM terhadap
mereka. Indonesia sebagai negara yang demokratis
dan memiliki beragam kebudayaan,pada kenyataannya senantiasa menjunjung dan
menerapkan konsep penegakkan HAM dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. UUD 1945 sendiri mengakui dengan jelas
bagaimana hak asasi manusia itu harus dihargai, dijunjung tinggi, dihormati dan
negara menjadi pemangku kewajiban dari pemenuhan hak-hak asasi tersebut. Dasar
hukum bagi pelaksanaan HAM di negara ini pun sudah cukup jelas dicantumkan
dalam setiap hukum positif yang berlaku, UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang
HAM, UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM,dan berbagai ratifikasai
penegakkan HAM yang sudah diundangkan. Hal itu berarti,dalam undang-undang
tersebut secara eksplisit juga menerapkan dan menjunjung tinggi hak asasi
manusia termasuk anak jalanan sebagai warga negara (masyarakat).
Diperlukan penyelesaian terhadap permasalah yang
krusial ini, karena hal ini bukan saja merupakan masalah pribadi pelaku atau keluarga
dari anak-anak jalanan tersebut, tetapi sudah menjadi persoalan negara yang
perlu di selesaikan atau diminimalisir.
Pelanggaran HAM terhadap anak jalanan di Indonesia
saat ini, sudah merajarela di hampir seluruh wilayah di Indonesia. Berbagai
media massa, seringkali menampilkan bentuk-bentuk pelanggaran HAM terhadapa
anak jalanan yang dilakukan oleh pihak-pihak tertentu.
Permasalahan
1.
Faktor
apa yang menyebabkan peningkatan jumlah pelanggaran HAM terhadap anak jalanan di
Indonesia?
2.
Apa
saja bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap anak jalanan?
3.
Upaya
apa yang dilakukan pemerintah untuk meminimalisir pelanggaran HAM terhadap anak
jalanan di Indonesia?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Faktor
Utama Peningkatan pelanggaran HAM
terhadap Anak Jalanan Di Indonesia
Faktor utama meningkatnya pelanggaran HAM terhadap
anak jalanan adalah hal yang menyebabkan
mereka menjadi anak jalanan, yaitu kemiskinan. Karena kemiskinan sangat
sinergis dengan pelanggaran HAM terutama pada anak-anak jalanan.
Berdasarkan
data BPS tahun 2009, tercatat sebanyak 7,4 juta anak berasal dari Rumah Tangga
Sangat Miskin, termasuk diantaranya 1,2 juta anak balita terlantar, 3,2 juta
anak terlantar, 230,000 anak jalanan, 5,952 anak yang berhadapan dengan hukum
dan ribuan anak-anak yang sampai saat ini hak-hak dasarnya masih belum
terpenuhi…..”
Peningkatan jumlah anak jalanan
pada masa krisis bisa dipahami lantaran memang langsung berpengaruh pada
keluarga-keluarga kelas menengah ke bawah yang tersudut dan kesulitan untuk
mampu memenuhi kebutuhan hidup berdasarkan pendapatan yang diperolehnya. Sebab
itulah, banyak orangtua melibatkan anak-anak untuk mendapatkan penghasilan guna
memenuhi kebutuhannya sendiri agar berkurang beban keluarga, atau bahkan anak
diharapkan juga bisa memberikan kontribusi pendapatan keluarga.
Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan
pelanggaran HAM, kebutuhan mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup harus
berhadapan dengan bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang dilakukan kepada anak-anak
jalanan tersebut.
2. Bentuk-Bentuk pelanggaran HAM terhadap anak jalanan
Tidak dapat kita pungkiri kehidupan
anak jalanan hampir identik dengan pandangan negatif masyarakat. Kehidupan
mereka yang keras dan jauh dari kata pengawasan orang tua. Ngelem sebagai kegiatan
teler dan sebangsanya hampir menjadi label khusus anak jalanan. Belum lagi
tindakan kriminal seperti pencurian, pemalakan, atau bahasa-bahasa kasar yang
mereka pakai. Perlakuan yang mereka alami seperti kekerasan, baik kekerasan
fisik, mental ataupun seksual dianggap sudah lumrah terjadi. Padahal dalam diri
anak jalanan juga melekat harkat dan martabatnya sebagai manusia seutuhnya,
anak juga memiliki hak azasi manusia yang diakui oleh masyarakat juga bangsa,
dimana kedudukan anak yang sungguh penting dalam kehidupan manusia yang
menghendaki sistem perlindungan yang berpihak terhadap anak.
Anak
jalanan karena keterbatasannya mereka tidak mendapat pendidikan yang layak.
Tentunya, ini menjadi tidak seperti yang sering kali muncul di televisi dimana
anak bebas dan gratis menikmati bangku sekolah dan diantar orang tuanya penuh
dengan kegembiraan.
Selain
itu, rentan terjadinya kekerasan, diskriminasi terhadap anak jalanan yang
dilakukan pihak-pihak tertentu. Anak-anak jalanan dimanfaatkan menjadi
pengemis, dan kemudian menyerahkan uang hasilnya kepada “bandar” atau
dipekerjakan secara eksploitasi. Eksploitatif terjadi karena anak
jalanan memiliki posisi tawar menawar yang sangat
lemah. Bentuk eksploitasi dalam kehidupan mereka, seperti seks, pekerjaan dan
kehidupan yang lebih luas. Eksploitasi ini bertingkat dari cara yang halus
sampai yang sangat kasar. Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) adalah
penggunaan anak untuk tujuan seksual dengan imbalan tunai atau dalam bentuk
lain antar anak, pembeli jasa seks, perantara atau agen, dan pihak lain yang
memperoleh keuntungan dari perdagangan seksualitas anak tersebut. Eksploitasi pekerjaan bersifat penghisapan
upah mereka. Di Philipina dan Thailand, ancaman sodomi dan pembunuhan oleh kaum
paedophilia (orang yang secara seksual tertarik pada anak) bukan berita baru
lagi. Sodomi, pembunuhan dan pelacuran anak-anak dibawah umur merupakan ancaman
terhadap anak jalanan di seluruh dunia. Terkait dengan ini adalah penyebabnya
virus HIV, karena sodomi dan pelacuran merupakan perilaku yang beresiko tinggi
untuk penyebaran HIV. Anak jalanan juga sering kali menjadi korban trafficking
anak baik di dalam negeri maupun luar negeri (TKI ilegal) semakin marak.
Situasi ini
tentu saja adalah bentuk pelanggaran terhadap konstisusi dan Hak Asasi Manusia.
Padahal, secara gamblang disebutkan bahwa di dalam UU tersebut setiap anak
menjadi tanggung jawab dan kewajiban Pemerintah dan Negara dalam mewujudkan hak
anak untuk hidup, tumbuh kembang, berpartisipasi optimal, mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi, mendapat identitas diri, memperoleh pelayanan
dan fasilitas kesehatan serta jaminan sosial sesuai fisik, mental, spiritual,
dan sosial, memperoleh pendidikan dan pengajaran dengan tanggungan biaya
cuma-cuma untuk anak-anak kurang mampu dan terlantar, menyatakan pendapat,
bermain dan berkreasi, membela diri dan memperoleh bantuan hukum, dan bebas berserikat
dan berkumpul, termasuk kewajiban pemerintah mengawasi penyelenggaraan
perlindungan anak.
Sebagai
suatu hak yang harus dipenuhi oleh Negara, maka wajarlah bila Negara
mengeluarkan biaya yang banyak untuk pemenuhan, perlindungan, dan pemajuan akan
hak-hak pendidikan anak, kesehatan anak, kemerdekaan anak, dan hak anak
lainnya. Hal itu mengingat bahwa penyelenggaraan pendidikan dan kesehatan pada
prinsipnya cost centre (menghabis-habiskan biaya), bukan profit centre (yang
dapat mendatangkan keuntungan).
3.Upaya
pemerintah untuk meminimalisir pelanggaran Ham terhahap anak jalanan di
indonesia
Fakir
miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh Negara sebagaimana diamanatkan
dalam UUD 1945. Anak sebagai individu yang paling rentan posisinya dalam
masyarakat memerlukan perlindungan yang telah dijanjikan Negara. Maka, sudah
sepantasnya pemerintah membuat kebijakan yang lebih kongkrit terhadap
perlindungan anak jalanan dan memenuhu hak mereka sebagai warga negara. Namun
Negara kita yang masih berkembang belum mampu merealisasikan UU tersebut dengan
maksimal.
Sejumlah
pengelola rumah singgah, pegiat anak-anak jalanan, dan wakil rakyat pesimistis.
Sebab, persoalan anak jalanan adalah cermin kemiskinan dan bukan sebatas
persoalan teknis dan dana. Faktanya, ketiga-tiganya bermasalah di Indonesia.
Kehadiran
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) di daerah pentinguntuk
menyosialisasikan peraturan yang berkaitan dengan perlindungan anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan
penelaahan, pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perlindungan anak.
Tanpa sinergi dan kerja sama dengan pihak terkait lainnya, KPAI pun tidak
mungkin bisa bekerja dengan maksimal.
Solusi
penting yang harus direalisasikan pemerintah adalah mengurangi jumlah
kemiskinan yang tentu akan megurangi jumlah anak jalanan serta pelanggaran HAM
terhadap mereka,
Pemerintah
Pusat mentargetkan tahun 2014 Indonesia terbebas dari anak jalanan. Menteri
Sosial Salim Segaf Al Jufri menyatakan untuk mendukung program ini, Kementrian
Sosial meluncurkan tabungan bagi anak jalanan. Jumlah anak jalanan di Indonesia
mencapai 230-an ribu orang.
“Tabungan yang kita sudah salurkan itu sudah mendekati 2 ribu untuk
anak jalanan di Jakarta. Apa yang disebutkan di tabungan tersebut, yaitu uang
untuk anak dan kebutuhan anak sekitar Rp1, 440 juta setahun. Jadi gak banyak,
seperti uang jajan dia, nutrisi, seluruh kebutuhan anak di situ. Tapi dengan
catatan kita beritahu pada orang tunya kalau sampai menyuruh anak ke jalanan ini
kita ambil. Kita sudah membuat MoU dengan tujuh kementrian untuk bersama-sama
bagaimana anak-anak ini diselamatkan dari jalanan. Jadi mereka harus sekolah,
harus memiliki cita-cita, harus diupayakan mereka mampu meraih cita-citanya.
Itu harus kembali ke lembaga pendidikan, ke sekolah. Hak-hak mereka harus
dipenuhi seperti kesehatan mereka mendapatkan perlindungan tumbuh kembang yang
sehat juga ini harus kita wujudkan ke mere-mereka tersebut juga.”.
Semoga saja
rencana pemerintah untuk meminimalisir jumlah anak jalanan serta pelanggaran
HAM di indonesia sekarang ini bukan hanya omong kosong, tapi disertai
realisasinya.
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Pelanggaran HAM
terhadap anak jalanan di Indonesia semakin memprihatinkan. Pelanggaran HAM
terhadap anak jalanan di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Faktor utama yang menyebabkan peningkatan pelanggaran HAM tersebut yaitu faktor
kemiskinan kemiskinan itu sendiri.
Pada tahun 2010,
pemerintah mencangkan Indonesia bebas anak jalanan 2011, namun rencana tersebut
tidak terealisasi karena banyaknya kendala. Sekarang pemerintah kembali
mencanangkan program indonesia bebas anak jalanan 2014. Semoga saja wacana
pemerintah untuk meminilaisir jumlah anak jalanan dapat terealisasi sehingga
pelanggaran HAM terhadap anak jalanan pun berkurang.
JIKA INGIN MENDOWNLOAD NYA DALAM BENTUK DOC SILAKAN KLIK LINK INI
JIKA INGIN MENDOWNLOAD NYA DALAM BENTUK DOC SILAKAN KLIK LINK INI